Maria Farida Indrati: Sesat Bukan Ranah Negara


Maria Farida Indrati:
Sesat Bukan Ranah Negara

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pencabutan Undang-Undang
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, Senin pekan lalu. Dan Maria Farida Indrati
satu-satunya di antara sembilan hakim konstitusi yang memberikan
dissenting opinion.

“Saya terbiasa sendiri,” ujarnya. Ia berpendapat Mahkamah seharusnya
mencabut undang-undang produk 1965 itu karena negara tak boleh
mencampuri tafsir sebuah ajaran.

Hakim perempuan pertama di Mahkamah Konstitusi ini juga menyampaikan
pendapat berbeda ketika dilakukan uji materi Undang-Undang Pornografi,
Maret lalu. Ada yang menyebutkan Maria berbeda pendapat mungkin karena
lebih paham kondisi sebagai perempuan yang banyak dibahas dalam undang-
undang tersebut. “Mungkin saja,” katanya sambil tersenyum.

Rabu pekan lalu, Maria menerima Nugroho Dewanto, Yandi M. Rofiyandi,
Sutarto, dan fotografer Suryo Wibowo dari Tempo di kantornya, Mahkamah
Konstitusi. Di samping tempat duduknya terdapat kursi roda yang
membawanya ke mana-mana. Cedera akibat terjatuh menjelang Paskah awal
April lalu membuatnya belum bisa menjejakkan kaki.

Apa yang membuat Anda memberikan pendapat berbeda dalam sidang uji
materi Undang-Undang Penodaan Agama?

   Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama itu sudah terlalu lama, produk masa lampau di era demokrasi
terpimpin. Undang-undang itu merupakan terobosan atau peraturan yang
dibuat di luar konstitusi, melalui penetapan presiden. Pada 1963-1969,
terdapat 169 penetapan presiden yang berlaku, termasuk soal penodaan
agama.

Bagaimana bisa menjadi undang-undang?

   Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan banyak
hal yang tak tepat sehingga harus ada peninjauan kembali terhadap
penetapan presiden. Lalu keluar Ketetapan MPRS Nomor 19 Tahun 1966.
Rupanya, ketetapan itu tak berjalan baik. Kemudian, pada 1968, keluar
Ketetapan MPR Nomor 39 yang menyatakan pelaksanaan ketetapan nomor 19.
Jadi dua ketetapan itu menyatakan perlu peninjauan kembali terhadap
penetapan presiden.

Jadi penetapan presiden tetap berlaku?

   Setelah ketetapan MPR, keluar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
yang menyatakan beberapa penetapan presiden dan peraturan presiden
menjadi undang-undang. Dalam undang-undang itu terdapat lampiran 2A
dan 2B tentang penodaan agama yang dinyatakan berlaku sebagai undang-
undang. Syaratnya harus diperbaiki, disempurnakan, dan menjadi bahan
pembentukan undang-undang berikutnya.

Mengapa sejak 1969 sampai sekarang tak ada perbaikan?

   Memang tak pernah ada perbaikan dan penyempurnaan. Padahal
penetapan presiden yang berakibat sama telah dihapus, seperti tindak
pidana subversif. Undang-undang subversif dicabut pada era reformasi,
tapi Undang-Undang Penodaan Agama belum.

Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sengaja membiarkan?

   Biasanya undang-undang dipakai oleh mereka yang merasa agama ini
atau itu tak benar. Saya menganggap, kalau 40 tahun bertahan, itu
berarti DPR dan pemerintah tak bijaksana. Banyak permasalahan agama,
tapi undang-undang tak melindungi pelaksanaan ibadah agama dan
kepercayaan.

Termasuk diskriminasi karena agama?

   Iya, seperti kesulitan melakukan perkawinan atau memperoleh kartu
tanda penduduk. Setelah meninggal pun masih terjadi diskriminasi.
Penganut kepercayaan sulit mendapat surat kematian. Di Surabaya ada
yang sampai tiga hari belum dikuburkan karena surat kematiannya tak
keluar-keluar.

