Pemimpin dan Solidaritas Bangsa


Oleh F Budi Hardiman

Globalisasi mengubah banyak hal secara mendasar. Di dalam konstelasi baru ini ’bangsa’ mulai kehilangan khasiatnya sebagai perekat kebinekaan. Rezim-rezim reformasi berhenti bercerita tentang bangsa. Penguatan identitas etnis di daerah-daerah mengancam integrasi sosial. Agama pun dipakai sebagai kode pemerasan dan bisnis teror. Politik suap bersanding dengan apa yang disebut demokrasi mewabah di berbagai sektor. Inovasi-inovasi kultural dan wilayah perbatasan diklaim negara tetangga. Para peneliti kita pun diincar pihak asing. Semua ini terjadi nyaris tanpa sentimen kebangsaan untuk menangkalnya segera.

Jika organisme politis menjadi begitu kompleks, para pemimpin di sana menjadi peragu dan lamban bertindak terhadap ancaman-ancaman ketahanan nasional. Hilang martabatnya, orang kita pun rentan menjadi korban trafficking atau diperdagangkan sebagai pembantu di luar negeri. Semua ini membuat kita bertanya-tanya, benarkah kita suatu bangsa?

Dampak krisis kebangsaan.

Ada tiga gejala penting yang dapat kita tunjuk di sini sebagai dampak krisis solidaritas, yakni masyarakat risiko, radikalisme agama, dan politik uang. Ketiganya berkelindan sebagai implikasi praktis pudarnya ’bangsa’ sebagai metafora solidaritas. Perasaan khas yang ditimbulkannya sudah dirasakan di mana-mana, yaitu ketidakberdayaan dan ketelantaran.

Pertama, karena lemahnya kontrol publik atas birokrasi dan pasar, demokratisasi yang seharusnya merehabilitasi solidaritas kebangsaan justru jadi arena produksi dan distribusi risiko. Ketika pengalaman bersama sebagai bangsa gagal direproduksi, ketidakpastian komunikasi di masyarakat jadi makin besar sehingga setiap orang menjadi risiko bagi sesamanya. Masyarakat kita berubah menjadi apa yang oleh Ulrich Beck disebut ’masyarakat risiko’.

Dengan multiplikasi dan distribusi risiko, politik kehilangan daya mobilisasinya untuk menggalang solidaritas sosial karena individu condong mengamankan diri. Di tengah-tengah meningkatnya ketidakpercayaan kepada para pemimpin yang korup, negara yang seharusnya mengamankan malah menjadi faktor risiko bagi individu.

Kedua, memudarnya khasiat ’bangsa’ sebagai metafora solidaritas mengancam ketahanan nasional kita. Hal itu membuat kebutuhan akan heroisme dan pengorbanan kehilangan sarangnya. Kebutuhan itu menjadi liar dan eksesif. Terlibatnya warga negara kita dalam teror, bom bunuh diri, pembantaian kelompok berkeyakinan lain, dan pembakaran gereja-gereja menunjukkan bagaimana ekses dan destruksi telah dieksistensialisasikan secara religius untuk memenuhi kebutuhan akan heroisme dan pengorbanan. Penyesalan dan ratapan semakin besar ketika kita menyadari bahwa para pelaku itu juga ’anak-anak bangsa’ yang sama dengan para korbannya.

Ketiga, ekspansi pasar kapitalis dalam globalisasi membuat uang menjadi kode sentral interaksi sosial. Dengan kode baru ini loyalitas kebangsaan menjadi relatif. Uang mempersekutukan kepentingan dan kurang meminati karakter dan identitas. Pudarnya ’bangsa’ diiringi pudarnya perbuatan-perbuatan besar akibat politik tak lagi sanggup menggerakkan antusiasme solidaritas.

