Kebebasan Beragama, Jalam Menuju Perdamaian (Pesan Perdamaian Paus Benediktus XVI)


PESAN PERDAMAIAN BAPA SUCI

PAUS BENEDIKTUS XVI

PADA PERAYAAN HARI PERDAMAIAN DUNIA

1 JANUARI 2011

KEBEBASAN BERAGAMA, JALAN MENUJU PERDAMAIAN

1.    Mengawali tahun yang baru ini, saya menawarkan harapan baru bagi anda dan seluruh umat manusia untuk ketentraman dan kemakmuran, dan terutama sekali bagi perdamaian dunia.  Sungguh menyedihkan, bahwa tahun ini musti diakhiri lagi dengan adanya penindasan, diskriminasi, tindak kekerasan dan semakin menipisnya toleransi antar agama.

Perhatian saya khususnya tertuju pada negeri tercinta Irak, yang terus menerus menjadi ajang kekerasan dan perselisihan demi mencari cara untuk membangun stabilitas serta rekonsiliasi di masa mendatang. Saya pun prihatin akan penderitaan umat Kristiani baru-baru ini, khususnya serangan keji terhadap Siriah-Katolik di Gereja Katedral  Bunda Penolong Abadi di Baghdad pada tanggal 31 Oktober. Dalam serangan ini dua orang imam dan lebih dari lima puluh umat beriman tewas pada saat mereka berkumpul dalam perayaan Misa Kudus. Beberapa hari kemudian serangan lain terjadi. Kali ini di rumah-rumah pribadi. Hal ini berdampak pada penyebaran rasa takut di antara umat Kristiani dan sebagian besar dari mereka berusaha untuk mengungsi demi mencari kehidupan yang lebih baik. Saya meyakinkan mereka melalui pendekatan pribadi dan melalui seluruh  Gereja, pendekatan yang dinyatakan secara konkrit dalam Majelis Khusus Sinode para Uskup untuk TimurTengah baru-baru ini. Sinode ini mendorong komunitas Katolik di Irak dan seluruh Timur Tengah untuk hidup dalam persatuan dan untuk terus berani menjadi saksi iman di tanah itu.

Saya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada para Pemerintah yang telah berusaha meringankan penderitaan ini, saudara-saudara kita sesama manusia.  Saya mengajak seluruh umat Katolik untuk berdoa dan mendukung saudara-saudara seiman yang menjadi korban kekerasan dan perselisihan.  Dalam konteks inilah, saya merasa sangat tepat untuk berbagi beberapa refleksi tentang  kebebasan beragama sebagai jalan menuju perdamaian. Sungguh kenyataan yang menyakitkan bila memikirkan bahwa ternyata di beberapa bagian dunia ada kenyataan tidak memungkinkannya seseorang dapat memeluk agama secara bebas dengan alasan risiko kehidupan dan kebebasan pribadi. Sedangkan  di bagian dunia yang lain kita melihat bentuk yang lebih halus dan sempurna atas prasangka dan permusuhan terhadap penganut kepercayaan dan simbol-simbol agama. Saat ini, umat Kristiani adalah kelompok agama yang paling menderita karena penganiayaan iman. Banyak umat Kristiani yang mengalami pelecehan dan hidup dalam ketakutan karena mereka mencari kebenaran, karena iman mereka akan Yesus Kristus dan karena pembelaan mereka terhadap penghargaan dan kebebasan beragama. Kenyataan ini sungguh tidak dapat diterima, karena itu menyatakan penghinaan kepada Allah dan perendahan akan martabat manusia; terlebih lagi, hal ini merupakan ancaman bagi keamanan dan perdamaian, serta menjadi hambatan bagi tercapainya pembangunan manusia secara otentik dan integral. [1]

Kebebasan beragama menggambarkan betapa uniknya pribadi manusia, yang memungkinkan kita untuk mengarahkan kehidupan pribadi dan sosial kita kepada Allah; yang menyatakan identitas, makna dan tujuan hidup seseorang yang sepenuhnya dapat dipahami. Menolak atau secara sewenang-wenang membatasi kebebasan ini akan menumbuhkan visi reduktif pribadi manusia. Menutupi peran masyarakat beragama akan menciptakan masyarakat yang tidak adil, karena kegagalan menempatkan sifat manusia yang hakiki. Hal ini akan melumpuhkan pertumbuhan perdamaian yang otentik  dan abadi dalam seluruh kehidupan manusia.

Dengan alasan ini, saya mohon kebaikan semua orang untuk memperbaharui komitmen mereka untuk membangun sebuah dunia yang membebaskan semua orang untuk memeluk agama atau kepercayaan mereka, dan untuk menyatakan cinta mereka kepada Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap pemikiran mereka (lih. Mat 22:37). Inilah pendapat yang mengilhami dan mengarahkan Pesan bagi Perdamaian Dunia yang ke-44, dengan tema, “Kebebasan Beragama, Jalan menuju Perdamaian”.

Sebuah Hak Asasi yang Suci untuk Hidup dan Menuju Kehidupan Spiritual

2.    Hak atas kebebasan beragama berakar pada martabat hakiki manusia, [2] yang secara alamiah sangat tidak boleh terabaikan maupun diabaikan. Tuhan menciptakan pria dan wanita menurut gambar dan rupa-Nya sendiri (bdk. Kej 1:27). Untuk alasan inilah setiap manusia diberkahi dengan hak asasi yang suci untuk hidup sepenuhnya, juga dalam hal spritualitas. Tanpa pengakuan terhadap spiritualitasnya dan tanpa keterbukaan terhadap hal yang transenden manusia mengalami kemunduran dalam dirinya, gagal menemukan jawaban atas pertanyaan terdalam tentang makna hidup, gagal untuk menyesuaikan nilai-nilai etis dan prinsip-prinsip abadi, dan bahkan gagal untuk mengalami kebebasan yang otentik dan membangun masyarakat yang adil. [3]

Kitab Suci, yang mengharmoni dalam pengalaman kita sendiri, mengungkapkan nilai terdalam martabat manusia: “Ketika aku melihat langit buatan tangan-Mu, bulan dan bintang-bintang yang telah Engkau cipatakan, apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya dan apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu;  segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya”(Mzm 8:3-6).