Undang-undang ini digunakan untuk mendiskriminasi penghayat
kepercayaan dan penganut agama minoritas. Seandainya Soekarno masih
hidup, bagaimana respons beliau?

   Saya kira Bung Karno tak menghendaki itu. Bung Karno tentunya akan
membuat peraturan berbeda. Walaupun peraturan itu berhubungan dengan
agama, pasti dalam bentuk undang-undang. Penetapan presiden itu
sebetulnya materinya undang-undang karena memberikan larangan dan ada
sanksi pidana. Padahal sanksi pidana tak boleh dibuat oleh presiden
sendiri, harus ada DPR.

DPR kok diam saja?

   Secara formal, karena presiden menganggap penetapan itu
diperlukan, maka boleh. Tapi secara material tidak boleh. Di mana pun
peraturan yang memberikan sanksi dan pembebanan kepada seseorang harus
dibicarakan dengan wakil rakyat. Misalnya pajak retribusi, pengurangan
hak asasi manusia dan kemerdekaan seseorang, sehingga harus dipidana.

Apa alasan pemerintah ketika itu mengeluarkan penetapan presiden?

   Pada waktu itu alasannya Nasakom serta banyak aliran yang berusaha
menyatakan diri sebagai aliran keagamaan tapi mengajak orang keluar
dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka dianggap mencederai dan tak
sesuai dengan Pancasila. Ada juga aliran yang menafsirkan sendiri tapi
menggunakan kitab salah satu agama, sehingga keluarlah penetapan itu.

Bukankah sekarang masih ada kecenderungan aliran yang menafsirkan
sendiri dan menggunakan kitab salah satu agama?

   Iya. Di pasal 1 dikatakan, kalau seseorang mengemukakan,
menafsirkan sesuatu yang berbeda dengan pokok ajaran agama di muka
umum, dia dianggap menodai agama. Kesimpulan menodai agama atau tidak
itu adalah tafsir. Dalam setiap agama pasti ada yang mengatakan
penafsiran itu. Misalnya Majelis Ulama Indonesia atau Nahdlatul Ulama
dalam Islam, Sinode dalam Protestan dan Katolik. Tapi pada akhirnya
tak boleh memakai tangan negara.

Jadi negara tak boleh ikut campur menyatakan sesat atau tidaknya suatu
ajaran?

   Boleh saja ada fatwa tentang ajaran menyimpang, tapi jangan
meminta negara ikut campur. Misalnya, setelah vonis ajaran sesat,
mereka meminta surat keputusan bersama (SKB) menteri. Sesat atau tidak
itu bukan ranah negara, tapi otoritas masing-masing agama. Beberapa
ahli, misalnya Frans Magnis-Suseno, bahkan mengatakan fatwa sesat
bukan kewenangan manusia. Seolah-olah manusia yang menentukan.

Salah satu dasar pemohon adalah semua warga negara harus diperlakukan
sama?

   Negara memang harus menjamin kemerdekaan seseorang. Dalam ranah
hukum Indonesia, perlindungan terhadap pemeluk agama dan beribadah
menurut agama dan kepercayaan itu sangat kuat. Kalau dulu hanya pasal
29, sekarang ada 28e dan 28i. Hak seseorang dalam tiga pasal itu
menjadi kewajiban konstitusional negara. Jadi, orang melaksanakan
ibadah, memanifestasikan, mengkomunikasikan harus dilindungi negara.

Kenyataannya?

   Kadang-kadang kita tak melihat itu. Misalnya, tahu-tahu ada gereja
atau masjid dibakar. Kewajiban negara melindungi warganya beribadah
dan melaksanakan keyakinan tak dilaksanakan dengan baik.

Undang-Undang Penodaan Agama hanya mengakui enam agama. Bagaimana
dengan orang-orang yang berada di luar itu?

