VISI INDONESIA 2030 AKAN MENJADI SEKEDAR WACANA?


VISI INDONESIA 2030 AKAN MENJADI SEKEDAR WACANA?

PORMADI SIMBOLON

Kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kekacauan dan ketidakpastian seperti sekarang masih dominan mewarnai kehidupan rakyat kebanyakan di Indonesia. Sejak 1945 rakyat Indonesia berjuang mengejar visi yakni mewujudkan kehidupan yang maju dan sejahtera. Namun yang ada hingga sekarang, apa mau dikata, semuanya masih tetap sekedar wacana.

Bagaimana tidak, wacana yang indah-indah selalu muncul ke permukaan, namun realisasinya belum bisa dirasakan rakyat Indonesia kebanyakan. Pada bulan Maret lalu, muncul lagi sebuah wacana visi Indonesia yang dipaparkan oleh Yayasan Indonesia Forum (YIF). Menurut ketua YIF, Chairul Tanjung pada abad ke-21 Indonesia akan mampu menjadi negara maju dan sejahtera. Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, produktif, memiliki daya saing, serta mampu mengelola seluruh kekayaan alam dan sumber daya lainnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Dengan demikian, Indonesia masuk menjadi 5 besar dunia sebagai negara maju setelah China, India, AS, dan Uni Eropa.
Visi Indonesia 2030 akan terealisasi jika pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 persen per tahun. Pada 2030, dengan jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 5,1 triliun dollar AS.
Sebuah wacana yang amat menarik dan indah didengar. Wacana tersebut muncul di saat hampir seluruh aspek kehidupan termasuk birokrasi kurang efektif alias kurang berdisiplin dalam kinerjanya. Perilaku dan sikap para elit bangsa dan partai politik masih lebih memikirkan kepentingan kekuasaan dan kelompoknya. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki budaya malu dan berani mundur jika gagal dalam tugasnya.

Ditambah lagi dengan sistem pendidikan yang sekarang saja tidak mendukung pencapaian visi Indonesia 2030. Pendidikan hanya bisa dinikmati kalangan berduit, sementara kebanyakan rakyat Indonesia berpenghasilan kurang lebih 2 dollar AS per hari. Data Bank Dunia November 2006 menyebutkan, kemiskinan di Indonesia 149 juta jiwa (49 persen) dari total penduduk Indonesia 200 juta jiwa.

Kemampuan Indonesia di bidang pembangunan teknologi yang berkualitas belum menjadi suatu kebanggaan kolektif bangsa. Usaha riset yang ada tidak didanai secara memadai baik oleh pemerintah maupun swasta membuat lembaga riset kita tidak berkembang. Kebanyakan barang-barang teknologi kita merupakan buatan luar negeri.

Visi, Disiplin dan Keteladanan Pemimpin

Sebuah visi ke depan memang amat dibutuhkan sebuah bangsa. Tanpa visi, gerak dan perjalanan sebuah bangsa menjadi tidak jelas dan terarah. Seperti Malaysia memiliki visi 2020. Visi tersebut menjadi kebanggaan karena memberikan motivasi bagaimana Malaysia membangun negaranya ke depan. Hasilnya Malaysia yang dulu tertinggal dibandingkan Indonesia, sekarang menjadi negara yang lebih maju dari Indonesia. Eksistensi mereka diakui dalam percaturan internasional.

Suatu visi akan menjadi sekedar wacana bila tidak ada disiplin diri dan keteladanan para pemimpinnya. Pendisiplinan diri yang dimulai dari keteladanan para pemimpin atau pejabat publiknya dan lalu diikuti para rakyatnya mendorong pencapaian kemajuan dan kesejahteraan negara tersebut. Penulis yakin ketidakdisiplinan dalam semua aspek kehidupan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya-teknologi) menjadi faktor ketertinggalan bangsa Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga. Hal itu sudah terlihat dari merajalelanya budaya nyontek, tiadanya budaya antre, hilangnya budaya malu dan mundur serta banyaknya tindak korupsi yang terjadi pada birokrasi baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.

Selain Malaysia, kita dapat melihat negara tetangga lainnya, Singapura. Negara tersebut menjadi negara maju dan sejahtera karena disiplin diri dan keteladanan para pemimpinnya dalam kinerja pelayanannya kepada “konsumen” alias rakyatnya.

Visi itu akan menjadi sekedar wacana bila visi itu tidak disertai dengan suatu filosofi kemanajemenan. Filosofi tersebut antara lain mengisyaratkan disiplin dan keteladanan pemimpin menjadi faktor utama berhasilnya sebuah manajemen dalam sebuah organisasi/ negara.

Presiden Amerika Serikat (AS) ke-26, Theodore Rosevelt (1858-1919) pernah mengatakan, With self-discipline, most anything is possible, yang terjemahan bebasnya, “dengan disiplin diri, kebanyakan hal menjadi mungkin”.

Selanjutnya produk/ pelayanan yang akan dihasilkan ditentukan oleh rakyat/ konsumen. Biasanya konsumen akan memilih produk atau pelayanan terbaik. Jika produk luar negeri yang lebih baik kualitasnya dan murah harganya, maka rakyat akan memilihnya. Itu berarti, para pejabat publik atau pemimpin seyogiyanya mempunyai kecakapan mendengarkan keinginan rakyat banyak, bukannya keinginan segelintir orang. Untuk kemampuan itu, mereka dituntut memiliki kecakapan mendengar dan berempati kepada rakyat atau konsumen yang mereka layani.

Bila kemiskinan, kelaparan, kebodohan, kekacauan dan ketidakpastian seperti sekarang masih dominan mewarnai kehidupan rakyat kebanyakan di Indonesia sejak masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, maka visi Indonesia yang ada pada UUD 1945 dan dijabarkan dalam Visi Indonesia 2030 akan tetap menjadi sebuah wacana alias angin berlalu.

Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta