KH.Hasyim Muzadi: UU No. 1 Tahun 1965: terutama untuk melindungi Minoritas?


RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/ 2009
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

10 Februari 2010

: KH. HASYIM MUZADI

Assalamualaikum wr. wb.
Selamat sejahtera untuk kita semua dan selamat pagi.

Majelis Hakim yang saya muliakan, menurut pemahaman saya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tidak menyangkut kebebasan agama tapi menyangkut penodaan agama, sehingga tidak relevan kalau dikaitkan dengan kebebasan masing-masing kita beragama. Yang kedua, di dalam penjelasan dari undang-undang itu, juga ada pada penjelasan Pasal 1 bahwa tidak menghalangi juga agama-agama yang mungkin akan ada. Saya baca ini tidak berarti bahwa agama-agama lain misalnya Yahudi, Zoroasterian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. Jadi sudah jelas, bukan Undang-Undang Kebebasan Agama. Yang kedua, saya berpendapat bahwa undang-undang ini masih diperlukan di Indonesia, karena kalau dicabut akan ada tiga akibat yang ditimbulkan.

1. Bisa atau dapat menimbulkan instabilitas Indonesia.

2. Dapat mengganggu kerukunan umat beragama yang sampai hari ini sudah kita upayakan begitu rupa sehingga sangat baik. Bahkan kantor PBNU sendiri sekaligus kantor agama-agama di seluruh Indonesia ini. Ini bisa terganggu.

3. Saya justru kasihan bahwa kalau ini dicabut yang paling rugi adalah minoritas. Kalau mayoritas dia cukup mempunyai kemampuan untuk bereakasi, tetapi kalau reaksi itu timbul karena penodaan, kemudian tidak ada patokan hukumnya maka yang terjadi tentu anarki.

Jadi kita jangan mengambil logika terbalik, seakan-akan tidak ada aturan menjadi beres.Tapi tidak ada aturan itu masyarakat akan bikin aturannya sendiri. Saya ingin menyampaikan beberapa sisi dari undangundang ini. Menarik undang-undang ini tahun 1965 karena saya termasuk orang tua yang menangi, apa menangi bahasa Indonesianya? Ya menangi lah, mengalami pada tahun itu. Tahun itu memang tahuntahun penghujatan agama luar biasa baik dari segi media, budaya, politik, dan juga kekuasaan. Juga ada manpower sehingga orang-orang yang ada di Blitar, yang di Kediri yang melakukan ibadah dalam Islam ketika itu diserbu secara membabibuta oleh kelompok-kelompok ateisme.

Hari ini kita melihat ada orang mengaku Nabi, ada orang mengaku malaikat Jibril, setelah ditahan menangis. Lha ini saya juga heran bagaimana malaikat bisa menangis? [hadirin tertawa]. Kalau dia diusut apakah Mikail juga menjadi saksi? Ini semuanya dengan adanya orang-orang beribadah secara tidak baik merebak di Indonesia. Maka diperlukan kewaspadaan kita untuk ini.

Modal utama tentu bukan hukum, modal utama adalah saling menghormati antar agama itu. Mempunyai nilai lebih luhur daripada sekedar legal formal yang kadang-kadang masih prosedural dan belum substansial. Selanjutnya yang kedua, penghujatan, penistaan, dan pembelokan agama tertentu menurut pandangan saya bukan bagian dari demokrasi tetapi merupakan agresi moral terhadap keluhuran agama itu masing-masing yang diserang karena tidak pernah ada demokrasi yang tidak dibatasi oleh demokrasi yang lain dan orang menghormati agama adalah hak demokrasinya dia dan memeluk pun hak demokrasinya dia, jangan dibalik penyerangan menjadi hak demokrasi daripada moral itu sendiri.

Yang ketiga, secara konstitusi bahwa konstitusi tidak menganut rinci itu menurut saya sudah lazim. Konstitusi cuma mengatakan kebebasan agama, tapi agama itu apa? Dan berapa? Lalu bagaimana? Tentu hak undang-undang, tidak bisa dikonfrontir undang-undang ini dengan pokok konstitusinya. Yang seharusnya undang-undang bertindak sebagai memorie van toelichting terhadap konstitusi dan undang-undang itu.