   Sebetulnya undang-undang tak menyebutkan diakui atau tidak. Hanya
mengatakan melanggar pokok ajaran agama. Nah, waktu itu agama
mayoritas hanya enam. Dalam penjelasan undang-undang disebutkan enam
agama yang ada di Indonesia. Di luar itu memang diberi kebebasan, tapi
tak diberi perlakuan sama. Saya menganggap negara tak melindungi yang
lain itu.

Dengan tetap berlakunya undang-undang itu, apakah mungkin akan ada
pembakaran masjid atau gereja lagi dengan alasan menyimpang?

   Tergantung sosialisasi pemerintah dan bagaimana kita memaknai
undang-undang. Sosialisasi pemerintah harus jelas, mana yang boleh dan
mana yang tidak. Sekarang, kalau kita melihat di siaran televisi,
aparat diam saja, bahkan takut.

Apakah ada intimidasi oleh kelompok yang mendukung bertahannya undang-
undang ini?

   Memang kelompok yang tak setuju perubahan ini kita lihat sangat
fanatik. Padahal sebenarnya lebih banyak yang tak fanatik. Mereka
vokal dan berani bertindak. Saya banyak berhubungan dengan teman-teman
muslim, tapi enak saja. Kita bisa berbeda pendapat dan pikiran.

Dalam sidang kemarin, ada yang ribut, berteriak… .

   Sebetulnya ditegur oleh ketua. Bahkan, ketika ada yang ribut
memaksa masuk, ketua menghentikan sidang. Beliau meminta semua
mengikuti peraturan. Ketua dan hakim sering terenyak dengan pemaparan
dari saksi.

Apakah banyaknya pendukung yang ingin undang-undang bertahan ikut
mempengaruhi hasil putusan?

   Saya rasa tidak. Perdebatan pleno hakim sangat ramai. Misalnya
soal SKB. SKB itu produk hukum seperti perundang-undangan. Surat
keputusan tentang Ahmadiyah bentuknya keputusan bersama. Di dalamnya
ternyata bukan hanya larangan, tapi mengatur juga. Ini menimbulkan
masalah.

Sebelum 1965, banyak penganut kepercayaan menjadi pegawai negeri,
polisi, dan militer dan tak bermasalah. Dalam upacara mereka tidak
bersumpah, tapi cukup berjanji….

   Kita memiliki landasan kuat terhadap perlindungan aliran
kepercayaan, kebatinan, dan agama kecil. Tapi kenyataannya berbeda.
Misalnya saksi Sardi, penghayat kepercayaan, yang ingin jadi tentara
tapi enggak boleh. Saya terenyuh ketika dia mau disumpah. Begitu
ditanya mau bersumpah bagaimana, dia menjawab Pancasila. Dia grogi
karena melihat semua tak setuju undang-undang ini. Bagi saya, sumpah
itu tak jadi masalah karena dalam Pancasila terdapat Ketuhanan Yang
Maha Esa.

Sepertinya para penganut kepercayaan menjadi bahan ejekan?

   Iya. Bahkan, ketika Ulil Abshar Abdalla hendak bersaksi di sidang,
ditanya, “Mau bersumpah dengan cara Islam?” Bagi saya, seharusnya itu
tak boleh.

Jangan-jangan hakim membuat keputusan karena terhanyut suasana?

   Bisa jadi. Tapi pada dasarnya alasan mereka juga masuk akal.
Misalnya, kalau dicabut, apa penggantinya? Saya sebenarnya tak
mempermasalahkan karena pasal penodaan agama sudah terserap dalam
hukum pidana.

Jadi, kalau undang-undang dicabut, pasal di KUHP masih berlaku?

   Kalau undang-undang dicabut, pasal dalam KUHP itu tak menjadi
masalah. Pasal 156 dan 156a itu menyangkut hatzaai artikelen. Jadi,
kalau melihat ada permusuhan dan penodaan agama, bisa ke situ.

Apa yang membuat Anda juga memberikan dissenting opinion dalam uji
materi Undang-Undang Pornografi?