Sekarang ini pasar menyerbu masuk ke parlemen, pengadilan, dan pemerintahan. Uang sebagai kode baru yang menggantikan solidaritas dipakai untuk mobilisasi suara di tiga arena tersebut. Panggung-panggung demokrasi, seperti pemilu, pun dipenuhi figur penjudi politis yang mencari untung dari cashflow kampanye. Ketika uang menjadi kategori baru dalam politik, kemiskinan tidak lagi dituturkan sebagai masalah solidaritas.

Imajinasi solidaritas baru

Kita telah ditakdirkan untuk beragam, maka keragaman harus menjadi kekuatan kita. Masyarakat risiko, radikalisme agama, dan politik uang tak boleh mencabik-cabik tubuh politis. Kita boleh optimistis dengan penegasan Denys Lombart setelah sejarawan Perancis ini menyelami arkeologi mentalitas negeri kita. Menurut dia, negeri kita yang berada di titik persilangan berbagai kebudayaan dan beragam dunia berpeluang menjadi peradaban agung. Kita sudah punya prestasi-prestasi menuju peradaban agung itu.

Prestasi pertama adalah Pancasila. Pancasila adalah kesepakatan dasar yang telah mampu menjadi rumah bersama bagi kebinekaan kita. Prestasi lainnya adalah pemerintahan demokratis. Tahun 1998, orang mengira Indonesia akan mengalami balkanisasi dan dihapus dari peta. Namun, meski didera sejumlah kerusuhan, konflik etnis, dan ketegangan agama, secara makro Indonesia tidak mengalami pemburukan.

Pemerintahan demokratis telah memberikan solusi kreatif untuk memoderasi perbedaan sehingga Indonesia menjadi contoh demokrasi dan toleransi bagi negara-negara Islam. Dengan segala cacatnya, pemilu nasional dan sejumlah pemilu lokal berlangsung relatif damai. Kita harus berani mengimajinasikan Indonesia demokratis akan menjadi kekuatan ekonomis, kultural, dan geopolitis yang besar di Asia dalam satu dasawarsa mendatang.

Adapun yang kita butuhkan sekarang adalah kepemimpinan demokratis yang memiliki kredibilitas publik. Masyarakat kita telah menjadi sebuah masyarakat risiko karena para pemimpin saat ini telah terjebak dalam ’persekongkolan modal dan kuasa’. Hukum justru meningkatkan produksi dan distribusi risiko ke dalam populasi kita. Kita butuh kepemimpinan yang membuat hukum untuk melindungi anak-anak bangsa yang paling dirugikan oleh globalisasi pasar. Sebab, kebijakan pasar bebas hanya akan menjatuhkan banyak korban jika tidak diimbangi proteksi atas hak-hak ekonomi dan sosial warga.

Suatu kebijakan yang meningkatkan pendapatan pekerja kita di dalam negeri, misalnya, akan mencegah orang kita bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Sebutan-sebutan seperti ’pahlawan devisa’ bagi TKI dan ’pahlawan tanpa tanda jasa’ bagi guru hanyalah pemanis untuk kondisi ketenagakerjaan yang belum cukup memartabatkan anak bangsa sendiri.

Tantangan kebangsaan kita dewasa ini bukan perang ataupun penjajahan, melainkan pasar global yang memperlakukan anak bangsa kita sebagai komoditas atau benda-benda ekonomis. Kata ’solidaritas’ di sini dimengerti sebagai upaya-upaya para pemimpin untuk mengubah perilaku organisasi mereka sehingga mendapat kredibilitas publik.

Frase teks proklamasi ”kami bangsa Indonesia” harus menjadi riil dalam birokrasi yang transparan, nondiskriminasi, dan penuh sikap pelayanan. Birokrasi yang pro-publik itu juga pada gilirannya akan mengamankan anak-anak bangsa dari ketelantaran, kesewenang-wenangan kelompok, dan dari risiko-risiko komodifikasi dalam pasar global.Tantangan kebangsaan terkait dengan kemampuan pemimpin kita untuk menghubungkan sistem politik dengan solidaritas kewarganegaraan. Kita telah memiliki praktik spontan solidaritas kewarganegaraan itu dalam berbagai tragedi nasional di mana negara seolah absen. Di antara mereka adalah kelompok-kelompok lintas agama untuk melawan intoleransi, inisiatif-inisiatif warga berbeda suku-agama untuk menolong korban bencana, kelompok-kelompok media yang terus berjuang melampaui etnosentrisme. Solidaritas warga seperti itu adalah daya konstruktif yang lebih kuat daripada daya destruktif radikalisme agama.