Merenungkan kenyataan luhur tentang manusia, kita akan mengalami kekaguman yang sama seperti Pemazmur. Secara alami kita terbuka terhadap Misteri, kemampuan untuk bertanya lebih jauh tentang diri kita sendiri dan asal usul alam semesta serta gema Cinta Allah yang tertinggi, awal dan akhir dari segala sesuatu bagi setiap orang dan manusia. [4] Martabat transendental  seseorang merupakan nilai penting bagi kebijaksanaan Yahudi-Kristen, namun berkat penggunaan akal, dapat diakui oleh semua orang. Martabat ini dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk mencari kebenaran sebagai pengakuan universal. Menghormati unsur penting martabat manusia, seperti hak untuk hidup dan hak atas kebebasan beragama, merupakan prasyarat untuk legitimasi moral bagi setiap norma sosial dan hukum.

Kebebasan Beragama dan Saling Menghormati

3.    Kebebasan beragama berasal dari kebebasan moral. Keterbukaan terhadap kebenaran dan kebaikan yang sempurna yaituTuhan, berakar secara alamiah dalam diri manusia. Ini merupakan kepenuhan martabat bagi setiap individu dan merupakan jaminan bagi rasa saling menghormati antar manusia. Kebebasan beragama harus dipahami, maka, bukan hanya sekedar  kekebalan terhadap pemaksaan, tetapi bahkan lebih mendasar sebagai kemampuan untuk mengatur pilihan sesuai dengan hati nurani.

Kebebasan dan penghormatan tidak dapat dipisahkan; memang, “dalam melaksanakan hak mereka, individu dan kelompok sosial terikat oleh hukum moral untuk memperhatikan hak orang lain, kewajiban mereka terhadap orang lain dan kepentingan bersama”. [5]

Kebebasan yang bertentangan dengan Tuhan merupakan bentuk pengingkaran diri dan tidak menjamin penghormatan kepada orang lain. Kehendak untuk meradikalkan keyakinan tidak akan mampu mencari kebenaran dan kebaikan serta tidak memiliki tujuan. Hal itu bukan pula sebagai alasan untuk menyelamatkan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Radikalisasi tidak memiliki “identitas” untuk melindungi serta mengembangkan sebuah keputusan yang sungguh bebas dan sadar. Sebagai akibatnya, ia tidak dapat menuntut rasa hormat dari “kehendak” lain, yang terlepas dari keinginan mereka yang terdalam dan dengan demikian mampu memaksakan “alasan” lain atau, dalam hal ini, tanpa “alasan” sama sekali. Ilusi bahwa relativisme moral merupakan kunci untuk hidup berdampingan secara damai sebenarnya merupakan asal pemecah-belah dan penolakan terhadap martabat manusia. Oleh karena itu kita dapat melihat kebutuhan akan pengakuan dua dimensi dalam kesatuan pribadi manusia: dimensi agama dan dimensi sosial. Dalam hal ini, “memungkinkan bahwa orang percaya harus  menekan sebagian dari diri mereka sendiri – iman mereka – untuk menjadi warga yang aktif. Tidak perlu menyangkal Tuhan untuk memperoleh hak-hak seseorang “. [6]

Keluarga sebagai Tempat Pembelajaran bagi Kebebasan dan Perdamaian.

4.    Jika kebebasan beragama adalah jalan menuju perdamaian, pendidikan agama merupakan cara utama untuk mengarahkan generasi yang akan datang untuk memandang orang lain sebagai saudara mereka, dengan siapa mereka berjalan dan bekerja sama. Dengan demikian semua orang akan merasa bahwa mereka hidup sebagai anggota keluarga manusia, tanpa terkecuali.

Keluarga dibangun melalui sebuah perkawinan. Keluarga merupakan perwujudan ikatan penyatuan dan saling melengkapi antara pria dan wanita. Di dalam keluargalah terjadi proses pembelajaran awal masalah sosial, budaya, pembentukan moral dan spiritual, serta pertumbuhan anak yang harus dapat dilihat pada ayah dan ibu mereka sebagai saksi hidup pertama dalam mengajarkan kebenaran dan kasih Allah. Orang tua harus  bertanggung jawab dan tanpa paksaan mewariskan kepada anak-anak mereka, iman, nilai-nilai serta budaya. Keluarga, sebagai unsur  awal dari masyarakat dunia, tetap menjadi tempat pembelajaran utama bagi keharmonisan hubungan di setiap tingkat kehidupan bersama secara  manusiawi, nasional dan internasional. Kearifan menunjukkan bahwa inilah jalan untuk membangun persaudaraan sosial yang kuat, dimana kaum muda dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang tepat dalam kehidupan, dalam masyarakat luas, dan memiliki semangat untuk saling memahami dan berdamai.

Sebuah Warisan Bersama

5.    Dapat dikatakan bahwa diantara hak dan kebebasan dasar manusia, kebebasan beragama ditempatkan pada posisi istimewa. Ketika kebebasan beragama diakui, martabat manusia dihormati secara mendasar, dan etos serta lembaga kemasyarakatan menjadi kuat. Di sisi lain, ketika kebebasan beragama diabaikan dan ada upaya untuk menghalangi orang untuk mengakui agama atau kepercayaannya -serta hidup secara beradab- martabat manusia dihina, sehingga mengakibatkan ancaman bagi keadilan dan perdamaian, yang didasarkan pada tatanan sosial yang benar berdasarkan Kebenaran dan Kebaikan yang Agung.

Dalam hal ini, kebebasan beragama juga merupakan keberhasilan peradaban politik dan hukum. Inilah kebajikan yang penting: setiap orang harus dapat secara bebas menggunakan haknya untuk menganut dan menyatakan, baik secara individu maupun di dalam masyarakat, iman atau kepercayaannya, di muka umum dan secara pribadi, dalam pengajaran, dalam kehidupan, dalam publikasi, dalam ibadah dan dalam peringatan ritual. Seharusnya tidak ada hambatan bagi seseorang untuk akhirnya memiliki agama lain atau tidak mengakuinya sama sekali. Dalam konteks ini, hukum internasional menjadi model dan acuan bagi semua negara, sejauh hal itu tidak membolehkan penghinaan terhadap kebebasan beragama, selama persyaratan ketertiban umum dipertimbangkan. [7] Hukum internasional mengakui bahwa hak beragama memiliki status yang setara dengan hak untuk hidup dan kebebasan pribadi, sebagai pembuktian bahwa hal itu sangat memiliki arti penting bagi hak asasi manusia, dimana hukum universal dan hukum alam yang mengatur manusia tidak dapat mengabaikannya.