Kemudian, kalau undang-undang ini dicabut sesungguhnya tidak akan bisa menyurutkan reaksi dari kelompok agama yang merasa disinggung. Nah, kalau tidak menyurutkan, kemudian tidak ada patokan yang ada, maka yang terjadi justru kesulitan kita bersama-sama untuk mengayom di bawah agama-agama dan lintas agama.

Yang selanjutnya, saya ingin menyampaikan fakta. Karena saya selama ini masih menjadi salah satu Presiden World Conference on Religion for Peace. Saya mengetahui betul bahwa sebuah eksistensi atau koeksistensi, multi-eksistensi atau pro-eksistensi lintas agama inilah yang benar. Bahwa masing-masing agama berusaha menghormati agama lain tanpa dia harus melepaskan keyakinan yang sesungguhnya dari agama yang diwakilinya. Sehingga di sini peristiwa yang menyangkut Saudara saya tercinta Arswendo saya pikir karena hanya apes saja. [hadirin tertawa] Kenapa? Pertama, karena mungkin respondennya siapa. Coba respondennya di Al-Hikam atau di pesantren, itu nomor satu semua Nabi Muhammad. Yang kedua, mungkin tidak tahu bahwa itu menyinggung. Seperti juga di Thailand misalnya banyak orang tidak tahu bahwa masuk masjid dengan sepatu, itu perkara besar. Padahal di Kristen itu biasa. Oleh karenanya maka di gereja tidak pernah ada orang kehilangan sepatu karena sepatunya
dipakai[hadirin tertawa], yang kehilangan sandal adalah di masjid, tapi di gereja yang hilang sepeda motornya [hadirin tertawa].

Nah, ketidaktahuan ini, ini perlu ada jalan keluar. Saya harus tahu sebagai orang Islam atau tokoh Islam, hal-hal apa saja yang sangat peka di dalam agama Katolik. Saya harus tahu hal-hal apa yang peka di dalam agama Budha. Untuk apa? Untuk supaya saya tidak masuk menyinggung yang lain. Ketika saya di Vatikan, saya diledek oleh seorang Monsieur, namanya Monsieur Michael Fitcher, “Pak Hasyim katanya Kyai di Indonesia itu isterinya banyak”, nah ini nyiindir ini saya bilang. Lalu saya jawab dengan sindiran pula, “Mungkin karena menampung isterinya pastur yang tidak jadi” [hadirin tertawa]. Artinya bagaimana mengemukakan sebuah koreksi tanpa penodaan itu adalah seni untuk lintas agama ini.

Jadi yang kita perlukan sekarang adalah kehati-hatian yang pertama, yang kedua yang kita perlukan adalah mengenal orang lain pada hal yang sangat peka. Saya kira ini lebih luhur dari pada sekedar legal formalnya. Saya ingin masuk di dalam faktnya. Saya sudah dikenal di kalangan lintas agama sebagai pemadam kebakaran kalau ada peristiwa-peristiwa konflik. Suatu ketika ada peristiwa di Batu, dimana Quran diinjak-injak, lalu berdatanganlah anak-anak dari Pasuruan akan menyerbu ke Batu, Jawa Timur. Maka saya cegat di tengah, setelah ketemu saya bilang, “Jangan lakukan sendiri-sendiri karena semuanya ada aturannya”. Maka berhenti di situ. Seandainya tidak ada aturan, maka saya tidak bisa lagi mengemukakan argumentasi untuk menghentikan daripada pertikaian itu.

Demikian juga yang di Marriot, ini bukan hanya menyangkut masalah nasional tapi juga masalah internasional. Apa yang dikemukakan bahwa agama Islam menghormati kemanusiaan itu kita tunjukkan. Pada saat relawan dari Korea Selatan ditangkap oleh Taliban yang di Afghanistan dan dibunuh satu persatu, maka kita mengemukakan appeal supaya itu dilepaskan dan alhamdulillah berhasil. Artinya apa? Artinya dimana letak religi dan dimana letak humanitas, itu diletakkan pada porsi yang sesungguhnya.

Suasana yang di Denmark, suasana yang di Switzerland, ternyata juga menggema, bukan hanya di negara mereka, tapi menggema di seluruh dunia hanya karena kartun Nabi Muhammad yang ada di Denmark dan hanya karena di Switzerland Manoret itu secara hukum dan secara konstitusi dilarang mesjid mendirikan menara. Ini sebagai sebuah pelajaran bahwa kehati-hatian kita terhadap harkat agama yang lain menjadi kunci dari pada kita semua.