   Saya melihat Undang-Undang Pornografi tak hanya pasal per pasal,
tapi pada pembentukannya. Sejak rancangan sampai disetujui DPR,
menimbulkan masalah terus. Demonstrasi, dialog, talk show, pawai
budaya, dan lain-lain. Semua mempertanyakan perlu-tidaknya undang-
undang ini. Saya melihat kok negara ini tak punya persatuan lagi.
Pecah karena hal sepele.

Definisi pornografi juga multitafsir?

   Iya, memang disebutkan bahwa pornografi itu ada gambar, foto,
tulisan, dan sebagainya. Tapi kemudian dilanjutkan dengan kalimat
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pasal 1 seharusnya
definisi saja. Ketika ditambahkan kalimat tak melanggar norma
kesusilaan, artinya ada batasan atau larangan. Jadi bukan definisi
lagi. Norma kesusilaan juga berhubungan dengan adat dan agama sehingga
ditafsirkan sendiri oleh daerah masing-masing. Nanti di suatu tempat
dinyatakan porno, di tempat lain tidak.

Dua kasus undang-undang itu apakah memperlihatkan demokrasi atau
mayoritarianisme?

   Kalau melihat sidang DPR, memang yang diuntungkan partai besar.
Saya sebenarnya menginginkan, kalau belum disepakati, jangan disetujui
dan disahkan. Coba dua pihak dipertemukan, kemudian baru dibahas.

Anda selalu memberikan dissenting opinion dalam dua uji materi undang-
undang itu. Merasa sendirian?

   Saya tak merasa berbeda dengan hakim lain. Saya terbiasa sebagai
perempuan sendiri.

MARIA FARIDA INDRATI SOEPRAPTO

Tempat dan tanggal lahir: Solo, Jawa Tengah, 14 Juni 1949

Pendidikan:

   * Sarjana Hukum 1975
   * Notariat 1982
   * Pascasarjana Hukum UI 1997
   * Doktor Ilmu Hukum UI 2002
   * Legal Drafting di Leiden, Negeri Belanda
   * Legislative Drafting Project University of San Francisco School
of Law dan Boston University School of Law

Pekerjaan:

   * Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia
   * Anggota Tim Perumus dan Penyelaras Komisi Konstitusi Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
   * Hakim Mahkamah Konstitusi

http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2010/04/26/WAW/ mbm.20100426. WAW133367.id. html

Surat Terbuka Hans Kung untuk Para Uskup


Surat Terbuka HANS KÜNG untuk Para Uskup

Yang mulia para uskup

Joseph Ratzinger, sekarang Paus Benediktus XVI, dan saya dulunya adalah para teolog muda pada konsili Vatikan II tahun 1962 – 1965. Sekarang kami adalah yang paling tua dan tinggal yang tersisa dari yang masih aktif. Saya selalu memahami pekerjaan saya sebagai teolog untuk melayani Gereja katolik. Untuk alasan itu, dalam kesempatan peringatan ke-5 pemilihan Paus Benedictus XVI, saya menulis himbauan ini dalam bentuk surat terbuka. Saya melakukannya karena saya digerakkan oleh keprehatinan saya yang mendalam bagi Gereja, yang sekarang ini mengalami krisis kepercayaan terburuk sejak reformasi protestan. Maafkan saya atas bentuk surat terbuka ini, karena saya tidak tau bagaimana caranya saya bisa mencapai para uskup sekalian.

Saya sangat menghargai bahwa Paus mengudang saya secara pribadi untuk berjumpa sebagai sahabat dan kami berbicara selama empat jam segera setelah Paus menduduki jabatannya. Peristiwa itu membangkitkan di dalam diri saya suatu pengharapan bahwa mantan kolega saya di Universitas Tubingan ini akan dapat menemukan cara pembaruan yang berkesinambungan dalam Gereja dan melakukan pendekatan-pendekat an ekumenis dalam semangat konsili Vatikan II.