Kepemimpinan berkarakter

Untuk mengubah daya destruktif menjadi konstruktif, kita membutuhkan para pemimpin yang amanah. Sebuah kepemimpinan yang lembek telah menggiring kita kepada ancaman desintegrasi ketika daerah-daerah dibiarkan membuat aturan-aturan mereka sendiri yang diambil dari agama tertentu. Sikap kepemimpinan lembek seperti itulah preseden dari radikalisme dan perpecahan. Anak bangsa kita tidak akan mengisi bom rakitan di dalam ranselnya dan membiarkan diri terkoyak oleh ledakannya jika komunitasnya tidak lebih dahulu terkoyak.

Akhirnya, kita juga membutuhkan kepemimpinan yang berkarakter untuk menghentikan politik uang dalam pemerintahan demokratis kita. Masalah sebenarnya tidak terletak pada uang itu sendiri, tetapi pada sikap atasnya. Perpajakan, misalnya, dapat menjadi berkah jika dikelola dengan baik.

Selama ini kutuk kita alami karena pajak dikorupsi. Utopia perpajakan adalah solidaritas sosial yang dirasakan jika hasil pajak memartabatkan segmen yang paling lemah dalam komunitas politis. Hasil pajak itu akan kembali kepada pembayar dalam bentuk pelayanan-pelayanan publik, termasuk membiayai pengawasan terhadap pemerintahan. Jangan bicara nasionalisme pembayar pajak sebelum ada bukti atas nasionalisme pengelolaan pajak dalam bentuk peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hak-hak asasi warga negara. Solidaritas baru itu pada akhirnya direproduksi lewat keadilan.

*F Budi Hardiman Pengajar di STF Driyarkara dan Universitas Pelita Harapan
(Kompas 27 Okt 2011)

Kembali ke (Tugu) Proklamasi)


___
”sulit sekali menemukan nilai-nilai unggul kepemimpinan yang akan secara nyata memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara”.
_______

Kembali ke (Tugu) Proklamasi.
(Sumber: Kompas,Rabu, 19 Oktober 2011)

Fajar Riza Ul Haq

Dalam momentum dua tahun pemerintahan SBY-Boediono, sejumlah tokoh lintas agama, yang awal Januari mencanangkan 2011 sebagai perlawanan terhadap kebohongan publik, kembali menyampaikan pernyataan terbuka di Tugu Proklamasi (18/10).

Kali ini dialamatkan langsung ke seluruh rakyat Indonesia, agen politik yang selama ini otonomi politiknya dilucuti oligarki parpol. Para tokoh agama sama sekali tak berselera untuk bercakap soal kegaduhan drama bongkar pasang kabinet. Mereka justru sangat gundah dengan kepemimpinan nasional itu sendiri.

Melalui proses perjalanan reflektif sejak November 2010, kini mereka sampai pada kesimpulan ”sulit sekali menemukan nilai-nilai unggul kepemimpinan yang akan secara nyata memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara”. Tokoh lintas agama harus menghadapi satu kenyataan: sudah tidak ada lagi kata-kata yang dapat disuarakan sebagai bentuk seruan moral.

Anatema gerakan

Sepanjang kami ikut memfasilitasi pertemuan para tokoh lintas agama bersama Konferensi Waligereja Indonesia dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia sejak 2006, topik korupsi, kemiskinan, kepemimpinan, dan pengingkaran janji kemerdekaan merupakan anatema dalam setiap percakapan. Gerbong gerakan moral ini sendiri sudah digulirkan paling tidak sejak 2000, kala itu dimotori Nurcholish Madjid (Paramadina), Ahmad Syafii Maarif (Ketua PP Muhammadiyah), KH Hasyim Muzadi (Ketua PBNU), Kardinal Julius Darmaatmaja SJ (Uskup Agung Jakarta), Franz Magnis-Suseno SJ, Bikkhu Pannyavaro, Djohan Effendi, dan lain-lain.