Kuncinya adalah koeksistensi, artinya masing-masing agama mempunyai eksisitensinya sendiri dan dia dipersilakan untuk beragama pada tempat itu dengan yang sebaik-baiknya tapi dia punya kooperasi yang setingkat dengan keyakinan dan imannya atau multi eksistensi maka saya sangat memahami apa yang dikhawatirkan oleh dari MATAKIN, jadi sebenarnya apa yang ada di dalam undang-undang ini justru perlindungan bukan hanya kepada mayoritas tapi justru utamanya kepada minoritas dan saya sebagai warga negara Indonesia cukup bangga karena perlindungan mayoritas kepada minoritas di Indonesia jauh lebih baik daripada perlindungan mayoritas kepada minoritas di negara-negara yang lain.

(dikutip dari milis jurnalisme)

Fatwa Beraroma Dolar


PETUNJUK penting itu datang tak terduga. Jumat (12/3) siang lalu, pesan
singkat tidak diundang dari sumber Kontan mampir tiba-tiba. “Kasihan,
ternyata fatwa haram rokok Muhammadiyah cuma Rp 3,5 miliar, buka laporan
tobacco control, dan siapa saja yang menerima dana anti rokok selain
Muhammadiyah: http://www.tobaccocontrolgrants.org/Pages/40/What-we-fund.

Senin (8/3) lalu, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah memang mengeluarkan fatwa
haram rokok Nomor 6//SM/MTT/III/2010. Kalau saja tak ada pesan singkat itu,
fatwa PP Muhammadiyah yang sebelumnya menyatakan rokok adalah mubah (boleh),
menjadi hal biasa. Yang tidak menjadi biasa, adalah nama Muhammadiyah
disebut dalam laporan situs milik Bloomberg Initiative tersebut.

Penelusuran Kontan menemukan hal yang membuat dahi berkerut. Dalam situs
itu, ada sejumlah lembaga dan instansi lain yang menerima dana dari
Bloomberg melalui program Bloomberg Initiative To Reduce Tobacco Use,
termasuk Muhammadiyah. Program ini bertujuan untuk Kampanye Anti Rokok di
Indonesia.

Bloomberg Initiative adalah lembaga donor internasional milik Michael R.
Bloomberg, bekas Walikota New York, pemilik situs berita tersebut. Michael
Bloomberg juga adalah si empunya situs berita ekonomi Bloomberg.

Bloomberg aktif mengkampanyekan pengendalian tembakau dan rokok di seluruh
dunia sejak beberapa tahun lalu. Indonesia menjadi salah satu target mereka,
yang kebanyakan negara-negara berkembang. Di luar Indonesia, targetnya
adalah negara China, India, Bangladesh, Rusia, Brazil, Meksiko, Turki,
Pakistan, Mesir, Ukraina, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Polandia.

Pada 2006, Bloomberg total mengucurkan US$ 125 juta untuk peluncuran program
tersebut. Dan pada 2008, Bloomberg mengucurkan tambahan US$ 250 juta.

Nah, kucuran-kucuran dana dari Bloomberg mengalir ke sejumlah instansi dan
lembaga di Indonesia sejak 2007 hingga kini. Totalnya US$ 4,19 juta atau
sekitar Rp 38,5 miliar.

Dana mengucur ke sejumlah lembaga, mulai dari forum parlemen, pemerintah
pusat, pemerintah daerah seperti DKI Jakarta dan Kota Bogor, lembaga
keagamaan, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) (lihat tabel). Bebeberapa
tahun terakhir, lembaga-lembaga yang disebut dalam laporan Bloomberg
Initiative itu memang getol mengkampanyekan kawasan bebas rokok dan
tembakau.

Muhammadiyah, disebut menerima dana US$ US$ 393.234 atau sekitar Rp 3,6
miliar, dikucurkan sejak November 2009. Untuk Muhammadiyah, dalam laporannya
Bloomberg menyebut, kucuran dana itu bertujuan agar salah satu organisasi
massa islam itu bisa memobilisasi dukungan publik. Caranya, dengan
mengeluarkan kebijakan dari sisi tinjauan agama untuk pelarangan rokok.
Bentuknya, berupa keputusan Ijma Ulama (semacam fatwa) pelarangan rokok di
seluruh Indonesia.