Sayangnya, harapan saya dan banyak umat katolik yang terlibat dalam hidup Gereja itu tidak terpenuhi. Dan dalam korespondensi saya selanjutnya dengan Paus, saya banyak kali sudah menyatakan hal itu. Memang benar, Paus dengan sadar menjalankan tugas hariannya sebagai Paus degan baik dan Ia telah memberikan kita tiga ensiklik yang sangat bermanfaat bagi iman, harapan dan kasih. Namun, bila ia harus menghadapi tantangan-tantangan besar zaman kita, kepausannya melewatkan begitu saja banyak kesempatan emas yang sebenarnya bisa dimanfaatkannya:

Kesempatan yang hilang itu ialah pendekatan kembali dengan Gereja-gereja protestan. Gantinya, malah Paus menolak status mereka sebagai benar-benar Gereja seperti dimaksudkan oleh kata itu; sehingga para pelayan protestan juga tidak diakui dan inter-komuni adalah tidak mungkin.

Kesempatan satu lagi yang hilang ialah rekonsiliasi jangka panjang dengan umat Yahudi. Gantinya, malah Paus memperkenalkan kembali liturgi pra konsili Vatikan II untuk mendoakan orang-orang Jahudi mengenal kebenaran sejati. Ia juga telah menerima para uskup yang jelas-jelas anti-semitis kembali ke pangkuan Gereja. Dan ia secara aktif mempromosikan beatifikasi Paus Pius XII yang telah dituduh tidak cukup melindungi orang-orang Yahudi dari Nazi Jerman.

Kebenarannya adalah bahwa Benedictus XVI melihat Yudaisme hanya sebagai akar sejarah dari kekristenan; ia tidak menganggapnya secara serius sebagai suatu komunitas religius yang terus berlangsung dan menawarkan jalan keselamatannya sendiri. Perbandingan yang baru-baru saja dibuat oleh Pastor Raniero Cantalamessa OFM Cap,  (pengkhotbah Vatikan) tentang kampanye kebencian anti-semitis terhadap Paus pada kesempatan Jumat Agung di Vatikan – telah menimbulkan kemarahan meluas di antara orang-orang Yahudi.

Hilangnya kesempatan juga untuk berdialog dengan umat muslim dalam semangat saling percaya dan saling menghargai. Sebaliknya, dalam kuliahnya yang diberikan di Regensburg tahun 2006, Benedictus menggambarkan Islam sebagai agama kekerasan dan tidak manusiawi sehingga ketidakpercayaan dan kecurigaan umat Islam terhadap Gereja Katolik semakin menguat.

Hilang pula kesempatan untuk rekonsiliasi dengan penduduk Asli Amerika Latin yang mengalami penginjilan melalui kolonialisasi. Dan sebaliknya, Paus menekankan dengan segala keseriusannya bahwa mereka telah lama merindukan agama dari para penjajah Eropa itu.

Hilang pula kesempatan untuk membantu masyarakat Afrika dengan mengizinkan mengaturan kelahiran untuk memerangi ledakan penduduk dan kondom untuk melawan HIV.

Hilang pula kesempatan untuk berdamai dengan ilmu pengetahuan modern dengan mengakui secara tegas kebenaran teori evolusi dan mengizinkan penelitian stem-cell.

Hilang pula kesempatan untuk membuat semangat konsili Vatikan II sebagai pedoman arah seluruh Gereja Katolik, termasuk Vatikan sendiri, dan dengan demikian terasa mendesak reformasi yang diperlukan di dalam Gereja.

Para Uskup yang terhormat, point yang terakhir ini adalah yang paling serius untuk kita semua. Berkali kali Paus ini menambahkan penilaian (kwalifications) terhadap teks-teks konsili dan menafsirkannya sendiri melawan semangat para bapa konsili sendiri. Berkali kali ia telah mengambil posisi yang berlawanan dengan konsili ekumenis itu, yang menurut hukum kanonik merepresentasikan otoritas tertinggi Gereja Katolik:

–          Ia telah menerima kembali para uskup tradisionalits dari komunitas Pius X ke dalam Gereja tanpa syarat apapun. Mereka adalah para uskup yang secara tidak sah ditahbiskan di luar Gereja dan para uskup itu menolak pokok-pokok penting ajaran konsili vatikan II (termasuk pembaruan liturgi, kebebasan beragama dan pendekatan terhadap umat Yahudi).