Kebebasan beragama bukanlah warisan eksklusif bagi para pengikutnya, melainkan bagi seluruh masyarakat di bumi. Ini merupakan unsur penting bagi sebuah negara hukum; Hal yang tidak dapat dipungkiri tanpa -pada saat bersamaan- melanggar seluruh hak fundamental dan kebebasan, karena merupakan perpaduan dan asas mendasar. Ini adalah “tes lakmus atas penghormatan kepada semua hak asasi manusia lainnya”. [8] Sementara ini mewarnai pengajaran utama bagi manusia, memberikan  tempat bagi pengembangan integral yang menyangkut manusia dalam setiap dimensi. [9]

Dimensi Publik Agama

6.    Kebebasan beragama, seperti kebebasan lainnya, diproses dari lingkungan pribadi dan dicapai dalam hubungan dengan orang lain. Kebebasan tanpa saling hubungan bukanlah kebebasan penuh. Kebebasan beragama tidak terbatas pada dimensi individu saja, tetapi dicapai dalam sebuah komunitas dan dalam masyarakat, sejalan denganhubunganantar manusia dan sifat publik dari sebuah agama.

Hubungan persaudaraan adalah komponen yang menentukan dalam kebebasan beragama, yang mendorong komunitas orang yang percaya untuk melatih solidaritas demi kebaikan bersama. Dalam dimensi anggota komunitas, setiap orang tetap unik dan tidak dapat disamakan, sementara pada saat bersamaan saling melengkapi dan terrealisasi secara penuh.

Kontribusi komunitas beragama di dalam masyarakat tidak dapat disangkal lagi. Lembaga amal dan budaya banyak memainkan peranan dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih penting lagi adalah kontribusi etika beragama diajang politik. Agama tidak boleh tersisih atau dilarang, tetapi terlihat memilik kontribusi yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan umum. Dalam konteks ini disebutkan bahwa adanya dimensi budaya beragama, dibangun selama berabad-abad berkat kontribusi etika sosial dan terutama sekali agama. Dimensi ini sama sekali tidak diskriminatif terhadap mereka yang tidak memiliki keyakinan yang sama, tetapi malah memperkuat ikatan penyatuan, sosial dan rasa solidaritas.

Kebebasan Beragama, Memperkuat Kebebasan dan Peradaban:

Bahaya Muncul dari Pengeksploitasiannya.

7.    Eksploitasi terhadap kebebasan beragama untuk menyamarkan kepentingan tersembunyi, seperti subversi terhadap tatanan yang telah ditetapkan, penimbunan sumber daya atau penguasaan pada kekuatan kelompok tertentu, dapat menyebabkan kerugian besar dalam masyarakat. Fanatisme, fundamentalisme dan praktek-praktek yang  bertentangan terhadap martabat manusia tidak pernah dapat dibenarkan, apalagi bila mengatas-namakan agama. Profesi agama tidak dapat dimanfaatkan atau diterapkan secara paksa. Negara-negara dan berbagai komunitas manusia tidak boleh lupa bahwa kebebasan beragama memiliki kondisi untuk mencari kebenaran, dan kebenaran tidak dapat dipaksa dengan kekerasan tetapi “oleh kekuatan kebenaran itu sendiri”. [10] Dalam hal ini, agama adalah pendorong positif untuk membangun masyarakat sipil dan politis.

Bagaimana orang dapat menyangkal kontribusi agama-agama besar dunia dalam perngembangan peradaban? Pencarian yang tulus akan Allah telah memberikan penghormatan yang besar terhadap martabat manusia. Komunitas Kristiani, dengan warisan nilai-nilai dan prinsipnya, telah memberikan banyak sumbangsih bagi penyadaran setiap individu dan masyarakat akan identitas dan martabat mereka, pembentukan lembaga-lembaga demokrasi dan pengakuan terhadap hak asasi manusia  -hak lainnya.

Hari ini juga, didalam masyarakat yang semakin global, umat Kristiani dipanggil, tidak hanya melalui tanggung jawab untuk terlibat dalam kehidupan sipil, ekonomi dan politik saja, tetapi juga melalui kesaksian mereka dalam amal dan iman, untuk memberikan kontribusi yang berararti bagi segala usaha menuju keadilan, pengembangan masyarakat secara keseluruhan dan urusan-urusan kemanusiaan. Pengecualian agama dari kehidupan bermasyarakat meniadakan dimensi terakhir yang terbuka kepada transendensi. Tanpa pemahaman mendasar ini akan sulit untuk mengarahkan masyarakat menuju prinsip kode etik secara universal dan membuat tatanan hukum di tingkat nasional dan internasional yang sepenuhnya mengakui dan menghormati hak-hak asasi serta kebebasan sebagai sebuah tujuan –sayang sekali masih diabaikan atau dipertentangkan –dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Issu Keadilan dan Peradaban:

Fundamentalisme dan Permusuhan pada Penganut Kepercayaan Berkompromi pada Sekularitas Positif Negara-Negara

8.    Ketentuan yang sama -yang mengutuk setiap bentuk fanatisme dan fundamentalisme agama- juga harus menentang setiap bentuk permusuhan terhadap agama yang membatasi peran publik para penganut dalam kehidupan sipil dan politik.

Haruslah jelas bahwa fundamentalisme agama dan sekularisme memiliki kesamaan dalam hal keduanya merupakan bentuk ekstrim dari penolakan terhadap pluralisme yang sah dan prinsip sekularitas. Keduanya absolut sebagai reduktif dan sebagian visi pribadi manusia, memihak pada salah satu bentuk kasus integralisme agama dan, di sisi lain, rasionalisme. Sebuah masyarakat yang memaksakan atau, sebaliknya, menolak agama tidak hanya tidak adil kepada individu dan kepada Tuhan, tetapi juga pada dirinya sendiri. Allah mengundang manusia dengan rencana penuh kasih yang, dengan melibatkan keseluruhan pribadi dalam dimensi alam dan spiritual, meminta jawaban yang bebas dan bertanggung jawab sepenuh hati,  sebagai individu dan komunitas. Masyarakat pun, sebagai ungkapan pribadi dan dalam seluruh bentuk konstitusinya, harus hidup dan mengatur dirinya dengan cara yang terbuka terhadap transendensi.  Untuk alasan itulah,  hukum dan lembaga-lembaga masyarakat tidak dapat dibentuk sedemikian rupa untuk mengabaikan bentuk agama warganya atau untuk membelokkannya dari hal tersebut. Melalui kegiatan demokratis warga sadar akan panggilan tertinggi mereka, badan hukum dan lembaga-lembaga harus cukup mencerminkan sifat alami seseorang dan mendukung dimensi keagamaannya. Karena hal ini bukan ciptaan negara, tidak dapat dimanipulasi oleh negara, melainkan harus diakui dan dihormati olehnya.

