(dari sumber terpercaya) please email me at : permadi_2003@yahoo.com
EDARAN
KOMISI KERASULAN AWAM – KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA
MENJELANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) DKI JAKARTA
TAHUN 2007
PRINSIP KERASULAN AWAM
(1) Yang bertugas sebagai rasul tidak hanya hierarki tetapi juga para awam. Bahkan ”Gereja belum benar-benar berakar, belum hidup sepenuhnya, belum pula menjadi tanda Kristus yang sempurna di antara manusia, apabila belum ada awam yang sejati yang giat bekerja sama dengan hierarki. Karena Injil tidak dapat diresapkan secara mendalam ke dalam budi, kehidupan dan karya sesuatu bangsa tanpa kehadiran awam yang aktif. Oleh sebab itu, sejak gereja didirikan harus diperhatikan dengan sangat kaum awam Kristen yang dewasa.” (Ad Gentes 21). ”Berdasarkan panggilan khasnya, awam bertugas mencari kerajaan Allah dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai kehendak Allah. Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan dunia di mana mereka dipanggil Allah agar sambil menjalankan tugas khasnya, dibimbing oleh semangat Injil, mereka menyumbang kekudusan dunia laksana ragi.” (Lumen Gentium 31).
(2) Sangat penting adanya upaya-upaya pengembangan spiritualitas awam, yaitu suatu penghayatan iman Kristiani di mana mereka melihat diri sebagai garam dunia, di mana hidup mereka hayati sebagai panggilan untuk memenuhi kehidupan keluarga, pekerjaan, pelaksanaan tugas profesi bahkan kehadiran mereka dalam lingkungan masyarakat manapun dengan semangat cinta kasih dan keadilan Kristiani[1] (Leo Soekoto, SJ).
Prinsip kerasulan awam tersebut mengajak kita, seluruh umat awam Katolik di Keuskupan Agung Jakarta, untuk terlibat dalam situasi kekinian sosial-politik- kemasyarakatan, termasuk dalam dinamika politik menjelang Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 yang akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur untuk periode 2007-2012.
PILKADA DKI JAKARTA TAHUN 2007
Dinamika politik Indonesia tengah dihangatkan oleh peristiwa silaturahmi dua partai besar yang di satu sisi adalah partai oposisi, dan di sisi lain adalah partai pendukung pemerintah, yakni PDI-Perjuangan dan Golkar di Medan, Sumatera Utara. Wacana yang mengemuka dari pertemuan tersebut adalah adanya upaya kedua partai untuk mempertegas komitmen mengenai dua hal pokok dalam kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia:
Pertama, bahwa Pancasila adalah dasar negara kesatuan Republik Indonesia yang telah bersifat final. Diakui atau tidak, saat ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mencoba mengubah atau mengganti dasar negara Pancasila dengan idiologi yang lain. Munculnya berbagai peraturan daerah (perda) bernuansa syariah di berbagai daerah merupakan bukti dari upaya tersebut. Pertemuan Medan menegaskan bahwa ancaman untuk mengubah dasar negara Pancasila memang nyata dan hidup di tengah masyarakat kita saat ini, yang dikhawatirkan dapat menghancurkan kehidupan bangsa. Semangat membentuk perda syariah merupakan sikap yang tidak menghormati pluralitas masyarakat Indonesia.
Kedua, mempertegas sikap PDI-Perjuangan dan Golkar sebagai partai nasionalis untuk selalu setia dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dilakukan mengingat bahwa ancaman separatisme dapat mengarah pada perpecahan bangsa.
Komitmen mempertahankan dasar negara Pancasila, NKRI, dan pluralisme dibuktikan pula oleh partai nasionalis dengan sikapnya dalam mendukung calon kepala daerah yang memiliki komitmen menjaga Pancasila, NKRI, dan pluralisme.
Sebagaimana kita ketahui, pada tanggal 8 Agustus 2007, sekitar 5,7 juta warga DKI Jakarta akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Inilah kesempatan pertama bagi masyarakat Jakarta untuk memilih secara langsung pemimpinnya.
Oleh karena itu, suara seorang pemilih akan sangat menentukan siapa pemimpin Jakarta untuk lima tahun ke depan.
Demokrasi langsung memberi ruang sebesar-besarnya kepada setiap orang untuk menentukan pilihan secara bebas dan otonom. Demokrasi juga sangat menghargai hak setiap individu maupun kelompok untuk menentukan atau memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk memilih pemimpin daerah. Sebagai sebuah sistem politik, demokrasi diakui sebagai sistem yang paling relevan dan modern dewasa ini. Namun demikian, demokrasi juga memiliki kekurangan yang patut kita cermati, karena demokrasi juga menyediakan sejumlah jebakan yang dapat berakibat fatal.