–          Ia mempromosikan misa tridentina abad pertengahan dengan segala cara dan pada kesempatan tertentu merayakan misa dalam bahasa Latin dengan imam membelakangi umat.

–          Ia menolak untuk mewujudkan pendekatan dengan Gereja Anglikan, yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh suatu komisi internasional antara Gereja Katolik dan Anglikan dan Paus sebaliknya melarang klerus anglikan yang menikah yang mau masuk Gereja Katolik dengan membebaskan mereka dari kewajiban selibat, kewajiban mana telah memaksa puluhan ribu imam katolik meninggalkan imamatnya.

–          Ia secara aktif menyemangati kembali kekuatan-kekuatan anti-konsili dalam Gereja dengan penunjukkan orang-orang kunci dalam kuria romana (termasuk Sekretaris Nagara Vatikan dan posisi-posisi dalam komisi liturgi) yang mengundang reaksi dari banyak uskup di seluruh dunia.

–          Paus Benedictus rupanya semakin terpisah dan terputus dengan mayoritas luas umat Gereja katolik yang semakin menjauh dari Roma; masih baik, kalau mereka mengikatkan diri pada Gereja Paroki dan keuskupan saja.

Saya tahu banyak dari para uskup sangat menderita karena situasi ini. Dalam kebijakannya yang anti-konsili, Paus menerima dukungan penuh dari curia romana. Kuria melakukan apa saja yang terbaik untuk mengindari kritikan di dalam episkopat dan di dalam Gereja secara keseluruhan dan melawan semua kritikan itu dengan segala cara yang ada dalam kekuasaan mereka. Untuk menangkis perhatian media, kekuatan-kekuatan reaktif di Roma telah membuat kita berhadapan dengan kekuasaan tertinggi yang disebut “Wakil Kristus”, yang merupakan menyatukan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif hanya dalam satu tangan. Namun usaha-usaha restorasi Benedictus XVI itu telah gagal. Semua penampilannya yang spektakuler, perjalanan-perjalan annya yang demonstratif dan pernyataan-pernyata annya telah gagal mempengaruhi pendapat kebanyakan umat katolik menyangkut issue-issue kontroversial. Hal itu terlebih-lebih adalah nyata berkaitan dengan moral seksual. Pun pertemuan Paus dengan kaum muda, kebanyakan dihadiri oleh kelompok-kelompok karismatik konservatif, dan telah gagal mencegah orang muda yang mau meninggalkan gereja dan telah gagal menarik orang muda untuk mengikuti panggilan imamat.

Sebagai uskup, anda punya alasan untuk merasakan kesedihan mendalam. Puluhan ribu imam telah meninggalkan imamatnya sejak konsili vatikan II, untuk sebagian besar karena peraturan selibat. Panggilan pada imamat dan hidup religius menurun drastis – bukan secara kwantitaif saja melainkan secara kwalitatif juga. Kekecewaan dan pengunduran diri menyebar dengan cepat di antara para klerus dan aktivist awam. Banyak orang merasa bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka tidak diperhatikan Gereja, dan yang lainnya lagi kecewa dengan Gereja. Di banyak keuskupan anda terdapat cerita yang sama: Gereja semakin kosong, seminari dan biara semakin sunyi. Di banyak negara, karena kekurangan imam, banyak paroki dimerger, sering dengan melawan kehendak umat setempat, ke dalam unit pastoral lebih luas yang semakin menambah beban imam yang tersisa. Ini pembaruan Gereja dalam pretensi, bukan dalam kenyataan.