Jika sistem hukum di tingkat manapun, nasional maupun internasional, memungkinkan atau mentolerir fanatisme agama atau antiagama, ia gagal dalam misinya untuk melindungi dan mencanangkan keadilan dan semua hak. Hal-hal ini tidak dapat diserahkan pada kebijaksanaan legislator atau kaum mayoritas karena, seperti Cicero pernah mengatakan, keadilan lebih dari sekedar tindakan membuat  dan memberlakukan hukum. Ia memerlukan pengakuan terhadap martabat setiap orang [11] yang, jika tidak ada jaminan akan kebebasan beragama untuk hidup  dengan esensinya, akan berakhir menjadi pada pembatasan dan penghinaan, berisiko jatuh kedalam kekuasaan berhala, barang relatif yang kemudian menjadi mutlak . Semua ini menghadapkan masyarakat pada risiko bentuk totalisme politik dan ideologi yang menekankan kekuasaan publik sementara merendahkan dan membatasi kebebasan hati nurani, pemikiran dan agama sebagai pesaing potensial.

Dialog antar Lembaga Sipil dan Lembaga Keagamaan

9.    Prinsip warisan dan nilai-nilai yang diungkapkan oleh sebuah religi otentik merupakan sumber yang memperkaya masyarakat dan etos-nya. Ia berbicara langsung ke hati nurani serta pikiran -baik laki-laki dan perempuan, mengingatkan pada kebutuhan konversi moral, dan mendorong tindakan kebajikan dan pendekatan penuh kasih pada orang lain sebagai saudara, sebagai anggota keluarga manusia yang lebih besar. [12 ]

Dengan penghormatan kepada sekularitas positif lembaga negara, dimensi publik agama harus selalu diakui. Dialog yang sehat antar lembaga-lembaga sipil dan lembaga agama, merupakan dasar untuk pengembangan integral pribadi manusia dan keharmonisan sosial.

Hidup dalam Kasih dan Kebenaran

10. Dalam dunia global dimana masyarakat semakin multi-etnis dan multi-agama, agama-agama besar dapat berperan sebagai faktor penting bagi persatuan dan perdamaian dalam keluarga manusia. Atas dasar keyakinan agama mereka dan usaha mewujudkan kesejahteraan umum, para penganut dipanggil untuk memberikan bertanggung jawab pada komitmen mereka dalam konteks kebebasan beragama. Di tengah beragam budaya agama, terdapat kebutuhan akan nilai unsur-unsur yang mendorong koeksistensi sipil, dan menolak apa pun yang bertentangan dengan martabat pria dan wanita

Ruang  publik  yang disediakan oleh masyarakat internasional untuk agama mereka dan usulan tentang  apa yang merupakan “hidup yang baik” membantu menciptakan ukuran kesepakatan tentang kebenaran dan kebaikan, dan sebuah kesepakatan moral; kedua hal ini merupakan fundamental dari koeksistensi keadilan dan kedamaian. Para pemimpin agama-agama besar, berkat posisi mereka, pengaruh dan otoritas mereka didalam komunitasnya, menjadi orang pertama yang dipanggil untuk saling menghormati dan berdialog.

Umat Kristiani, dalam perannya, didorong oleh iman mereka kepada Allah, Bapa dari Tuhan Yesus Kristus, untuk hidup sebagai saudara yang bertemu dalam Gereja dan bekerja sama untuk membangun dunia secara individu dan masyarakat “tidak boleh saling menyakiti atau menghancurkan … agar bumi penuh dengan pengetahuan akan Tuhan seperti air yang menutupi laut” (Yes. 11:9).

Dialog sebagai Pencarian Bersama

11. Bagi Gereja, dialog antar para penganut agama-agama yang berbeda merupakan sarana penting untuk bekerja sama dengan semua komunitas agama demi kebaikan bersama. Gereja sendiri tidak menolak apa yang benar dan suci dalam berbagai agama. “Dia menjunjung tinggi cara hidup dan perilaku, ajaran dan doktrin yang, meskipun berbeda dalam banyak hal dengan pengajarannya sendiri,namun sering mencerminkan sinar kebenaran yang menerangi semua orang “. [13]

Jalan yang diambil bukan cara relativisme atau sinkretisme agama. Gereja, pada kenyataannya, “menyatakan, dan terikat dalam tugas untuk mewartakan, Kristus adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:6); dalam Kristus, di dalam Dia Allah mendamaikan segala sesuatu untuk dirinya sendiri, orang menemukan kepenuhan hidup keagamaan “. [14] Namun hal ini tidak termasuk dialog dan pencarian kebenaran dalam berbagai bidang kehidupan, karena, sebagaimana Santo Thomas Aquinas berkata,” setiap kebenaran, siapa pun yang mengucapkan itu, berasal dari Roh Kudus “. [15]

Tahun 2011 merupakan peringatan ke-25 Hari Doa Sedunia bagi Perdamaian yang diadakan di Assisi pada tahun 1986 oleh Paus Yohanes Paulus II. Pada kesempatan itu para pemimpin agama-agama besar dunia bersaksi pada fakta bahwa agama adalah faktor pemersatu dan perdamaian, dan bukan faktor pemecah dan konflik. Peringatan atas peristiwa tersebut memberikan harapan dimasa depan di mana semua orang beriman akan melihat dirinya sendiri, dan benar-benar akan menjadi duta keadilan dan perdamaian.

Moral Kebenaran dalam Politik dan Diplomasi

12. Politik dan diplomasi harus melihat warisan moral dan spiritual yang ditawarkan oleh agama-agama besar di dunia dalam hal pengakuan dan penegasan akan kebenaran universal, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang tidak dapat disangkal tanpa menolak martabat manusia. Tapi apa artinya, dalam praktek nyata, mencanangkan kebenaran moral dalam dunia politik dan diplomasi? Ini berarti bertindak secara bertanggung jawab berdasarkan pengetahuan objektif dan integral atas fakta ini; Ini berarti mendekonstruksi ideologi politik yang pada gilirannya menggantikan kebenaran dan martabat manusia dalam rangka untuk mencanangkan nilai-nilai semu dengan dalih perdamaian, pembangunan dan hak asasi manusia; artinya membina komitmen teguh berdasarkan hukum positif pada prinsip hukum alam. [16] Semua ini diperlukan secara konsisten guna penghormatan pada martabat dan nilai pribadi manusia yang diabadikan oleh masyarakat dunia dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa1945, yang menyajikan nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip moral sebagai titik acuan bagi norma, lembaga dan sistem yang mengatur koeksistensi pada tingkat nasional dan internasional.