Puncaknya, pada rapat Majelis Tarjih dan Tajdid di Yogyakarta, pada Senin
(8/3) lalu, PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Sebelum
ini, PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mubah (boleh) bagi perokok.

Belum ada tanggapan resmi dari PP Muhamdiyah. Berkali-kali dihubungi Kontan
melalui dua nomor telepon selulernya sejak Jumat (12/3), Ketua Umum PP
Muhammadiyah Dien Syamsuddin, masih tak berhasil dimintai konfirmasi. Dua
nomor telepon seluler yang ada pada Kontan semuanya tidak aktif.

Selain Muhammadiyah, ada sejumlah nama lembaga lain yang disebut menerima
dana. Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD),
misalnya, disebut menerima dua kali pengucuran dana. Pertama, dana sebesar
US$ 28.753 pada periode Januari 2007 hingga Juni 2007. Duit itu antara lain
digunakan untuk memperoleh dukungan politik dan menyampaikan rencana
mitigasi dampak kesehatan produk rokok dan tembakau.

Kedua, IFPPD menerima dana sebesar US$ 164.717 pada periode Oktober 2007
hingga Desember 2009. Dana itu digunakan untuk membantu mengembangkan
kontrol tembakau, kampanye media, serta melobi pemimpin agama dan pejabat
publik.

Sri Utari Setiawati, Sekretaris Eksekutif IFPPD mengakui menerima dana dari
Bloomberg Initiative. Soal jumlah dana yang diterima, dia enggan
menyebutkannya. Yang pasti, langkah mengajukan dana ke lembaga internasional
seperti Bloomberg, karena lembaga resmi dunia semacam Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tak memiliki cukup dana untuk kampanye bebas rokok dan tembakau.
“Makanya kami mengajukan ke Bloomberg,” katanya, kepada Kontan, Sabtu
(13/3).

Untuk LSM, salah satu yang menerima adalah Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI). Kepada YLKI, dana mengucur bersama paket dana untuk Pusat
Studi untuk Agama dan Komunitas. Totalnya US$ 454.480. Dana ini untuk
program kampanye periode Mei 2008-Mei 2010. Kegiatanya berbentuk advokasi
dan kampanye bebas rokok di kawasan Jawa, mengadvokasi Gubernur DKI Jakarta,
dan kampaye media.

Tulus Abadi, Pengurus Harian YLKI membenarkan bantuan dana dari Bloomberg
Initiative tersebut. “Kami menerima sejak April 2008,” kata Tulus, kepada
Kontan, Jumat (12/3).

Menurut Tulus, YLKI mengajukan dana ke Bloomberg untuk kampanye dan advokasi
bebas rokok di tiga kota di Jawa, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
Berapa besaranya dana yang diterima, Tulus enggan berbagi.

Blomberg sendiri, hingga laporan ini ditulis belum berhasil dikontak.

Sumber:

http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/32151/Fatwa-Beraroma-Dolar-2

Menelaah Berita Kompas dan Republika tentang Dulmatin


Friday, 12 March 2010 14:19


  

Koran Kompas terlihat  pro dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin

Oleh: Nuim Hidayat*

Kematian Dulmatin (9/3) menjadikan media massa berlomba-lomba menyiarkan berita tentang ‘teroris’. TVOne dan MetroTV bersaing menyajikan liputan langsung beberapa hari dari Pamulang. Bahkan TVOne telah mendahuluinya dengan siaran langsung operasi polisi di pegunungan Aceh, sebelum terjadinya ‘operasi pembunuhan‘ Densus 88 di Gg Asem dan Gg Madrasah di Pamulang.

Kedua TV ini juga menghadirkan pengamat-pengamat teroris, jaringan Noordin atau jaringan al Qaida. Ada siaran langsung dari TVOne pada 10 Maret yang ‘cukup nakal’ ketika seorang reporternya (perempuan) menyiarkan langsung dari tempat kejadian dengan mewawancarai seorang laki-laki tua di Pamulang, tempat kejadian. Saksi yang melihat kejadian penembakan itu menyatakan melihat langsung bagaimana seorang polisi membekuk korban yang akhirnya terjatuh, kemudian didor tiga kali disitu. Ia mengucapkan kesaksian itu, sambil mempraktikkan penembakannya dengan memegang reporter itu!