Dan sekarang, di atas semua krisis tadi munculkan skandal yang berteriak sampai ke sorga – terbongkarnya pelecehan seksual oleh klerus terhadap ribuan anak-anak dan remaja. Pertama di Amerika, kemudian di Irlandia, dan sekarang di Jerman dan di negara-negara lain. Dan semua hal itu menjadi lebih buruk karena pemegang kuasa untuk menangani masalah itu adalah orang-orang yang mengalami krisis kepemimpinan begitu rupa yang  belum pernah ada presedennya sehingga kepercayaan kepada pemimpin gereja runtuh.

Fakta yang tidak dapat disangkal adalah bahwa sistem penanganan kasus seksual oleh para klerus dilakukan oleh propaganda fide di bawah komando kardinal Ratzinger tahun 1981 – 2005. Selama kekuasaan Paus Yohanes Paulus II, kongergasi itu telah mengambil tindakan terhadap semua kasus semacam itu di bawah sumpah untuk tutup mulut. Ratzinger sendiri pada 18 Mei 2001 mengirimkan dokumen resmi kepada semua uskup terkait dengan kejahatan berat (epistula de delictis gravioribus) di mana masalah pelecehan seksual dimeterai di bawah secretum pontificium, dan orang yang melanggarnya akan dikenai sanksi ekklesial yang berat. Oleh karena itu, dengan alasan yang baik banyak orang mengharapkan adanya pernyataan “mea culpa” secara pribadi dari mantan prefek kongergasi propaganda fide yang sekarang Paus itu. Namun Paus melewatkan kesempatan indah pertobatan yang disediakan oleh pekan suci itu, dan gantinya ia menyampaikan pernyataan innocent-nya dalam berkat  urbi et orbi oleh kepala dewan para kardinal.

Akibat dari semua skandal itu sangat buruk bagi reputasi atau nama baik Gereja Katolik. Para pemimpin penting gereja telah menyatakan hal itu. Banyak pastor yang baik dan komit serta para pendidik menderita tekanan di bawah stigma kecurigaan yang sekarang ini menyelimuti Gereja. Anda, yang terhormat uskup-uskup, harus menghadapi pertanyaan ini: Apa yang akan terjadi dengan Gereja kita dan dengan masa depan diosis anda? Bukan maksud saya untuk merancang suatu program pembaruan dalam gereja. Hal itu sudah saya lakukan secara cukup baik sebelum maupun selama konsili. Sebagai gantinya saya hanya ingin memaparkan ke hadapan anda 6 (enam) proposal yang saya yakin didukung oleh jutaan umat katolik yang tidak mempunyai suara dalam menghadapi situasi sekarang ini.