Tahun 2010, kinerja pemberantasan korupsi pada pemerintahan SBY mencapai level terburuk. Lembaga Survei Indonesia mencatat, tingkat kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah memberantas korupsi turun drastis dari 83,7 persen jadi 34 persen. Rakyat pun menilai praktik korupsi kian menggurita hingga mencapai 47,2 persen. Kriminalisasi pimpinan KPK, pemberian talangan Bank Century, dan mafia pajak Gayus Tambunan mewakili potret gelap wajah keadilan tahun pertama SBY-Boediono.

Realitas itu telah mendorong komunikasi intensif di antara tokoh-tokoh lintas agama. Refleksi Hari Pahlawan di Pesantren Tebuireng, Jombang, (13/11/2010) menjadi titik awal gerakan moral kolektif ini. Dalam peringatan Hari HAM Sedunia di KWI (8/12/2010), mereka terus menggulirkan kepedulian yang mendalam terhadap kian meningkatnya indeks korupsi dan lemahnya kepemimpinan bangsa dalam menyikapi arus hilir mudik kasus-kasus korupsi.

Realitas itu tak hanya menggerogoti sendi-sendi sistem politik demokrasi di tingkat nasional, tetapi juga merusak tatanan sosial-politik di daerah.

Pada medio Januari, pihak istana dikejutkan oleh pernyataan para tokoh lintas di PP Muhammadiyah. Pemerintah telah melakukan sejumlah pembohongan publik. Tak ada kesesuaian antara retorika dan fakta. Meski demikian, tokoh lintas agama masih punya harapan, nasib bangsa ini bisa lebih baik jika kepemimpinan hari ini berbesar hati membuka telinga dan bertindak dengan ketulusan hati. Menurut Azyumardi Azra, harapan itu hanya bisa diwujudkan lewat ketegasan, konsistensi, dan bertungkuslumusnya pemerintah menghapus apa yang disebut kebohongan publik (Kompas, 14/1/2011).

Pupus

Pada kenyataannya, oase harapan itu tak mampu menghidupi asa perubahan dan membangkitkan komitmen nyata dari pemerintah. Korupsi kian menggurita, integritas aparat penegak hukum kian mencemaskan, dan kasus-kasus besar selalu tenggelam tanpa akhir jelas. Publik kian skeptis dengan integritas institusi hukum dan peradilan. Skandal korupsi Nazaruddin, indikasi mark up pembelian pesawat Merpati, proses kejanggalan hukum Antasari Azhar, kasus surat palsu MK, dan persoalan kekerasan pada kelompok minoritas merupakan sedikit fakta yang menusuk nurani keadilan.

Dalam pandangan tokoh lintas agama, kondisi bangsa kini sudah di tubir jurang kebangkrutan moralitas yang akan menyeretnya ke kebangkrutan nasional (19/5/ 2011). Roh proklamasi sudah terusir dari jasad bangsa. Elite politik terserang penyakit tunakepekaan, kelumpuhan akal sehat.

Meski demikian, tokoh agama tetap bertekad membangun solidaritas kebangsaan guna mengembalikan roh proklamasi sebagai episentrum kesadaran bernegara. Kepedulian para tokoh agama terhadap kompleksitas permasalahan kebangsaan lahir dari proses refleksi teologis mereka terhadap realitas kebangsaan yang berpijak pada pengalaman bermasyarakat (Amaladoss, 2001:278).

Dalam aras kesadaran inilah Tugu Proklamasi merepresentasikan pusat kepedulian dan keprihatinan tokoh lintas agama, yakni nasib puluhan juta rakyat yang tidak tersentuh janji kemerdekaan, bukan istana negara yang menjadi episentrum kekuasaan. Dengan tindakan turun gunung dan menjadi nabi rakyat, sesungguhnya para tokoh lintas agama sedang mengingatkan bahwa bangsa ini berada di tangan yang tidak seharusnya.