Mengatasi Kebencian dan Prasangka

13. Belajar dari sejarah serta adanya upaya negara-negara, organisasi internasional dan regional, organisasi non-pemerintah dan banyak pria dan wanita yang memiliki kehendak baik -yang setiap hari bekerja untuk melindungi hak-hak dasar dan kebebasan, dunia saat ini tetap  dilanda kasus penganiayaan, diskriminasi, tindak kekerasan dan perselisihan antar agama. Kasus tersebut pada umumnya terjadi di Asia dan Afrika dan yang menjadi korban utama adalah anggota kelompok minoritas agama. Mereka dicegah untuk mengakui agama mereka atau dipaksa untuk mengubah agama mereka dengan cara intimidasi dan pelanggaran hak-hak mereka, termasuk kehilangan kebebasan pribadi dan kehidupan itu sendiri.

Ada juga – seperti telah saya katakan – bentuk yang lebih canggih dari permusuhan agama yang, di negara-negara Barat, kadang-kadang dinyatakan dalam penyangkalan sejarah dan penolakan simbol-simbol keagamaan yang mencerminkan identitas dan budaya dari mayoritas warga. Seringkali bentuk permusuhan juga memupuk kebencian dan prasangka, mereka tidak konsisten dengan visi pluralisme dan lembaga sekularitas yang setara dan seimbang, tidak menyampaikan fakta bahwa generasi mendatang berisiko kehilangan kontak atas warisan spiritual tak ternilai dari negara mereka.

Agama dipertahankan dengan membela hak-hak dan kebebasan umat beragama. Para pemimpin agama-agama besar dunia dan para pemimpin negara harus memperbaharui komitmen mereka untuk mencanangkan dan melindungi kebebasan beragama, dan khususnya untuk membela kelompok minoritas agama; Hal ini tidak menjadi ancaman bagi identitas mayoritas melainkan merupakan sebuah kesempatan untuk berdialog dan saling memperkaya budayanya. Membela mereka adalah cara ideal untuk mengkonsolidasikan semangat yang baik, keterbukaan dan timbal balik  yang  dapat menjamin perlindungan atas hak-hak mendasar dan kebebasan di segala bidang dan wilayah di dunia.

Kebebasan Beragama di Dunia

14. Akhirnya saya ingin menyampaikan sesuatu pada komunitas Kristiani yang menderita penganiayaan, diskriminasi, kekerasan dan intoleransi, terutama di Asia, Afrika, Timur Tengah dan khususnya di Tanah Suci, tempat yang dipilih dan diberkati oleh Allah. Sekalilagi saya ingin berafeksi bersama mereka di dalam kasih dan doa. Saya pun minta kepada mereka yang berwenang untuk segera bertindak guna mengakhiri setiap ketidakadilan terhadap umat Kristiani di negara tersebut.  Dalam menghadapi kesulitan ini, semoga pengikut Kristus tidak tawar hati, untuk bersaksi atas Injil, dan akan selalu, sebagai tanda kontradiksi.

Mari kita resapi sabda Tuhan Yesus: “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur … Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan … Berbahagialah kamu, jika karena Aku, orang mencaci kamu dan menganiaya kamu dan mengucapkan segala kejahatan terhadap kamu. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga “(Mat 5:4-12). Kemudian marilah kita memperbaharui “janji yang kita berikan untuk memaafkan dan mengampuni ketika kita meminta pengampunan Tuhan dalam doa Bapa Kami. Kita sendiri mengkondisikan dan memperluas rahmat yang kita minta ketika kita mengatakan: “Dan ampunilah  kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami ‘(Mat 6:12)” [17]  Kekerasan tidak dapat diatasi dengan kekerasan. Semoga teriak kesakitan kita selalu disertai dengan iman, dengan harapan dan dengan kesaksian cinta kita pada Allah. Saya juga menyatakan harapan saya bahwa di Barat, dan terutama di Eropa, akan berakhirlah permusuhan dan prasangka terhadap umat Kristiani karena mereka memutuskan untuk mengarahkan hidup mereka dengan cara yang konsisten sesuai nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam Injil.  Semoga Eropa lebih memilih berdamai dengan ke-Kristenannya sendiri, yang secara fundamental memahami perannya di masa lalu, sekarang dan masa depan dalam sejarah; dengan cara ini akan datang keadilan, kerukunan dan perdamaian dengan mengembangkan dialog yang tulus dengan semua orang.

Kebebasan Beragama, Jalan Menuju Perdamaian

15. Dunia membutuhkan Tuhan. Ini kebutuhan yang bersifat universal, saling membagi nilai-nilai etika dan spiritual, dan agama dapat memberikan kontribusi yang berharga untuk memotivasi mereka, dalam membangun suatu tatanan sosial yang adil dan damai di tingkat nasional dan internasional.

Perdamaian adalah karunia Allah dan pada saat yang sama menjadi tugas yang tidak pernah selesai. Sebuah masyarakat yang berdamai dengan Allah lebih dekat dengan perdamaian, yang bukan hanya dengan tidak adanya perang atau hasil dari supremasi militer maupun ekonomi, terlebih lagitanpa kepandaian menipu atau memanipulasi. Sebaliknya, perdamaian adalah hasil dari suatu proses pemurnian dan ketinggian budaya, moral dan spiritual yang melibatkan setiap individu dan masyarakat, sebuah proses di mana martabat manusia dihormati sepenuhnya. Saya mengundang semua orang yang ingin menjadi pembawa damai, khususnya kaum muda, untuk mengindahkan hati mereka dan dengan demikian di dalam Tuhan menemukan acuan yang pasti untuk mencapai kebebasan otentik, kekuatan sepenuhnya untuk memberikan dunia arah yang baru dan semangat, dan memperbaiki kesalahan di masa lalu. Mengutip kata-kata Paus Paulus VI, yang dengan kebajikan dan pandangannya yang jauh ke depan yang mana kita memiliki Hari Perdamaian Dunia: “Hal ini diperlukan sebelum orang lain memberikan damai dengan senjata lain –berbeda dengan yang ditakdirkan untuk membunuh dan memusnahkan umat manusia. Apa yang dibutuhkan di atas semua itu adalah senjata moral, orang-orang yang memberikan kekuatan dan wibawa pada hukum internasional – senjata, yang utama, ketaatan pakta “[18] Kebebasan beragama adalah senjata otentik bagi perdamaian, melalui sejarah dan misi kenabiannya. Perdamaian membuahkan hasil dari kualitas terdalam dan potensi manusia, kualitas yang dapat mengubah dunia dan menjadikannya lebih baik. Ini memberikan harapan bagi keadilan dan perdamaian dimasa depan, bahkan dalam menghadapi kematian ketidakadilan dan kemiskinan moral. Semoga semua pria dan wanita, dan masyarakat disetiap tingkatan dan disegenap bagian bumi, segera bisa mengalami kebebasan beragama, jalan menuju perdamaian!

