9 Gereja di Banda Aceh Kesulitan Beribadah


Dampak kewajiban penutupan terhadap sembilan gereja yang menempati bangunan ruko (rumah toko) di Banda Aceh mulai terasa. Minggu (21/10/2012) kemarin, jemaat di sembilan gereja di Banda Aceh tidak menggelar ibadah seperti biasanya.

Salah satu pendeta dari sebuah gereja yang harus ditutup Nico Tarigan dari GBI Penauyong, Banda Aceh, Senin (22/10/2012) mengaku tidak berani menggelar ibadah karena pihaknya telah menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Kota Banda Aceh. Kesepakatan itu salah satunya mewajibkan mereka menutup kegiatan peribadahan karena tidak memiliki izin sebagai gereja.

“Kami harus menutup tempat ibadah karena menyalahi fungsi bangunan bila tetap membukanya, pemkot tidak akan bertanggungjawab jika ada aksi anarkistis. Kami tidak mau mengalami kerugian atau bahkan kehilangan jiwa, maka kami menandatanganinya,” kata Nico.

“Selain itu, sebelum saya pun telah menerima banyak ancaman melalui SMS dari pihak-pihak tertentu yang akan menyerang gereja kami jika kami tetap beribadah di sana,” sambung Nico.

Nico mengisahkan, pada 17 Juni lalu, gerejanya sudah sempat diserang oleh massa yang menentang kegiatan ibadah di gedung tersebut. “17 Juni jam 10.30, ratusan orang datang ke sini, kami tidak ingin kejadian itu terulang lagi, jadi kami tandatangi kesepakatan itu,” kata Nico. “Padahal, kami memakai ruko sebagai tempat untuk beribadah, bukan membangun gereja. Kami tidak mendirikan bangunan gereja, hanya menjalankan ibadah. Seharusnya itu dijamin oleh UUD,” ungkap Nico lagi.

Kesepakatan yang dirancang Pemkot Banda Aceh mengikat terhadap sembilan gereja dan lima vihara yang pengurusnya dikumpulkan dalam sebuah pertemuan tokoh agama di Banda Aceh, sekitar dua minggu lalu. Selanjutnya, kesembilan gereja yang ditutup itu disarankan meminjam gedung kepada empat gereja yang telah memiliki izin, yakni Gereja Katolik, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), Gereja Metodis atau Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Menanggapi permasalahan ini, Veryanto Sitohang dari Aliansi Sumut Bersatu (ASB) -Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melakukan pendampingan, memandang, konsep kesepakatan yang dirancang oleh Pemkot Banda Aceh jelas merupakan bentuk pembatasan bagi umat beragama untuk menjalankan ibadah. “Pasal 29 UUD 45 menyatakan, kebebasan beribadah dijamin,” tegasnya.

Terkait perizinan bagi gereja dan vihara yang ditutup, Very memandang, persyaratan yang dituangkan di dalam  Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 Pedoman Pendirian Rumah Ibadah teramat berat untuk dipenuhi. Sebuah rumah ibadah dapat memperoleh izin jika, mendapat persetujuan dari 120 orang warga sekitar, dengan jumlah jemaat lebih dari 150 orang, mendapat pengesahan dari lurah/kecik, dan ada surat rekomendasi dari Departemen Agama setempat.

“Itu jauh lebih berat dari ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Bersama Dua Menteri yang mewajibkan ada izin dari 90 jemaat, dengan dukungan 60 orang warga sekitar. Mereka bukan tidak pernah mengajukan izin, tapi ini sangat sulit dipenuhi,” ungkap Very.

Selain itu, Very pun menegaskan, Pergub Nomor 25 Tahun 2007 seharusnya tidak berlaku bagi rumah-rumah ibadah yang telah berdiri sebelum tahun 2007. ‘Banyak gereja yang sudah ada sebelum peraturan itu, harusnya tidak berlaku surut,” sambungnya. “Pemerintah nasional tidak bisa berdiam diri, masalah seperti ini kan masif di beberapa daerah lain,” tutupnya. (Kompas.com)

Waspadai: Keputusan bersama Pemuda Jihad FPI & Dewan Forum Betawi Rempug: PEMBANTAIAN!