Fajar Riza Ul Haq Direktur Eksekutif Maarif Institute; Koordinator Badan Pekerja Tokoh Lintas Agama​

Surat Terbuka Tokoh Lintas Agama Kepada Rakyat


Surat Terbuka Kepada Rakyat

1. Kami, para tokoh lintas-agama, kembali menyatakan keprihatinan terhadap situasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan keprihatinan kami saat ini jauh lebih mendalam dan mendasar.

2. Telah cukup lama Presiden dan berbagai tokoh nasional menyatakan berada di garis depan untuk memberantas korupsi. Tetapi ternyata korupsi politik tetap merajalela. Gurita korupsi dari hulu ke hilir melibatkan pejabat kementerian, anggota DPR, para penegak hukum, partai politik, pengusaha, dan sebagainya.

3. Akibatnya terlihat semakin jelas. Sebagian besar rakyat Indonesia mengalami semakin berat membayar biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok sehari-hari. Rasa aman dan damai terasa semakin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM dan kebebasan beribadat, kekerasan, pengrusakan lingkungan hidup, dan hukum yang tidak berdaulat.

4. Sangatlah tidak mungkin Presiden di negeri ini tidak mengetahui korupsi tersebut. Dan merupakan hal yang sulit dimengerti oleh pikiran rakyat jika Presiden tidak tahu bagaimana menghentikannya. Namun fakta selanjutnya malah memperlihatkan sejumlah politisi sampai ”menantang” KPK dan ”mengancam mogok” dalam upaya mempertontonkan kekuatan mereka.

5. Kami ingin menyatakan bahwa sebagai tokoh lintas-agama, kami tetap akan melaksanakan tugas-tugas keagamaan dan pendidikan umat sebaik-baiknya yang dapat kami lakukan. Namun, dalam hal menyikapi kepemimpinan Indonesia saat ini, kami ingin menyatakan bahwa kami seperti telah kehabisan kata-kata yang dapat disampaikan sebagai bentuk himbauan moral. Sulit sekali menemukan nilai-nilai unggul kepemimpinan yang akan secara nyata memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyebab utamanya adalah kepemimpinan nasional yang lemah. Akibatnya, tidak ada permasalahan fundamental bangsa dan negara yang berhasil diselesaikan secara tuntas.

6. Kami juga menyadari adanya upaya-upaya untuk mempersalahkan pernyataan dari tokoh-tokoh lintas-agama. Dalam beberapa kesempatan, pernyataan moral seperti ini justru dituduh sebagai penyebab mengapa terjadi tindakan kekerasan atau konflik; padahal hal tersebut jelas amat berbeda dari spirit pernyataan moral tokoh-lintas agama.

7. Kami sangat mengapresiasi dan menghargai rakyat yang telah bekerja keras, mengembangkan solidaritas, serta terus kreatif untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Akhirnya, kami mengajak rakyat dan semua pihak terus bekerjasama untuk segera mengakhiri situasi ini sesuai semangat konstitusi kita. Tentunya dengan dilandasi kecintaan terhadap tanah air yang sama, bangsa yang sama, dan menggunakan satu bahasa yang sama antara kata dan perbuatan.