Dalam konteks pemilihan secara langsung, bila mayoritas pemilih memilih orang yang tepat, berkualitas, berintegritas tinggi serta memiliki komitmen kerakyatan, maka pilihan tersebut akan membawa berkah bagi kehidupan masyarakat. Namun sebaliknya, bila pilihan jatuh pada orang yang salah, maka penderitaan akan ditanggung oleh seluruh rakyat selama bertahun-tahun. Karena itu, kedaulatan yang diberikan kepada setiap pemilih mengandung arti serta tanggung jawab yang besar dalam menentukan nasib daerah atau bangsanya. Termasuk mengganti idiologi negara sekalipun dapat terjadi dari keputusan yang dinilai demokratis.
Dalam kacamata demikian, maka kita menempatkan pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, miniatur Indonesia, yang sarat dengan berbagai kepentingan. Tarik–menarik kepentingan di antara partai politik di Jakarta agak berbeda dengan daerah lain. Bukan soal sistem pemilihannya, tetapi lebih karena Jakarta memiliki kompleksitas persoalan yang relatif berbeda dari daerah-daerah lain, di mana Jakarta merupakan barometer politik , ekonomi, sosial budaya, dan kemasyarakatan Indonesia.
Sesuai keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, kandidat yang sah untuk bertarung di Pilkada DKI Jakarta hanya ada dua pasang: Fauzi Bowo – Prijanto yang dicalonkan oleh 20 partai politik, dan Adang Daradjatun – Dani Anwar yang dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan demikian, pilihan yang tersedia bagi pemilih di DKI Jakarta mungkin sangat terbatas dan bisa jadi juga kurang ideal. Hal ini memunculkan blok politik Pilkada DKI Jakarta antara pro pluralitas versus sektarianisme.
Belum pernah ada dalam sejarah pilkada selama ini, munculnya suatu pertentangan atau blok politik yang tampak begitu jelas seperti pada Pilkada DKI Jakarta. Di pilkada lain kita menemukan 3 (tiga) sampai 5 (lima) pasangan kandidat yang akan bertarung untuk memperoleh dukungan pemilih.
Dalam berpolitik, PKS di hadapan umum selalu menolak label partai yang berciri “fundamentalis” , dan dengan cara halus biasanya menyebut diri sebagai Islam “ortodoks” atau “konservatif”. Namun, tetap saja pada kenyataannya PKS adalah satu-satunya kekuatan politik signifikan yang dalam praktek sehari-hari memilih diterapkannya moralitas agama oleh negara. PKS tidak secara terang-terangan menyerukan pendirian negara Islam, namun terdapat cukup alasan untuk mempercayai bahwa tujuan akhirnya adalah menggantikan apa yang disebut dengan “negara sekuler” dengan berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada agama.
Pertanyaan yang sangat penting kita gali, apa sebenarnya motivasi ke-20 partai politik untuk bersatu mendukung pasangan Fauzi-Prijanto. Apa alasan yang membuat mereka mau mengubur dalam-dalam perbedaan kepentingan partai masing-masing? Adakah misi bersama yang ingin dicapai?
Jawabannya jelas bagi partai nasionalis bahkan partai Islam yang seperti PPP, bahwa idiologi PKS dianggap dapat berbahaya bagi masa depan bangsa ini. Inilah alasan mendasar mengapa semua partai politik di DKI Jakarta bersatu melawan kekuatan PKS. Bahkan PPP pun tidak mau bergabung dengan PKS.
Di sinilah pesan penting itu bagi kita semua, bahwa tujuan PKS tersebut dapat mengancam idiologi negara (Pancasila), NKRI, serta pluralisme yang kita miliki saat ini. Selain itu, mungkin juga ada alasan lain yang bersifat pragmatis, misalnya, partai-partai politik mungkin takut kalau Jakarta sebagai kota terkaya di negeri ini akan jatuh ke tangan PKS. Mungkin juga ada ketakutan bahwa semua tempat hiburan malam, kafe, diskotik, serta berbagai objek wisata akan dilarang oleh seorang gubernur dari PKS. Atau, mungkin juga rasa takut kaum non-muslim bahwa kegiatan keagamaan akan terhambat, pembangunan gereja dan pembangunan sarana keagamaan lainnya dilarang. Bahkan, mungkin juga rasa takut kaum muslim abangan bahwa pasukan polisi moralitas akan dibentuk dan akan memaksa semua orang mengikuti suatu perilaku keagamaan yang sebetulnya dibenci.
Dalam Pilkada DKI Jakarta, untuk sebagian kalangan, munculnya (hanya) dua kandidat merupakan persoalan serius. Terlalu terbatasnya pilihan calon berarti peluang untuk pilihan alternatif bagi pemilih menjadi tertutup. Misalnya mengapa calon independen/ dari luar partai tidak diberi tempat dalam Pilkada DKI Jakarta?
Namun, melihat kepentingan besar seperti yang telah diuraikan di atas, rasanya kita perlu mencermati siapa yang akan diuntungkan bila ada calon lain selain kedua calon.
Mencermati militansi dan soliditas kader PKS, maka dapat diperkirakan bahwa kubu PKS mestinya akan diuntungkan jika terdapat beberapa pasangan kandidat lain yang mewakili kubu “sekuler”, seperti misalnya Sarwono Kusumaatmadja dan Agum Gumelar. Karena suara untuk pasangan kandidat tersebut sudah pasti tidak akan datang dari basis suara PKS, tapi tentunya akan memecah suara calon dari golongan “sekuler”.
Walau terjadi perdebatan, pemilu/ pilkada tetap dianggap demokratis meski hanya terdapat dua pasang kandidat yang maju. Walau harus diakui bahwa pilihan terhadap calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta memang semakin terbatas. Apalagi bila kampanye yang dilakukan kurang kreatif. Slogan-slogan seperti “Ayo, Benahi Jakarta”, “Jakarta Harus Berubah” dan “Oranye=Pilihan Cerdas” termuat dalam poster-poster dan spanduk Adang Daradjatun. Sedangkan poster-poster dan spanduk Fauzi Bowo yang cenderung normatif, seperti “Jakarta untuk Semua”, “Satu untuk Jakarta”, “Serahkan Jakarta pada Ahlinya”, “Bersihkan Jakarta dari Narkoba”, dan “Jadikan Jakarta Kota Aman” tidaklah berhasil membangkitkan citra dan perasaan yang kuat bagi pemilih untuk membuat keputusan. Slogan-slogan tersebut tidak meninggalkan kesan akan adanya suatu urgensi untuk memutuskan memilih calon. Slogan-slogan seperti ini tidak akan mampu memobilisir pemilih awam Jakarta. Warga Jakarta butuh komitmen yang konkrit dari para kandidat, bukan sekedar slogan kosong tanpa makna.
BAGAIMANA SIKAP AWAM KATOLIK MENGHADAPI PILKADA DKI JAKARTA ?
Berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah diuraikan di atas, beberapa hal yang patut dicermati oleh seluruh umat awam Keuskupan Agung Jakarta terkait dengan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta antara lain :
(1) Sebagai awam Katolik sejati, adalah panggilan iman Kristiani untuk terlibat aktif dalam menentukan nasib daerah dan bangsanya demi kepentingan bersama. Untuk itu, penting bagi awam Katolik untuk terlibat aktif dalam menggunakan hak pilihnya pada hari –H Pilkada DKI Jakarta pada Rabu, 8 Agustus 2007. Satu suara sangatlah menentukan. Maka, bersikap golput dalam Pilkada DKI Jakarta bukanlah pilihan yang bijaksana.
(2) Sekalipun menurut ukuran ataupun pertimbangan pribadi dan secara objektif kedua calon kurang memenuhi persyaratan seperti yang kita harapkan, mengingat pilihan yang sangat terbatas, tetapi perlu dipertimbangkan dari segi kepentingan gereja secara keseluruhan, calon mana di antara keduanya yang dapat menjamin eksistensi dan perkembangan gereja di KAJ, serta menjaga kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara untuk lima tahun yang akan datang.
(3) Calon yang layak dipilih adalah calon yang setia kepada dasar negara Pancasila, NKRI, dan menjunjung tinggi puluralisme.
(4) Penting bagi awam Katolik untuk mencermati basis dukungan tradisional yang akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan lima tahun ke depan.
(5) Awam Katolik di KAJ wajib menolak berbagai iming-iming materi untuk mempengaruhi/ mengubah pilihan politiknya.
Jakarta, 1 Agustus 2007
Hormat kami,
P. Krissantono
Ketua Komisi Kerasulan Awam
Keuskupan Agung Jakarta
Filed under: catatan harian, dialog agama, EDITORIAL, masalah sosial, philosophy/ filsafat, politics, religion, social | Leave a comment »