Beberapa pengamat menyesalkan operasi tembak langsung di tempat yang dilakukan Densus 88. Karena belum jelas di pengadilan kesalahan-kesalahan mereka. Entah mendapat tekanan siapa, Densus 88 akhir-akhir ini menjadi garang dan cenderung menafikan pengadilan untuk menghukum para ‘teroris’. Beberapa pengamat lainnya membuat stigmatisasi dengan mengaitkan Dulmatin dan kawan-kawannya dengan pengalaman mereka di Afghanistan, Moro, dan Ambon. Seolah-olah adalah perbuatan kriminal yang tak terampunkan bagi mereka yang merelakan dirinya berjihad di ketiga tempat itu. Apa yang dikatakan pengamat, memang tergantung pada ideologi dan keilmuan yang dimiliki mereka.

Menarik apabila kita membandingkan sekilas (untuk detilnya Anda bisa baca sendiri) apa yang diberitakan Kompas dan Republika hari ini (10/3/2010) tentang peristiwa yang menyangkut Dulmatin ini. Dari sini, kita akan melihat bagaimana ideologi sebuah media berjalan dalam meliput atau menyikapi sebuah peristiwa. Seperti kita ketahui, berita adalah laporan suatu peristiwa. Dan lebih jelas lagi, sikap sebuah media semakin terang dengan melihat tajuknya.

Tentang Dulmatin atau teror ini, Kompas di halaman depan membuat tiga artikel di halaman satu (halaman paling bergengsi). Artikel pertama berjudul “Aliansi Susun Taktik Baru (judul besar), Dulmatin Persiapkan Semua Proyek Pelatihan (judul kecil)”.  Artikel kedua berjudul “Ada Harapan Hubungan RI dengan Australia Cerah”, dan artikel ketiga bertitel “Teroris Memanfaatkan Kelompok di Aceh”.

Di artikel-artikelnya Kompas terlihat  pro dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin.  Kompas mengutip panjang lebar keterangan dari Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Ansyaad Mbai. Dengan Ansyaad Mbai Kompas juga menurunkan artikel wawancara khusus.

Ada satu hal yang menarik ketika Kompas mau mengutip ucapan yang ‘sedikit berseberangan’ dengan keterangan Polri. Meski hanya satu alinea.

Kompas menulis: “Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, justru menilai, operasi pemberantasan terorisme saat ini masih jauh dari komprehensif.  Pemerintah hanya menerapkan cara legal formal melalui operasi kepolisian.  Fenomena kembalinya aksi mantan napi teroris adalah cermin kegagalan upaya deradikalisasi.”

Selain menurunkan artikel berita, Kompas juga menurunkan dua artikel opini tentang Dulmatin. Artikel pertama berjudul “Aceh Bukan Rumah Teroris” (Hamid Awaluddin) dan artikel kedua berjudul “Ancaman Terorisme Baru” (Arianto Sangaji).

Dalamn tajuknya,  Kompas hari ini menurunkan judul ‘Setelah Tewasnya Dulmatin’. Kita cuplikkan :

“Kepastian tewasnya Dulmatin, satu dari tersangka teroris di Pamulang, setelah Noordin M Top dan Azahari, melengkapi keberhasilan polisi. Polisi perlu kita apresiasi. Mengutip Kepala Polri, masih ada satu target.  Namanya dirahasiakan, tetapi diduga Umar Patek –ahli perakit bom berdaya ledak tinggi. Dulmatin dan Umar Patek masuk dalam daftar pencarian orang. Upaya Polri, bahkan sampai tiga personel Densus 88 tewas dalam penyergapan di Aceh, tidaklah sia-sia.  Perlu disyukuri.  Keberhasilan ini bukanlah titik akhir. Terorisme masih hidup, tidak hanya di Indonesia, juga di berbagai belahan dunia lain. Sebagai gerakan, terorisme bermakna strategis dalam bentuk peledakan bom dan simbolis dalam bentuk penanda keberadaan.  Terorisme merupakan bentuk nihilisme dengan ciri matinya kebebasan, dominasi kekerasan dan pemikiran yang diperbudak….”

Di alinera terakhir tajuk Kompas tertulis :

“Apa tindak lanjut konkret? Upaya kuratif perlu dibarengi sikap terus ngeh yang diwujudkan memoderasi pemahaman keagamaan secara progresif dan proaktif! Membangun sikap keberagamaan sebagai sesama peziarah, terbuka dan bersemangat plural, jati diri Indonesia.”