Tugu Proklamasi, 18 Oktober 2011

Yang menyatakan (kami yang seperti telah kehabisan kata-kata):
1. Prof. Ahmad Syafii Maarif
2. K.H. Salahuddin Wahid
3. Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap.
4. Pdt. Dr. Andreas Yewangoe
5. Bikkhu Sri Panyavaro Mahathera 6. Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa
7. Haksu Thjie Tjai Ing Xueshi
8. Prof. Frans Magnis-Suseno SJ.
9. Dr. Djohan Effendy, MA
10. Prof. Dr. Azyumardi Azra
11. Dr. Abdul Mu`ti

Pendidikan Pancasila perlu untuk dukung kerukunan beragama


______
Lukman Edy berpandangan, masalah kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama akhir-akhir ini terjadi akibat ditiadakannya mata pelajaran pendidikan Pancasila dalam kurikulum sistem pendidikan kita.
__________

Ketua Fraksi PKB MPR RI, Lukman Edy berpandangan, masalah kebebasan beragama dan kerukunan antar umat beragama akhir-akhir ini terjadi akibat ditiadakannya mata pelajaran pendidikan Pancasila dalam kurikulum sistem pendidikan kita.

“Akibat peniadaaan ini, masuklah pemahaman-pemahaman keagamaan yang bertentangan dengan Pancasila dalam diri anak didik dan generasi muda kita,” kata Lukman Edy di Jakarta, Minggu.

Yang lebih mengkhawatirkan akhir-akhir ini, sambung dia, pemahaman keagamaan yang bertentangan dengan Pancasila ini masuk pada guru keagamaan yang mendidik para siswa di sekolah negeri.

Dari hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) UIN Jakarta Oktober 2010 sampai Januari 2011, dari 59 sekolah negeri dan swasta di Jakarta dan sekelilingnya yang diteliti ditemukan bahwa 48,9 persen siswa dan 28,2 persen guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait agama dan moral.

Lebih mencengangkan lagi, sambung Lukman Edy, 25,8 persen siswa dan 21,1 persen guru menganggap Pancasila tidak relevan lagi.

“Kalau gurunya saja sudah menganggap Pancasila sudah tidak relevan lagi, mau dibawa kemana negara kita ini. Negara yang sangat majemuk agama, suku dan kepercayaan ini terancam hancur nilai kebangsaannya,” kata mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal itu.

Oleh karena itu, masalah ini  harus disadari oleh semua pihak yang masih cinta pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

”Perlunya dibuat semacam haluan program acuan bernegara dalam jangka panjang yang memagari kewajiban setiap kebijakan dan program yang diambil itu tidak boleh keluar dari pondasi dasar negara kita, Pancasila,” kata anggota Komisi VI DPR RI itu.

Dan yang tak kalah pentingnya, katanya, adalah dimasukkannya mata pelajaran Pancasila dalam kurikulum pendidikan, dan pelatihan-pelatihan yang melibatkan semua elemen yang berkaitan dengan pendidikan.

“Jadi siapapun presidennya itu tidak bisa seenaknya membuat LKP (Lembar Kerja Pemerintahan) tanpa disandarkan pada nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, negara wajib hadir dalam menegakkan prinsip dasar Pancasila dan UUD 1945 di tengah masyarakat kita,” ujar penulis Buku ”Setelah Marxisme” ini mengingatkan.
(Antaranews.com)

Dialog dalam Bayangan Kekerasan


_______
Armada Riyanto dari Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana, Malang, Indonesia, mengamati, relasi antarnegara hanya bisa dilakukan atas dasar ketulusan dan kejujuran
_________

Persoalan dalam dialog lintas agama yang dilakukan lintas negara selalu dibayangi peristiwa tragis terkait intoleransi agama, etnis, budaya, pemakzulan, dan segala hal yang bersifat kebencian dan permusuhan terus berlangsung di seluruh dunia.

Dialog yang menyerukan kesalingpahaman dan penghormatan pada identitas hampir tidak menyentuh persoalan sehari-hari,” ujar Magdalena Lewicka dari Universitas Nicolas Copernikus di Tarun, Polandia.

Ia menyampaikan hal itu dalam Dialog Antariman dan Antarbudaya Indonesia-Polandia di Krakow, Polandia, beberapa waktu lalu. Para pembicara berasal dari para akademisi dan tokoh agama, khususnya Islam dan Kristen.

