Kronologi Peristiwa Bermasalah Seputar Gua Maria Giri Wening


KRONOLOGI PERISTIWA BERMASALAH SEPUTAR GUA MARIA GIRI WENING :

1. Bulan April yang lalu Gua Maria ini masuk ke dalam majalahnya Hisbut Tahrir Indonesia. Dan sejak itu diawasi oleh polisi dan intel.
2. Gua Maria sendiri diterima oleh warga sekitar. IMB memang sedang diurus bersama pendirian tempat. dalam pertemuan dg Pemkab 4 Mei 2012 tidak ada warga dan perangkat desa, camat hingga Pemkab yang menolak. Tidak ada masalah. Semua diijinkan.

3. Ketua PAC PAN Kec Gedangsari bernama Parman mengadakan tabligh akbar tanggal 6 Mei 2012, dengan mengundang 1000 oang massa terutama dari KOKAM, HTI, FUI, MMI, dan FJI. Pengurus tabligh diundang untuk diminta tanggungjawab penuhnya ke kepolisian dan TNI.

4. karena ancaman tabligh, gua memang ditutup sementara dg garis polisi, dan dijaga ketat, BUKAN DISEGEL sebagaimana ditulis ngawur oleh seseorang di Kompasiana. Bersama umat setempat, warga, Banser, dan aparat berjaga bersama. Massa radikal sudah berdatangan beberapa hari sebelumnya di sekitar Gua, mereka keluar kalau malam hari.

5. Tabligh berlangsung tgl 6 Mei, mulai jam 10 pagi, dihadiri sekitar 800 orang. Aparat nampak siap dan membantu. Di jalan masuk ke lokasi Goa di awasi dan diblokade ketat aparat, Baik akses masuk via Klaten (wedhi) maupun via Gunungkidul (Pathuk). Gereja dan obyek ziarah di Gunungkidul dan Wedi juga dijaga aparat. Massa mendesak untuk membongkar Gua tetapi ditolak. Mereka berjanji akan kembali lagi.

6. Tidak ada serangan apapun baik siang maupun malam hari (jam 22.00) sebagaimana diisukan semalam, semua aman terkendali.

7. Sudah ada koordinasi yang sangat baik antara Gereja, aparat, Aktivis lintas iman, NU, dan warga setempat. Sampai saat ini lokasi masih dijaga ketat oleh polisi, tentara, dan teman-teman muda NU (yang Katolik muda hanya teman-teman lokal di sana).

8. Mohon teman-teman tidak terpancing dan ikut memperkeruh suasana dengan menyebarkan hal hal yang tidak benar. Sms doa dan lain sebagainya, kiranya tidak perlu disebarluaskan karena hanya akan memperbesar ketegangan sebagaimana yang mereka harapkan.

Lilik K (OMK) – milis APIK

Lumpuhnya Kepemimpinan


OLEH SOEGENG SARJADI

Matikan radio dan televisi. Berhentilah membaca koran. Apakah Indonesia menjadi tampak indah dan damai dengan rakyat yang tersenyum simpul karena bahagia?

Jawabnya ternyata tidak. Ketika semua alat komunikasi dimatikan dan kita mencoba menjauh dari persoalan, ibu-ibu penjual sayur, sopir taksi, dan pedagang kaki lima—sekadar menyebut beberapa contoh—menyuarakan jeritan hati bahwa beban hidup saat ini semakin berat.

Harga beras semakin mahal, premium langka di banyak tempat, dan tawuran serta kekerasan terjadi di mana-mana. Biaya pendidikan dan kesehatan pun tidak murah, sementara para politikus dan penegak hukum berlomba mengorupsi uang negara. Dengan sejumlah indikator tersebut, Indonesia sebenarnya sedang memasuki sebuah krisis baru, yaitu krisis kepemimpinan. Krisis tersebut menyeret ketidakpastian hidup rakyat dan hanya mungkin terjadi apabila kepemimpinan nasional tidak efektif.