Koran Republika

Republika di halaman depan juga membuat tiga artikel. Artikel pertama berjudul “DNA Dulmatin Cocok (judul besar), The 10 Million Dollar Man (judul kecil).”  Artikel kedua berjudul “Presiden SBY: Hilangkan Saling Curiga.” dan artikel ketiga berjudul “Yang Pulang untuk Berpulang.” Republika tidak menurunkan artikel opini tentang Dulmatin.

Berlainan dengan arah Kompas, Republika cenderung kritis dengan tindakan Polri/Densus 88 dalam menangani kasus Dulmatin. Republika menyindir pengumuman terbunuhnya Dulmatin pertama kali ke publik dilakukan Presiden SBY di depan Parlemen Australia. Republika menulis lead beritanya: “Ratusan orang di gedung parlemen Australia menyambut pengumuman itu dengan tepuk tangan” dan memberikan judul gambar Presiden SBY sedang berpidato dengan tulisan: “Makin Mesra”.

Empati Republika kepada Dulmatin (meski Republika tidak setuju dengan aksi teror), makin terlihat di artikelnya yang ditulis oleh wartawannya Darmawan Sepriyosa: “Yang Pulang untuk Berpulang.” Di artikel itu Darmawan menceritakan riwayat hidup Dulmatin, kehebatannya, dan kebohongan pemerintah Filipina yang berulang-ulang mengumumkan kematian Dulmatin.

Di akhir tulisannya, Darmawan menulis: “Sudah lama wanita itu mengaku menyerahkan nasib sang anak kepada Tuhan. Ia bahkan berujar, jika Dulmatin meninggal, tak usah repot membawa jenazahnya pulang ke rumah. “Mati dimana saja tidak masalah karena semua di tangan Allah,” kata dia, wanita tegar itu. “Bila ajal tiba, tak soal tempat berkubur…”

Di tajuknya yang berjudul Sampai Kapan Terorisme? Republika mengritik sikap pemerintah dalam menangani terorisme. Republika menulis:

“Cara Indonesia membasmi terorisme benar-benar mengikuti cara Amerika Serikat. Awalnya penegakan hukum, yaitu tangkap, interogasi dan adili. Kini hanya ada satu cara: tembak di tempat…”

“Selama ini pemerintah menyebut bahwa jaringan terorisme berakar pada pejuang Indonesia di Afghanistan serta mujahidin Muslim di Ambon dan Poso. Mereka awalnya adalah orang-orang yang memiliki semangat membela sesama umat Islam yang dibiarkan dunia internasional terus dijajah Uni Soviet.  Mereka juga awalnya orang-orang yang bersemangat membela umat Islam di Poso dan Ambon yang dibiarkan oleh polisi dan tentara dibantai pihak lain.  Namun setelah wilayah konflik tersebut damai, mereka tak mampu beradaptasi dengan situasi normal. Sebagai masyarakat sipil, tentu mereka tak memiliki sistem dan prosedur adaptasi. Hal itu berbeda dengan pasukan militer. Selesai bertugas di medan perang, mereka harus mengikuti terapi dan proses adaptasi terlebih dulu sebelum kembali ke keluarganya…”

Selamat membaca!

Penulis adalah Dosen Ilmu Jurnalistik, STID M Natsir

(Milis AIPI Politik)

Gereja GKI Yasmin Disegel Pemkot Bogor


BOGOR, KOMPAS.com – Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, menyegel pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kecamatan Bogor Barat, Kamis (11/3/2010).

Penyegelan dilakukan karena pihak GKI tidak menghiraukan teguran yang telah dilayangkan Pemkot Bogor untuk menghentikan pembangunan.

Penyegelan itu dilakukan Satpol PP Bogor, didampingi unsur Polresta Bogor dan Koramil Bogor Barat dan disaksikan puluhan warga Taman Yasmin yang tergabung dalam Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) Bogor dan sejumlah perwakilan jemaat GKI Yasmin Bogor.

Sebelum penyegelan berlangsung sempat terjadi kericuhan antara warga Yasmin dan jemaat GKI. Pasalnya dari pukul 10.00 WIB hingga 16.00 WIB, Satpol PP Kota Bogor tidak kunjung tiba.