Dialog itu diselenggarakan Kementerian Luar Negeri RI, Departemen Agama dengan negara-negara mitra. Bagian dari soft diplomacy sejak 2002 itu dimaksud untuk meluruskan kesalahpahaman Barat mengenai Islam, terutama sejak serangan 11 September 2001 di New York, dan menjelaskan posisi Islam Indonesia.

Menyentak

Gugatan itu menyentak karena dialog senantiasa merupakan upaya untuk menghormati perbedaan dan kemanusiaan yang transenden. Sementara, menurut Magdalena, Barat masih melihat Islam sebagai ancaman. Pun sebaliknya.

Meski demikian, hubungan kelompok minoritas Islam dengan kelompok mayoritas Katolik di Polandia berjalan sangat baik, seperti dipaparkan Adam Was SVD dari Konsil Bersama Islam-Katolik di Polandia. Kondisi seperti itu dibangun dan didukung oleh Paus Yohanes Paulus II (alm).

”Semasa hidupnya, beliau melakukan dialog dengan banyak tokoh Muslim di dunia. Dasar pijakannya adalah ’kalau engkau mencintai Tuhan, engkau harus mencintai sesamamu,” ujar Was.

Hubungan Polandia dengan Islam secara historis terbangun selama ratusan tahun. Meski demikian, menurut Mufti Tomasz Miskiewicz dari Asosiasi Agama Islam Polandia, pembangunan masjid di Warsawa masih terganjal persoalan hukum karena lahan itu diambil alih negara pasca-Perang Dunia II.

Pemerintah Polandia mengakui keberadaan komunitas Etnis Tatar. Presiden Bronislaw Komorowski bahkan mengundang perwakilan kelompok etnis Tatar ke Istana Kepresidenan untuk memperingati ulang tahun ke-85 Asosiasi Agama Islam Polandia.

Komorowski selalu menyerukan toleransi yang besar dan kemampuan mengelola hubungan antara iman, budaya, dan bahasa. Namun, gelombang intoleransi terhadap Islam di Eropa melahirkan kekhawatiran di kalangan kelompok minoritas Islam di Polandia.

Jumlah mereka 40.000- 50.000 orang atau sekitar 1 persen dari jumlah penduduk Polandia, sementara etnis minoritas Tatar beragama Islam jumlahnya 5.000-6.000 orang. Sekitar 97 persen penduduk Polandia beragama Katolik.

Suara minoritas

Contoh paling ekstrem dari kekerasan terhadap kelompok minoritas dikemukakan Paul Bhatti, Presiden Aliansi Semua Minoritas Pakistan (APMA). Ia adalah ”Utusan Khusus” Perdana Menteri Yousaf Rasa Gilani untuk masalah Minoritas Agama yang bertugas mengelola permasalahan terkait dengan minoritas agama di tingkat federal.

Paul Bhatti adalah adik Shabaz Bhatti (alm), Menteri Urusan Minoritas di Pakistan yang dibunuh pada 2 Maret 2011 di Islamabad, menyusul pembunuhan Gubernur Punjab, Salman Tasser oleh pengawalnya, bulan Januari. Kelompok ekstremis mengatasnamakan agama mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan itu Tasser dan Bhatti adalah dua tokoh publik di Pakistan yang gencar menyerukan penolakan hukuman mati terkait kasus-kasus yang dinyatakan sebagai ”penodaan agama”. Keduanya sangat keras menyuarakan amandemen hukum mengenai penodaan agama yang telah menelan banyak korban.

Pihak-pihak yang mengadvokasi hak asasi manusia terkait kasus-kasus penodaan agama di Pakistan menerima berbagai ancaman pembunuhan. Mereka yang berani menyerukan revisi hukum soal penodaan agama dianggap kafir dan halal dibunuh.

”Pakistan hari ini jauh berbeda dengan Pakistan pada 1947,” ujar Paul Bhatti dengan nada getir, ”Dulu, kebebasan beragama dijamin undang-undang, tak ada ketakutan beribadat, tak ada tekanan dan diskriminasi,” ujarnya dengan nada getir.