(Link : Http://betawi-jaya.mywapblog.com)

Keputusan bersama Pemuda Jihad FPI & Dewan Forum Betawi Rempug!

by Doel Rempug Master on 03:12 PM, 25-Mar-12

Salinan email milis FBR & Pemuda jihad Indonesia
(Rempug-admin@RoemahRempug.org)

Dewan Betawi Rempug wrote:

Bakar ormas Key dan CINA BEKINGNYA, bantai dan abisin aje dari pulau Jawa, tundukan ormas Hindu sesat, salbis ISA anjing, ormas Budha Bangsat, Lumatkan ormas CINA anjing lintah negara, Bante ormas ambon , ormas timor , ormas papua , BETAWI JAYA SELALU!!

Terutama darahnye kaum CINA Kafir halal untuk di minum saatnye kite goncang JAKARTE dan tumpahkan darah kafir CINA, Hindu, Budha sesat dan PEMUDA KEY yang merusak bangsa dimane2!! Ayo bersatu bangkitkan Jihad Islam!

SUDAH SAATNYE ANAK BETAWI BANGKIT!! ANJING CINA DAN AMBON KEY, BATAK DAN BUTON KITE BANTE HABIS DARI JABOTABEK!!!

TGL 27 MARET 2012 JAM 6
ANGGOTA REMPUG & PEMUDA JIHAD FPI WAJIB HADIR DI TEMPAT YANG DISEPAKATI KITE SIAP BIKIN
CINA & PARA KAFIR ANGKAT KAKI DARI JAKARTE! SESUAI HIMBAUAN KEPUTUSAN REMPUG DAN PEMUDA JIHAD SE-JABOTABEK.

Buat teman2 smua hati2 yah…pray for Indonesia .

Mengapa Bangsa Indonesia Kalah Kreatif dari Negara-Negara Maju


Sebenarnya ini adalah ringkasan dari buku Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland yang berjudul “Why Asians Are Less Creative Than Westerners”(Mengapa Bangsa Asia Kalah Kreatif dari Negara-Negara Barat). Tapi rasanya  bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri yang paling mirip seperti yang tertulis dalam buku itu.

1. Bagi kebanyakan orang Indonesia, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki banyak kekayaan.

2. Bagi orang Indonesia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku korupsi pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar.

3. Bagi orang Indonesia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban”, bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT, dll, semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus tersebut.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Indonesia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but master of none” (tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Indonesia yang memenangkan Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.

6. Orang Indonesia takut salah dan takut kalah. Akibatnya, sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.

7. Bagi kebanyakan bangsa Indonesia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir, peserta akan mengerumuni guru/narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.

Dalam bukunya, Prof.Ng! Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:

1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya. Percuma bangga naik haji atau membangun mesjid atau pesantren, tapi duitnya dari hasil korupsi

2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.

3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban untuk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.

4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta)-nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.

5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil risiko. Ayo bertanya!

6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau kita tidak tahu!

7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orangtua, kita bertanggungjawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya. (Dari: milis tetangga)

Mengubah Paradigma Pendidikan Agama


AM M Agus Nuryatno

Pluralisme adalah sebuah fakta sejarah. Tidak dapat dimungkiri dan diingkari oleh siapa pun.Kemajemukan adalah kehendak Tuhan agar manusia saling menyapa, mengenal, berkomunikasi, dan bersolidaritas. Pada zaman kontemporer saat ini sulit dicari satu negara dengan agama yang homogen. Umumnya heterogen dengan tingkat yang berbeda-beda.

Kemajemukan pada tingkat agama ini masih ditambah lagi kemajemukan pada wilayah tafsir agama. Tidak mengherankan jika banyak mazhab, sekte, atau aliran dalam agama apa pun. Semua ini akibat perbedaan kapasitas dan kemampuan berpikir masing-masing orang, perspektif, ataupun pendekatan.

Pertanyaannya: model pendidikan agama macam apa agar melahirkan pribadi-pribadi yang toleran, inklusif, humanis, dan meneguhkan spirit pluralisme dan multikulturalisme? Pendidikan agama yang diidealkan adalah pendidikan agama yang tidak doktriner sehingga tak memunculkan klaim-klaim kemutlakan. Ketika ruang perbedaan dan perubahan dalam agama telah dimatikan oleh sikap fanatik dan eksklusif, agama jadi antirealitas. Namun, justru sikap-sikap fanatik dan eksklusif ini dilahirkan oleh pendidikan agama.Tak mengherankan jika pendidikan agama dikritik antirealitas. Pendidikan agama dianggap kurang mengakomodasi realitas keberagamaan intra dan antarumat beragama, serta justru cenderung melahirkan eksklusifisme keberagamaan.