Saya menduga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kebanyakan penguasa saat ini alam bawah sadarnya dikerangkeng oleh mimpi masa kecil yang salah penerapan. Seperti harapan para orangtua, mereka menginginkan anaknya ”menjadi orang” (menjadi pejabat). Sayang sekali, tafsir ”menjadi orang” tersebut sebatas menikmati kekuasaan dan bukan bekerja keras untuk rakyat. Pendeknya, kebanyakan elite kita cita-citanya lebih kecil dari dirinya sendiri.

Fenomena ”tiji tibeh”

Bandingkan secara ekstrem karakter Presiden Yudhoyono dan para politisi sekarang dengan para bapak bangsa. Ternyata tidak bisa dibandingkan. Para pendiri republik mempunyai cita-cita yang dipegang teguh, hidup sederhana, dan siap mati demi mempersiapkan jembatan emas kemerdekaan Indonesia. Dalam lingkaran energi seperti itu, ideologi Pancasila benar-benar memancar dalam semangat kesejatiannya dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sampai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sebaliknya, para politikus masa kini tak lebih dari orang-orang tanggung. Mereka menjadi politikus bukan karena gejolak hati ingin menegakkan peri kehidupan dan kemerdekaan bangsa serta pencapaian kebahagiaan bersama, melainkan ingin menumpuk kekayaan dan merengkuh kekuasaan. Indikasinya bisa dilihat dari banjir pesan layanan singkat (SMS) yang dikirim Nazaruddin mengenai aliran dana politik untuk para figur utama Partai Demokrat.

Jika apa yang dikemukakan Nazaruddin itu benar, Republik ini tinggal menunggu ambruknya. Para politikus muda, yang semula diharapkan membawa Indonesia menjadi berdaulat, berdikari, dan berbudaya, ternyata menjadi anak muda tanggung yang hanya ingin segera cepat kaya. Sementara para seniornya sekadar menikmati kekuasaan dan menebar citra serta pidato tanpa makna. Ironinya, Yudhoyono lebih sibuk mengurusi SMS dan persoalan partai daripada masalah besar bangsa.

Karakter kepemimpinan yang dikendalikan oleh keadaan seperti itu membuat bangsa ini kehilangan arah. Indikasinya, Pancasila pun menderita karena dijadikan pelesetan untuk menggambarkan realitas kekinian kita.

Alhasil, kelima silanya pun berubah jadi Keuangan yang Mahakuasa; Korupsi yang Adil dan Merata; Persatuan Mafia Hukum Indonesia; Kekuasaan yang Dipimpin oleh Persekongkolan dan Kepura-puraan; serta Kenyamanan Sosial bagi Seluruh Keluarga Pejabat dan Wakil Rakyat.

Apakah pelesetan itu salah? Hati Anda pasti menjawab tidak. Apakah itu menyimpang dari realitas kehidupan kebangsaan kita saat ini? Nurani Anda pasti juga menjawab tidak.

Itulah alasan mengapa saya mengatakan, bagi Yudhoyono dan Partai Demokrat, sekarang adalah the beginning of the end of an era. Dengan semua skandal yang informasinya digelontorkan oleh Nazaruddin, ibarat serangan virus Guillain-Barre syndrome yang ganas, tidak tertutup kemungkinan Yudhoyono dan Partai Demokrat secara perlahan akan lumpuh. Kalau masih mau selamat, amputasi perlu segera dilakukan.

Akan tetapi, sekali lagi, Yudhoyono tidak tepat mengambil sikap. Konferensi pers yang dilakukan pada Senin (11/7) malam tidak membawa efek apa pun di hadapan publik. Bahkan muncul guyonan, ternyata Yudhoyono adalah juru bicaranya Anas Urbaningrum. Semua itu terjadi karena Yudhoyono tidak tampil biasa saja. Ia tidak memberi tempat kepada yang muda untuk maju ke depan dan belajar bertanggung jawab. Padahal, masalah partai itu sebenarnya bisa diselesaikan sambil minum kopi pagi, ketika masih memakai piyama karena baru bangun tidur, seperti yang dahulu dilakukan Bung Karno.