Dari Vatikan, 8 December 2010

PAUS BENEDIKTUS XVI

Catatan:

[1] Cf. BENEDICT XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate, 29, 55-57.

[2] Cf. SECOND VATICAN ECUMENICAL COUNCIL, Declaration on Religious Freedom Dignitatis Humanae, 2.

[3] Cf. BENEDICT XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate, 78.

[4] Cf. SECOND VATICAN ECUMENICAL COUNCIL, Declaration on the Relation of the Church to Non-Christian Religions Nostra Aetate, 1.

[5] ID., Declaration on Religious Freedom Dignitatis Humanae, 7.

[6] BENEDICT XVI, Address to the General Assembly of the United Nations (18 April 2008): AAS 100 (2008), 337.

[7] Cf. SECOND VATICAN ECUMENICAL COUNCIL, Declaration on Religious Freedom Dignitatis Humanae, 2.

[8] JOHN PAUL II, Address to Participants in the Parliamentary Assembly of the Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) (10 October 2003), 1: AAS 96 (2004), 111.

[9] Cf. BENEDICT XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate, 11.

[10] Cf. SECOND VATICAN ECUMENICAL COUNCIL, Declaration on Religious Freedom Dignitatis Humanae, 1.

[11] Cf. CICERO, De Inventione, II, 160.

[12] Cf. BENEDICT XVI, Address to Representatives of Other Religions in the United Kingdom (17 September 2010): L’Osservatore Romano (18 September 2010), p. 12.

[13] Cf. SECOND VATICAN ECUMENICAL COUNCIL, Declaration on the Relation of the Church to Non-Christian Religions Nostra Aetate, 2.

[14] Ibid.

[15] Super Evangelium Joannis, I, 3.

[16] Cf. BENEDICT XVI, Address to Civil Authorities and the Diplomatic Corps in Cyprus (4 June 2010): L’Osservatore Romano (6 June 2010), p. 8; INTERNATIONAL THEOLOGICAL COMMISSION, The Search for Universal Ethics: A New Look at Natural Law, Vatican City, 2009.

[17] PAUL VI, Message for the 1976 World Day of Peace: AAS 67 (1975), 671.

Megawati: Pancasila adalah Roh Bangsa


Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyatakan, Pancasila menjadi dasar negara sekaligus filosofi kehidupan berbangsa bukan simbol mati, melainkan adalah ”roh” bangsa untuk membawa Indonesia sejahtera.

Megawati menyatakan hal itu dalam perayaan Natal Nasional di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (29/12) malam.

Menurut Mega, keberagaman Indonesia yang memiliki ratusan suku bangsa, etnis, bahasa, serta agama menjadi rahmat disyukuri. Perbedaan adalah kekayaan, bukan menjadi sumber konflik dalam kemajemukan bangsa ini.

Perayaan Natal di Manado ini dihadiri Ketua DPD PDI-P Sulut Olly Dondokambet, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang, Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo, Wakil Sekjen PDI-P Baskara, serta 3.000 simpatisan PDI-P. Natal diramaikan sejumlah paduan suara, yaitu Benedicto, Universitas Negeri Manado, dan Pria Kaum Bapa GMIM, serta refleksi dalam bentuk teater dimainkan Pemuda Gereja GMIM Imanuel Wanea.

Megawati mengatakan, kemajemukan negara ini sudah sejak lama sehingga harus dipertahankan. Menurut Megawati, empat pilar bangsa, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 45, dan NKRI, yang menjamin kehidupan kemajemukan wajib dipertahankan oleh segenap rakyat Indonesia. Tanpa empat pilar itu negara ini akan hancur dan orang tidak mengenal Indonesia.

Ia mengatakan, kemajemukan adalah penghargaan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa. Megawati kemudian menceritakan pengalaman hidupnya yang mesti hadir pada ritual keluarga dalam agama berbeda. ”Apakah saya harus menyangkal darah yang mengalir dalam tubuh ini hanya karena agama saya anut berbeda dengan leluhur saya?” katanya.

Megawati mengingatkan, Pancasila menjadi dasar negara sekaligus filosofi kehidupan berbangsa bukan simbol mati, melainkan adalah ”roh” bangsa untuk membawa Indonesia sejahtera.

”Pancasila jangan jadi simbol, tetapi harus membumi dan diterapkan dalam kehidupan seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali apakah dia pemimpin dan rakyat jelata,” katanya.

Untuk mencapai kemajuan, ujarnya, perlu pengorbanan yang besar dan itu sudah dilakukan pendiri bangsa ini yang harus melewati siksaan di penjara berkali-kali. ”Seperti Yesus yang berjalan terseok-seok menuju Bukit Golgota untuk kehidupan umatnya. Apakah belum cukup pengorbanan ini?” katanya. (ZAL)
(Kompas, 30 Des 2010)

Kapan Yesus Kristus (Isa Almasih) Lahir?


KAPAN YESUS LAHIR?

Sejak pertengahan bulan November, suasana Natal sudah mulai dihembuskan oleh pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Pada saat itu gereja sendiri mungkin baru membentuk panitia Natal. Seakan tidak mau kehilangan waktu, dunia bisnis, melalui dekorasi pohon cemara bersalju, rusa, dan kereta salju serta bingkisan hadiah memberikan dorongan psikologis kepada calon pembeli untuk segera berbelanja. Suasana serba putih yang diciptakan dari tahun ke tahun itu juga membentuk citra bahwa Kristus lahir di musim dingin yang bersalju di kota kecil bernama Betlehem.

Pemandangan demikian jelas tidak sesuai dengan gambaran yang dilukiskan oleh Lukas mengenai peristiwa besar itu. Injil ini menulis, “Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam” (Lukas 2:8).

Sejak zaman Alkitab sampai sekarang, gembala di Betlehem meninggalkan padang penggembalaan di musim dingin dengan berlindung di gua-gua yang disebut Grotto yang banyak terdapat di sekitar Betlehem. Karena malam yang dingin itu, dalam bulan Desember, apalagi tanggal 25 tidak akan ada gembala-gembala yang berada di padang bersama domba- domba. Biasanya mereka menggiring kawanan domba mereka ke padang setelah hari raya Paskah sampai hujan pertama atau salju tipis di awal Oktober. Ini berarti peristiwa kelahiran Yesus terjadi dalam selang waktu di antara Paskah di awal April sampai awal Oktober. Usaha untuk mendapatkan tanggal dan bulan kelahiran-Nya yang tepat ternyata tidak membuahkan hasil yang memuaskan, sehingga tanggal 25 Desember tetap dipakai sebagai patokan.