Akhirnya, pada pukul 16.10 WIB anggota Satpol PP melakukan penyegelan terhadap bangunan gereja.

Perwakilan jemaat GKI Yasmin, Ujang Sujai mengatakan, pihaknya berupaya menginisiasi pertemuan dengan Sekdakot Kota Bogor Bambang Gunawan dan warga Taman Yasmin.

“Keputusan penyegelan besok (Jumat-red) baru akan dilakukan karena kami meminta Pemkot melakukannya di hadapan jemaat GKI Yasmin bersama warga Taman Yasmin,” ujar Ujang.

Sementara Kepala Seksi Penegakan Perda Satpol PP, Abdul Rahman mengatakan, pihaknya mendapat instruksi dari Sekdakot Bogor Bambang Gunawan untuk menghentikan penyegelan.

“Kami mengikuti perintah dari Sekdakot Bogor untuk menghentikan penyegelan. Sebab, ada inisiatif dari beliau (Bambang Gunawan, red) untuk mempertemukan kedua belah pihak,” ujarnya.

Melihat aksi Satpol PP yang mengurungkan niat karena ada beda pendapat untuk menyegel gereja itu, warga Taman Yasmin, Forkami Bogor bersama Tim Pembela Muslim mendesak kembali Satpol PP untuk melakukan penyegelan.

Ayu Agustina, Pengurus Forkami Bogor mengatakan, pihaknya tetap akan melakukan pertemuan dengan warga mengenai izin operasional bersama Sekdakot yang direncanakan besok.

“Kami tetap akan melakukan pertemuan, tapi kami ingin urusan yang sekarang tetap diselesaikan. Gereja harus disegel,” tandasnya.

Atas desakan warga akhirnya Satpol PP menyegel GKI Yasmin. Penyegelan dilakukan karena pihak GKI tetap melanjutkan pembangunan setelah Pemkot Bogor mencabut IMB Gereja tersebut.

Pencabutan IMB gereja dikarenakan pembangunannya telah menimbulkan keresahan warga setempat. Pembangunan Gereja Yasmin dinilai telah melanggar hukum oleh karena itu IMBnya dicabut. (Kompas.com, 11 Maret 2010)

Reporternya Ikut Ibadah Umat Katolik, Majalah Al Islam Minta Maaf


(Kualalumpur 7/3/10) Ketegangan terjadi antara umat muslim dan nonmuslim di Malaysia akibat 2 reporter majalah Al Islam mengikuti ibadah umat Katolik untuk kepentingan penulisan berita. Menghindari suasana makin keruh, akhirnya Majalah Al Islam meminta maaf kepada umat Katolik Malaysia.

Dalam pernyataan permohonan maaf yang dilansir dalam situs Al Islam dan dilansir Utusan Karya, Majalah Al Islam mengaku tidak bermaksud untuk menghina ajaran Katolik, mengganggu, atau menyalahgunakan tempat ibadah umat Katolik.

Seperti dikutip dari Straitstimes, Minggu (7/3/2010), Majalah Al Islam meminta maaf terkait artikel yang mereka publikasikan soal dua reporternya yang menyusup sebagai umat Katolik dan melakukan peribadatan layaknya umat minoritas di negeri jiran tersebut.

Utusan Karya adalah media yang berada di bawah naungan Utusan Group. Selain menerbitkan Utusan Karya, Utusan Group juga menerbitkan Malay Daily dan Utusan Malaysia.

Dua reporter yang menyusup dalam peribadatan yang digelar oleh gereja Katolik Malaysia adalah untuk investigasi kasus pindahnya umat muslim yang murtad menjadi penganut Kristiani. Artikel tersebut dimuat Mei 2009 yang tidak disertai dengan bukti-bukti kuat.

Dalam mempersiapkan tulisannya, dua reporter Al Islam ikut beribadah di Gereja St Anthony di Puduraya, Kualalumpur. Saat mengikuti misa, mereka mendapatkan roti suci. Roti tersebut sempat mereka makan tapi akhirnya dimuntahkan. Nah roti muntahan itu mereka abadikan dalam sebuah foto.

Umat Katolik meyakini, roti suci pemberian pastur tersebut merupakan perlambangan tubuh Yesus Kristus, dan hanya boleh dimakan bagi orang yang telah dibaptis saja.(detiknews.com)