Gambaran Pakistan hari ini adalah negeri yang penuh kekerasan setelah kasus terorisme lintas batas dan ekstremisme mengatasnamakan agama. Kemiskinan meruyak.

Situasi itu diperparah oleh mereka yang mengingini ketidakstabilan terus berlangsung karena mendapat manfaat dari kondisi itu. Bhatti menyerukan agar komunitas internasional memberikan perhatian pada situasi di Pakistan.

Bukan krisis agama

Menurut Miskiewicz, krisis di dunia Islam saat ini merupakan krisis politik, bukan krisis agama. Krisis itu merambat dengan cepat ke sejumlah negara, dipicu berbagai persoalan riil yang tak bisa diselesaikan oleh negara.

Sekjen International Conference of Islamic Scholars Indonesia (ICIS) KH Hasyim Muzadi menambahkan, bertepatan dengan perang melawan terorisme yang dilancarkan dunia Barat ke Timur Tengah akibat peristiwa 11 September, serbuan pengaruh global, khususnya di bidang ideologi, tak dapat dibendung. Secara bersamaan, berbagai persoalan membelit Indonesia yang masih berada dalam masa transisi demokrasi.

Banyak aliran keras masuk karena mereka berasumsi Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim paling besar. Perlawanan mereka terhadap Barat yang dilakukan di Indonesia mengakibatkan munculnya gerakan terorisme di Indonesia.

”Kekerasan dan terorisme berkarakter agama sama sekali bukan kepribadian umat beragama di Indonesia,” ujarnya, ”Tetapi, sesuatu yang datang belakangan karena faktor politik nasional dan pengaruh global.”

Mahmoud Azab dari Universitas Al-Azhat, Mesir, menambahkan, ”Dialog hanya bisa dilakukan apabila mau saling mendengarkan atas dasar nilai-nilai universal. Para ekstremis tak mengerti dialog karena mereka hanya meyakini kebenaran mereka sendiri.”

Sejarah panjang

Azab mengatakan, Islam adalah agama yang berbelas kasih, sedangkan Kristianitas adalah agama yang penuh cinta. Kerja sama Islam dan Kristen di Mesir memiliki sejarah sangat panjang, dan terlihat jelas dalam perjuangan bersama menentang pendudukan Inggris, juga dalam Revolusi 25 Januari 2011.

Upaya memecah hubungan dilakukan sekelompok ekstremis, tetapi hal itu tak bisa dijadikan acuan tentang intoleransi di Mesir. ”Tidak ada perang agama di Mesir,” ujarnya. Benturan diselesaikan dengan solusi hukum, bukan solusi agama.

Mahmoud Azab mendukung prakarsa ”Rumah Bersama” di mana para tokoh agama-agama Kristen bekerja sama dengan Al-Azhar untuk mempromosikan dialog, mendiskusikan isu di dalam agama masing-masing, dan melawan wacana ekstremis baik di gereja, masjid, maupun melalui siaran televisi.

”Kita tak mau Islam diasosiasikan dengan kekerasan dan perang. Kita berjuang atas nama yang dipinggirkan, termasuk warga Kristen di Palestina dan Irak,” tegasnya.

Menurut Bronislaw Misztal dari Sekretariat Permanen Komunitas Demokrasi, yang terjadi saat ini bukan clash of civilization, tetapi clash of communications.”Ada kelit-kelindan persoalan identitas. Juga budaya. Harus diingat, agama sangat kuat membentuk identitas,” ujarnya.

Armada Riyanto dari Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana, Malang, Indonesia, mengamati, relasi antarnegara hanya bisa dilakukan atas dasar ketulusan dan kejujuran.”Dua hal itu dibangun melalui perjumpaan dan pengalaman,” ujarnya. ”Pertemuan di Krakow masih terbatas pada perjumpaan”.

Begitulah. Seperti dikemukakan Duta Besar RI untuk Polandia Darmansyah Djumala, dialog dengan Polandia adalah yang pertama dalam putaran dialog untuk membangun perdamaian dan keadilan antarbangsa (Kompas 16/10/2011)