Alasan yang dikemukakan biasanya, “Tidak ada seorang pun tahu kapan Ia lahir. Karena sudah ada yang menetapkan lebih dulu 25 Desember, maka kita pakai saja, yang penting kita memberikan satu hari dalam satu tahun untuk merayakan kelahiran-Nya.”

Bagi orang yang memiliki sikap kritis dalam mencari kebenaran sejarah, jawaban ini tentu belum cukup memuaskan. Penyelidikan di lingkungan Kristen selama ini dilakukan dengan melupakan suatu prinsip penting dalam kehidupan Yesus bahwa Ia datang untuk menggenapi Taurat dan bukan meniadakannya (Matius 5:17).

Hal ini berarti semua kejadian penting dalam kehidupan Kristus sudah dinubuatkan oleh Taurat Musa. Dalam hal ini, Hukum Taurat merupakan tolok ukur untuk menunjukkan siapa Mesias yang sesungguhnya akan datang.

Tujuh Hari Raya TuhanHukum Taurat dalam Imamat 23 menetapkan 7 hari raya untuk diperingati dan dirayakan pada waktu tertentu setiap tahun. Hari- hari raya tersebut meliputi Paskah, Roti Tidak Beragi, Buah Sulung, Pentakosta, Sangkakala, Pendamaian, dan Tabernakel. Orang Kristen secara keliru menyangka bahwa semuanya itu adalah hari-hari raya Israel. Firman Tuhan mengatakan, “Hari-hari raya Tuhan yang kamu maklumkan untuk dikuduskan, semuanya itu adalah hari-hari raya-Ku” (KJV). Semuanya itu adalah hari-hari raya TUHAN. Setiap hari raya mengungkapkan satu segi kehidupan Yesus, yaitu Firman Tuhan yang untuk sementara waktu datang ke planet bumi dalam wujud manusia.

Bahwa 7 hari raya tersebut merupakan nubuatan tentang Mesias yang semuanya digenapi secara utuh oleh Yesus dapat dijelaskan sebagai berikut:

Paskah (Pesach): Yesus adalah domba Paskah kita. Inilah hari kematian-Nya.

Roti tidak Beragi (Hag HaMatzah): Yesus adalah Roti Hidup, Roti tidak Beragi yang turun dari surga. Ia tidak berdosa karena ragi menyatakan dosa.

Buah Sulung (Sfirat Haomer): Yesus adalah Buah Sulung kebangkitan dari kematian.

Pentakosta (Shavuof): Yesus adalah Pembaptis dengan Roh Kudus.

Sangkakala (Rosh HaShanah): Yesus adalah Mempelai Pria yang menjemput Mempelai Perempuan (Gereja) dalam Pengangkatan Gereja (rapture).

Pendamaian (Yom Kippur): Yesus adalah Mesias orang Yahudi yang datang kedua kalinya.

Tabernakel (Sukot): Yesus akan memerintah sebagai Raja Damai dalam Kerajaan 1000 Tahun.

Dalam 7 hari raya tersebut, semua segi kehidupan Yesus yang penting sudah dan akan diungkapkan.

Kematian dan kebangkitan-Nya telah dinubuatkan dalam Taurat. Pengangkatan Gereja dan Kedatangan-Nya yang kedua telah dinubuatkan dalam 7 Hari Raya itu, tetapi adakah petunjuk tentang hari kelahiran-Nya? Tentu saja, pada hari raya yang ke-7 yaitu hari raya Tabernakel.

Hal ini membentuk suatu pola, kalau hari raya pertama menunjuk pada kematian-Nya, maka hari raya terakhir menunjuk pada kelahiran-Nya; kalau hari raya ke-6 menunjuk pada kedatangan-Nya yang kedua, maka pada hari raya ke-7 menunjuk pada kedatangan-Nya yang pertama.

Hari raya Tabernakel merupakan hari raya yang paling meriah di antara ke-7 hari raya dan disebut juga sebagai Festival Cahaya. Saat itu Bait Suci bagaikan bermandikan cahaya, di Serambi Wanita dipasang 4 kandil pada empat penjuru seakan-akan ingin menerangi bangsa-bangsa. Ini merupakan petunjuk bahwa Terang Dunia itu sedang datang menerangi bangsa-bangsa yang masih berada dalam kegelapan dosa. Hari raya Tabernakel juga merupakan suatu masa raya yang penuh sukacita. Dalam suasana itulah, malaikat datang kepada para gembala di padang bersama kawanan domba mereka dan berkata, “Jangan takut karena sesungguhnya aku memberitakan kesukaan besar bagi seluruh bangsa” (Lukas 2:10).

Bagaimana perhitungan tanggalnya? Injil Lukas 1:5 mencatat bahwa Zakaria, suami Elisabet, kakak ipar Maria ibu Yesus, menjadi imam dari rombongan Abia. Menurut 1Tawarikh 24:10 rombongan Abia mendapat urutan ke-8 dalam tugas di Bait Suci. Tiap rombongan bertugas rutin satu minggu, dua kali dalam setahun.Jadwal tugas imam ditetapkan menurut kalender keagamaan yang dimulai dengan bulan Nisan yaitu pertengahan Maret. Jadi Zakaria bertugas pada pertengahan Mei. Tetapi karena hari raya Shavuot (Pentakosta) jatuh pada akhir Mei dan semua imam diminta bertugas bersama, Zakaria harus menetap di Bait Suci untuk tambahan dua minggu. Akibatnya ia baru pulang ke rumah untuk menemui isterinya pada awal minggu kedua bulan Juni.

Elisabet mulai hamil pertengahan Juni (Lukas 1:24). Pada saat Elisabet hamil 6 bulan, malaikat Gabriel datang kepada Maria, yaitu pertengahan Desember. Maria mulai mengandung saat itu (Lukas 1:36). Walaupun Yesus dikandung dari Roh Kudus (Lukas 1:35), Yesus dilahirkan pada akhir bulan September atau awal Oktober dan saat itulah orang Yahudi merayakan hari raya Tabernakel (Honorof, R.A., 1997, “The Return of the Messiah”).

Hari raya Tabernakel setiap tahun pada tanggal 15 bulan Tishri dan dirayakan selama satu minggu. Ini berarti menurut ketentuan Taurat tanggal kelahiran Yeshua HaMashiach (Yesus Kristus) jatuh pada tanggal 15 Tishri menurut kalender Yahudi. Menurut kalender international (Gregorian), pada tahun 1998 tanggal 15 Tishri jatuh pada 5 Oktober; sedangkan pada tahun 1999 jatuh pada 25 September. Pada tahun 2000 jatuh pada 14 Oktober, sedangkan pada tahun 2001 jatuh pada 2 Oktober 2001 lalu.