Sementara itu, serangan Nazaruddin sudah sampai puncaknya. Semangatnya sudah ”tiji tibeh” (mati siji mati kabeh, mati satu mati semua). Tidak tertutup kemungkinan bukan saja nama-nama seperti Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, dan Edhie Baskoro Yudhoyono yang ditembak, tetapi juga nama-nama lain yang lebih besar. Sekali lagi, menurut hipotesis saya, ini adalah the beginning of the end of an era bagi Yudhoyono dan Partai Demokrat.

”Lame duck”

Semua kegaduhan dan ketidakpastian itu terjadi karena—sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan—Yudhoyono seperti orang yang tidak berdaya. Ia menjadi lame duck. Padahal, harapan 60 persen pemilih dititipkan di atas pundaknya. Di dalam keluarga orang-orang yang menaruh harapan itu, ada bayi, anak kecil, dan manula. Kebanyakan dari mereka tentu saja hidup dalam kemiskinan dan kekurangan.

Jika mereka terus disia-siakan dan bangsa ini tidak segera dipandu untuk menjadi optimistis, sebagai mantan aktivis Angkatan 66, saya khawatir gerakan penggulingan oleh aktivis dan mahasiswa mungkin saja terjadi. Biarlah sejarah yang menjawabnya.

Soegeng Sarjadi Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate ​
(Kompas, 14 Juli 2011)

Mahasiswa Risaukan Situasi Bangsa


Kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menyatakan kerisauan atas situasi bangsa yang morat-marit dan kacau-balau dengan rusaknya tatanan bernegara dan berpolitik. Elite politik telah mengabaikan tuntutan dan masalah riil rakyat. Mereka justru memilih pragmatisme dan uang.Situasi Indonesia yang demikian dinilai kalangan mahasiswa sangat berbahaya dan mempertaruhkan nasib negara.

Maman Abdurrokhman, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia, dan Aditya Prana, mantan Ketua BEM Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, secara terpisah di Jakarta, Rabu (6/7), menyatakan, kepemimpinan nasional yang lemah telah mendorong bangsa Indonesia kian terjebak dalam tumpukan berbagai masalah tanpa penyelesaian jelas.

”Untuk mengubah keadaan jadi lebih baik, kita perlu melanjutkan semangat Reformasi 1998 yang belum tuntas untuk memunculkan figur-figur pemimpin alternatif,” kata Maman.

”Elite politik hanya memikirkan kepentingan sendiri dan kelompok. Aspirasi rakyat justru terabaikan,” ujar Aditya.

Maman menggambarkan masyarakat telah jenuh dengan berbagai masalah yang berdatangan, tetapi tanpa penyelesaian tuntas. ”Rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah,” kata Maman.

Menurut Aditya, negara ini bergerak tanpa arah, tanpa pemimpin, dan tanpa dorongan maju di hampir semua sektor kehidupan. Akibatnya, rakyat menjadi korban karena tak ada kebijakan yang benar-benar memihak dan mendorong kemakmuran. ”Presiden Yudhoyono punya konsep bagus dalam pidato, tetapi tak sungguh-sungguh dilaksanakan,” kata Aditya.

Aditya dan Maman mengusulkan, Presiden selaku pelaksana mandat rakyat harus berani mengganti menteri-menterinya yang buruk. ”Presiden sendiri harus lebih banyak bekerja ketimbang berpidato,” kata Aditya.

Oligarki

Dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Luthfi Hamzah Husin, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM, melihat oligarki dan peran sentral figur partai telah merusak budaya politik di Indonesia. ”Parpol dikuasai segelintir orang yang berkuasa dan bermodal. Ideologinya jangan diharap. Mengaku berideologi Pancasila, tetapi kelakuannya anti-Pancasila. Mengaku berideologi Islam, tetapi kelakuannya anti-Islam,” ucap Luthfi.