Model pendidikan agama

Untuk menjawab model pendidikan agama seperti apa yang memungkinkan melahirkan pribadi yang toleran, penting untuk mempertimbangkan model-model pendidikan agama yang dikembangkan Jack Seymour (1997) dan Tabita Kartika Christiani (2009). Mereka menjelaskan model-model pendidikan dan pengajaran agama, yaitu in, at, dan beyond the wall.

Pendidikan agama in the wall berarti hanya mengajarkan agama sesuai agama tersebut tanpa dialog dengan agama lain. Model pendidikan agama seperti ini berdampak terhadap minimnya wawasan peserta didik terhadap agama lain, yang membuka peluang terjadinya kesalahpahaman dan prejudice. Model pendidikan agama in the wall juga dapat menumbuhkan superioritas satu agama atas agama yang lain sehingga mempertegas garis demarkasi antara ”aku” dan ”kamu”, ”kita” dan ”mereka”.

Sikap toleransi, simpati, dan empati terhadap mereka yang beda agama sulit ditumbuh-kembangkan dari model pendidikan agama seperti ini. Model pendidikan semacam ini memosisikan agama lain atau penganut agama lain sebagai the others, ”yang lain”, yang akan masuk neraka karena dianggap kafir. Inilah bentuk truth claim yang berdampak pada monopoli Tuhan dan kebenaran. Seakan-akan kebenaran dan Tuhan hanya milik individu atau kelompok agama tertentu.

Model keberagamaan seperti ini pada gilirannya berkontribusi dalam menanamkan benih-benih eksklusivisme keberagamaan yang berpotensi memicu konflik dan kekerasan atas nama agama. Ironisnya, model pendidikan agama in the wall inilah yang kini mendominasi pendidikan agama di Tanah Air.

Paradigma pendidikan agama at the wall tidak hanya mengajarkan agama sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama yang lain. Tahap ini merupakan tahap transformasi keyakinan dengan belajar mengapresiasi orang lain yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antaragama.

Sementara pendidikan agama beyond the wall tak sekadar berorientasi untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama. Namun, lebih dari itu mengajak peserta didik dari beragam agama untuk bekerja sama mengampayekan perdamaian, keadilan, harmoni, dan pelibatan mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan. Semua itu untuk menunjukkan, musuh agama bukan pemeluk agama yang berbeda, melainkan kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, kekerasan, radikalisme, ketidakjujuran, korupsi, manipulasi, kerusakan lingkungan, dan seterusnya.

Model pendidikan agama seperti ini juga untuk menunjukkan semua agama mengajarkan kebaikan, dan bahwa agama adalah untuk kebaikan manusia sesuai misi profetiknya. Maka, pendidikan agama yang saat ini cenderung eksklusif karena hanya mengajarkan agama sendiri (in the wall) perlu digeser ke arah inklusif dengan model at dan beyond the wall. Peserta didik tidak hanya kenal agama sendiri, tetapi juga bersentuhan dengan agama lain untuk melintasi tradisi lain dan kemudian kembali kepada tradisi sendiri.

Maka, pertanyaan selanjutnya: mungkinkah guru-guru agama kita mau dan sukarela mengajak peserta didik bekerja sama dengan siswa lain yang berbeda agama memerangi musuh utama agama, yaitu penindasan, kekerasan, kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan kerusakan lingkungan? Mari kita belajar bersama.

M Agus Nuryatno Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

(Kompas, 13 Januari 2012)

TRI TUNTUTAN RAKYAT 2012


Christianto Wibisono mengontekskan Tritura 1965 menjadi Tritura 2012:

(1) bubarkan PKI (“Partai Koruptor Indonesia”) yang telah membajak negeri ini dari negarawan sejati;

(2) reformasi birokrasi agar proaktif pada kebutuhan masyarakat;

(3) tingkatkan kualitas harkat martabat manusia Indonesia sebagai bangsa terbesar keempat dunia secara kualitatif.

Tritura 2012 ini ditujukan kepada Presiden dan elite DPR. Presiden yang kebetulan menantu Sarwo Edhie tidak bisa sendirian memenuhi Tritura 2012 karena SBY bukan dan tidak boleh menjadi diktator seperti Soekarno dan Soeharto. Maka, capres ketujuh harus memimpin partai terkuat agar tidak tersandera oleh DPR dan mampu merespons Tritura 2012.

Christianto Wibisono Penulis Buku Aksi-Aksi Tritura 1970.

(Kompas, 10 Januari 2012)