Kalau begitu, mengapa dunia merayakan kelahiran Yesus pada 25 Desember? Kelahiran Yesus tidak pernah dirayakan sampai tahun 336. Kelahiran-Nya mulai dirayakan setelah kaisar Roma yang bernama Konstantin (285-337) menyatakan diri menjadi pemeluk agama Nasrani. Sudah menjadi tradisi setiap 25 Desember penduduk kota Roma merayakan pesta besar yang disebut Saturnalia Romawi untuk menyambut kembalinya matahari ke belahan bumi utara setelah mencapai garis balik selatan. Ketika siang hari menjadi lebih panjang, dewa matahari dianggap telah lahir kembali dan mereka bergembira-ria sambil tukar-menukar hadiah.

Ketetapan untuk mengkonversikan 25 Desember menjadi hari raya Nasrani dengan menjadikannya sebagai hari kelahiran Yesus dilakukan oleh Paus Julius I pada pertengahan abad 4 di kota Roma (Worldwide Church of God, 1985 “The Plain Truth About Christmas”). Ketetapan tersebut tidak dapat diterima oleh gereja-gereja di Yerusalem yang menolaknya sampai abad 6 (Wagner, C. 1995 “Bridges for Peace”). Setelah itu secara tidak resmi umat Nasrani menerima 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus, walaupun banyak yang mengetahui bahwa itu bukan tanggal yang sesungguhnya.

Bagaimana Perhitungan Tahunnya?

Kelahiran Yesus jelas harus terjadi sebelum kematian Raja Herodes Agung yang ingin membunuhnya dengan memerintahkan pembunuhan semua bayi berumur di bawah 2 tahun di Betlehem (Matius 2:16). Flavius Josephus (37-100), sejarawan Yahudi abad pertama, mengatakan bahwa sesaat sebelum Herodes meninggal telah terjadi gerhana bulan yang menurut para pakar perbintangan terjadi pada 13 Maret tahun 4 sebelum Masehi (Antiquities of the Jews, XVII, vi, 167). Dengan mengacu pada taksiran Herodes bahwa bayi yang baru lahir itu tidak lebih dari 2 tahun usianya, maka taksiran intelektual tahun kelahiran Yesus sekitar tahun 4-5 sebelum Masehi.

Kekeliruan penetapan tahun 1 tarikh Masehi oleh imam Italia Dionysius Exiguus yang hidup di abad 6 mengakibatkan kelahiran Yesus tidak terjadi pada tahun 0 (nol) Masehi, Anno Domini (op cit, 1985). Ini berarti 2000 tahun sebelum Yesus lahir adalah tahun 1996; sedangkan tahun 2000 kemarin yang dihebohkan dengan “kutu mileniumnya” tidak lain adalah tahun 2004 setelah Kristus lahir.

Sumber diambil dari:
Judul Artikel : Kapan Yesus Lahir?

Penulis : Benyamin Obadyah(Gembala Sidang GBI Exousia Agape, Jakarta)

Situs : http://www.bahana-magazine.com/des2001/artikel1.htm

Pancasila Perlu Terus Disebarkan


Nilai-nilai Pancasila yang ditanamkan Bung Karno dan berbenih di Ende mengajarkan untuk menghormati kebhinekaan agama, suku, dan budaya. Masyarakat Ende di Nusa Tenggara Timur sudah mempraktikkan nilai itu dan perlu terus disebarluaskan.

Wakil Presiden Boediono menyampaikan hal itu pada pencanangan pemugaran situs Bung Karno, Selasa (28/12) di Taman Renungan Bung Karno, Ende. Acara ini digelar tepat 77 tahun setelah ditandatanganinya surat keputusan pengasingan Bung Karno oleh Belanda, 28 Desember 1933.Situs yang akan dipugar secara bertahap adalah rumah pengasingan, Taman Renungan tempat Soekarno biasa duduk di bawah pohon sukun untuk merenung, gedung tempat pementasan tonil Bung Karno, dan makam mertua Bung Karno, Ibu Amsi.

Jangan hanya fisikBoediono mengingatkan, pemugaran situs Bung Karno jangan hanya menjadi pembangunan fisik semata atau kegiatan sesaat, tapi juga perlu diisi dengan berbagai kegiatan yang berkelanjutan. Untuk itu, atas inisiatif Boediono dan sejumlah tokoh, termasuk Bupati Ende Don Bosco M Wangge, dibentuk Yayasan Ende Flores. Yayasan ini diketuai Ignas Kleden.

Selain Wapres, hadir Menteri Pendidikan Nasional M Nuh, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dan Ny Herawati Boediono. Hadir juga Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Wakil Gubernur NTT Eston Foenay, dan para bupati dari Flores.

Pada kesempatan itu diumumkan para pemenang lomba menulis tingkat SMA/MA/SMK se-NTT tentang ”Semangat Bung Karno di Ende” yang diselenggarakan harian Kompas dan Pos Kupang. Hadir Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun.

”Peserta lomba mencapai 437 orang. Ini mengisyaratkan bahwa sejarah tentang pengasingan Bung Karno tidak dilupakan oleh generasi muda. Hal ini merupakan rangkaian kegiatan Ekspedisi Jejak Peradaban NTT yang dilakukan Kompas,” kata Pieter P Gero, salah satu juri lomba.

Dana Kemanusiaan Kompas menyerahkan bantuan buku untuk perpustakaan situs Bung Karno dan sejumlah sekolah.

Seusai acara, Wapres bersama rombongan mengunjungi Universitas Flores (Unflor), Rumah Sakit Umum Daerah Ende, dan menghadiri Natal bersama di Unflor bersama masyarakat, tokoh agama, dan pejabat setempat.

Rabu ini, Wapres akan berdialog dengan 600 siswa SMA/ MA/SMK dan para guru se-Kota Ende di SMAK Syuradikara. Wapres juga direncanakan meninjau Desa Raporendu di Kecamatan Nangapanda untuk memantau perkembangan program PNPM Mandiri dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Komodo untuk mendukung program ”Vote Komodo”.
(KOR/SEM/PPG/ANS/SUT)
(Kompas.com)

Lagi: Blog Malaysia Menghina Indonesia Habis-habisan


Mari lihat lagi sebuah blog yang menghina Indonesia.

Mulai dari Lagu Kebangsaan sampai dengan curi kebudayaan. Dari TKI sampai kepada kemiskinan Indonesia
Lihat aja blog ini:
http://www.indonbodoh.blogspot.com

Sebarkan ke yang lain.