Dampaknya adalah lemahnya penegakan hukum dan perekonomian nasional yang menghamba kepada kepentingan ekonomi internasional.

Akumulasi berbagai persoalan genting bangsa yang buntu itu telah membuat frustrasi sosial masyarakat serta memunculkan gerakan radikal sebagai jawaban ketidakpuasan akan situasi negara yang secara politis hancur, tak berdaya dalam penegakan hukum, dan lemah secara ekonomi. Karena itu, tanpa pemerintahan dan kepemimpinan nasional yang kuat serta reformasi politik, negara ini akan berujung pada jurang kegagalan.

Potret buruk

Indra Permana, Presiden BEM Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, dan Syailendra Persada, Menteri Sosial Politik BEM Undip, melihat banyaknya persoalan gawat tetapi tidak diselesaikan secara tuntas merupakan potret pemerintahan yang buruk.

Selain tidak peka dan tanggap dengan kondisi yang terjadi di tengah masyarakat, kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono dinilai lebih banyak mengurus kelanggengan kekuasaan partai ketimbang urusan pemerintahan dan rakyat. ”Masyarakat mencatat, lebih banyak polemik daripada prestasi,” kata Indra.

Dalam penegakan hukum, BEM Undip menilai terjadi politisasi hukum dan penegakan hukum berlangsung secara tebang pilih. ”Ibarat pisau yang hanya tajam ke bawah saja, tetapi yang ke atas tidak. Yang diseret ke pengadilan hanya orang-orang kecil,” ujar Indra.

Koordinator Forum Silaturahmi Lembaga Kemahasiswaan Universitas Hasanuddin (Unhas) Muhammad Furqan Amansyah dan Menteri Luar Negeri BEM Fakultas Pertanian Unhas David Syamjaya menyatakan, Indonesia saat ini membutuhkan gerakan sosial menyeluruh dari tingkat masyarakat untuk memperbaiki keadaan sebab kondisinya tragis dengan silang sengkarut masalah di berbagai bidang kehidupan.

Mahasiswa sebagai salah satu elemen perubahan, menurut Furqan, bisa bergerak dengan menyemai wacana-wacana kesetaraan, keadilan, dan sikap antikorupsi mulai dari tingkat kampus. ”Negara ini tragis. Semua lini kehidupan bermasalah. Sistem dan orang yang kita harapkan bekerja untuk rakyat ternyata mendahulukan kepentingan diri,” ujar Furqan.(Kompas, 7 Juli 2011) ​

Kembali ke Pancasila


OLEH YUDI LATIF

Sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah karakter. Ketika suatu golongan dibiarkan dicincang di altar kebencian golongan lain, dan ketika bom secara teatrikal dibingkiskan ke sejumlah alamat dengan mempermainkan nyawa manusia, kita mengalami amnesia yang parah tentang makna kemerdekaan. Bung Karno berkata, ”Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: ’Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’.”

Empati terhadap sejarah pengorbanan itulah yang membuat para pendiri bangsa memiliki jiwa kepahlawanan. Kenanglah heroisme para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet. Bung Karno mengakui, ”Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.”

Ketika para anggota DPR lebih sibuk mempermahal ruang kerja seraya mempermurah nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang, kita mengalami kemerosotan begitu dalam dari jiwa pertanggungjawaban. Kenanglah rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Mohammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari sekadar politics as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Usaha ”penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia. Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan dan kejayaan bangsa.

Sebagai warisan yang digali dan dirumuskan bersama, Bung Karno meyakini keampuhan Pancasila sebagai bintang pimpinan (leitstar). ”Kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan negara RI, melainkan juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan bangsa yang membawa corak sendiri- sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan sebagainya.”

Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar ”rumah”. Seseorang bertanya, ”Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, ”kunci rumah”. ”Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” ”Di dalam rumah kami sendiri”. ”Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” ”Karena rumah kami gelap”.

Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri. Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam itu. Marilah kembali ke Pancasila!

Yudi Latif Penulis Buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila
(Kompas 29 Maret 2011)

Gerakan Lintas Agama Bentuk Perlawanan Terhadap Perusuh


Jumat, 11 Februari 2011

Gerakan tokoh lintas agama bentuk perlawanan secara damai terhadap rusuh massa di Temanggung, Jawa Tengah, pascasidang kasus penistaan agama, Selasa (8/2), kata Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, Romo Aloysius Budi Purnomo.

“Gerakan lintas agama ini memberikan perlawanan damai terhadap provokator yang berdampak negatif di Temanggung, kesatuan dan kerukunan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” katanya saat dialog sekitar 200 tokoh lintas agama berasal dari Yogyakarta dan sejumlah daerah lainnya di Jateng, di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, di Magelang, Jateng, Jumat sore.

Rusuh massa di Temanggung telah mengakibatkan sejumlah gereja dan kompleks sekolah Kristen di daerah itu rusak. Polisi telah menetapkan delapan tersangka dan memeriksa puluhan orang yang diduga terkait dengan kejadian tersebut.Ia mengatakan, rusuh di Temanggung telah merusak citra bangsa. Tindakan pelaku penistaan agama Antonius Richmond Bawengan (50), warga beralamat di Jakarta, yang telah divonis hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Temanggung, katanya, bukan hanya penodaan terhadap agama Islam tetapi juga semua agama.

Pada kesempatan itu Budi menyampaikan keprihatinan Uskup Agung Semarang, Monsinyur Johannes Pujasumarta, atas rusuh massa di Temanggung.

“Beliau menyampaikan keprihatinannya baik kepada teman-teman sesama maupun umat Islam yang tercoreng karena peristiwa itu,” katanya.

Ia menyatakan dukungan terhadap gerakan mewujudkan persaudaraan sejati lintas iman dan agama.

Kekerasan, katanya, dilawan bukan dengan kekerasan tetapi melalui dialog dan seruan persaudaraan sejati serta perdamaian.

“Kami mendukung ajakan deklarasi persaudaraan sejati, persaudaraan sejati menjadi gerakan berkat bagi bangsa ini,” katanya.

Ia menyebut, kekerasan di Temanggung dan daerah lain di Indonesia tidak meruntuhkan pandangan gereja bahwa Islam membawa kedamaian untuk sesama dan semesta.

“Banyak umat Islam yang berkehendak baik dari pada kelompok kecil yang mengatasnamakan Islam yang merusak kehidupan. Islam juga berwatak damai, tidak ada faedahnya kekerasan dilawan dengan kekerasan. Lebih mengedepankan cinta kasih dari pada kebencian, ampuan dari pada balas dendam, perselisihan hanya menghancurkan kerukunan,” katanya.

Tokoh Gerakan Gusdurian yang juga putri sulung mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (almarhum), Alissa Qotrunnada Wahid, mengatakan, kekerasan tidak menyelesaikan masalah.

“Penistaan dan perbedaan keyakinan selalu ada, tetapi penyelesaiannya bukan dengan kekerasan, melainkan melalui dialog,” katanya usai dialog itu.Ia mengemukakan, hingga saat ini masyarakat cenderung masih bicara soal golongan dari pada keindonesaian.

“Padahal harus ada porsi bicara, misalnya menyangkut kelompok, NU (Nahdlatul Ulama), Islam, Jawa, Indonesia. Yang tidak ada adalah bicara porsi sebagai orang Indonesia,” katanya.

Ia mengimbau perlunya bangsa Indonesia merevitalisasi dan menghidupi semangat Bhinneka Tunggal Ika. Dialog lintas agama yang rencananya berlangsung di Pendopo Pengayoman Rumah Dinas Bupati Temanggung, Jumat, dibatalkan karena tidak mendapat izin dari kepolisian. Sekitar 200 tokoh lintas agama berasal dari Yogyakarta dan sejumlah daerah lainnya di Jateng mengalihkan kegiatan itu di aula Pondok Pesantren API Tegalrejo, Kabupaten Magelang.(*)(U.M029/Z002. (Antaranews.com)