  1. Jangan tinggal diam. Dengan tinggal diam dalam menghadapi begitu banyak masalah serius, anda sendiri ikut bersalah. Jika anda merasa bahwa aturan, arahan dan ukuran tertentu adalah kontraproduktif, anda harus mengatakannya di depan publik. Jangan kirim ke Roma pernyataan ketaatan kepada Paus, melainkan kirimkanlah ajakan untuk reformasi.
  2. Mulailah suatu pembaruan: terlalu banyak orang di dalam gereja dan keuskupan mengeluh tentang Roma, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa-apa. Jika umat tidak lagi hadir di dalam Gereja dalam keuskupan anda, jika karya pastoral tidak menghasilkan buah, jika masyarakat dibungkam tentang masalah-masalah dunia, jika kerjasama ekumenis dipersempit sampai tingkat minimum, maka kesalahan tidak bisa ditimpakan hanya kepada Roma. Jika uskup, imam, umat dan siapa saja bisa melakukan pembaruan di dalam Gereja dalam lingkungannya sendiri, lakukanlah itu baik besar atau kecil. Banyak pencapaian besar yang telah terjadi di paroki dan Gereja memiliki asalnya pada inisiatif individu dan kelompok kecil. Sebagai uskup anda harus mendukung inisiatif semacam itu, dan khususnya di dalam situasi sekarang ini, anda harus menjawab keluhan-keluhan jujur dari umat beriman.
  3. Bertindaklah secara kolegial: Setelah perdebatan panas melawan persistensi Curia, konsili Vatikan II mendekritkan kolegialitas antara Paus dan para uskup. Hal itu dilakukan dalam semangat kisah para rasul di mana Petrus tidak bertindak sendiri tanpa kolegialitas dengan para rasul. Namun,  pada era setelah konsili Vatikan II, paus dan kuria mengabaikan dekrit itu. Hanya dua tahun setelah konsili, Paulus VI menerbitkan ensiklik membela hukum selibat yang kontroversial itu tanpa konsultasi sedikitpun dengan uskup-uskup lainnya. Sejak itu politik kepausan dan magisterium kepausan terus melanjutkan gaya lama yang tidak kolegial itu. Bahkan dalam masalah liturgi, Paus berkuasa seperti seorang aristokrat di atas dan melawan para uskup. Ia bahagia dengan dikelilingi oleh mereka semua yang penurut tanpa suara dan tanpa hak. Itulah sebabnya para uskup yang mulia, anda harus bertindak bukan atas nama anda sendiri, melainkan di dalam komunitas para uskup, dengan para imam dan pria wanita yang membentuk Gereja kita.
  4. Ketaatan tanpa syarat hanya ditujukan kepada Allah saja. Walaupun dalam tahbisan uskup anda telah berjanji akan taat tanpa syarat kepada Paus, anda tahu bahwa ketaatan tanpa syarat itu tidak pernah dibayarkan untuk kukuasaan manusiawi apapun. Hal itu hanya untuk Tuhan. Dengan alasan itu, anda tidak usah merasa dihalangi oleh sumpah anda untuk berbicara tentang kebenaran menyangkut krisis yang dihadapi oleh Gereja, oleh keuskupan dan oleh negara anda sekarang ini. Model anda hendaknya adalah rasul Paulus, yang berani melawan Petrus karena ia jelas-jelas membuat kesalahan (Gal. 2: 11). Menekan kekuasaan Roma dalam semangat persaudaraan kristiani bisa diizinkan bahkan perlu apabila Roma sendiri gagal menghidupi semangat injil dan misinya. Penggunaan ungkapan-ungkapan dalam liturgi, perubahan-perubahan dalam regulasi perkawinan campur, pengakuan terhadap toleransi, demokrasi dan hak asasi, pembukaan pendekatan ekumenis, dan banyak pembaruan konsili vatikan II hanya bisa dicapai karena tekanan-tekanan tanpa kenal lelah dari bawah.
  5. Bekerjalah untuk solusi-solusi regional. Vatikan terlalu sering memalingkan telinganya yang tuli terhadap tuntutan dunia dari keuskupan-keuskupan , para imam dan umat. Hal itu menjadi alasan kuat untuk mencari solusi-solusi regional. Seperti anda amat sadar, peraturan selibat, yang adalah warisan dari abad pertengahan, menghadirkan persoalan yang amat pelik. Dalam konteks skandal para klerus dewasa ini, praktek selibat itu terus menerus dipertanyakan. Melawan kehendak Roma, maka perubahan di bidang regulasi itu tidaklah mungkin; Namun itu bukan alasan untuk menyerah secara pasif. Jika seorang imam, setelah pertimbangan yang matang, berkendak untuk menikah, tidak ada alasan mengapa ia harus secara otomatis meninggalkan jabatannya jika uskupnya dan parokinya memilih dia untuk tetap mendukungnya. Masing-masing konferensi uskup dapat mengambil langkah-langkah untuk solusi regional. Namun akan lebih baik apabila solusi itu dilakukan untuk seluruh Gereja, dan untuk itu perlu:
  6. Ajakan untuk konsili: Sama seperti tercapainya pembaruan liturgi, pengakuan kebebasan beragama, ekumenisme dan dialog antar agama menghendaki suatu konsili ekumenis, demikian pula sekarang ini diperlukan sebuah konsili untuk memecahkan permasalahan yang secara dramatis terus membesar sehingga membutuhkan reformasi. Dalam abad sebelum gerakan Reformasi Protestan, Konsili Contans mendekritkan bahwa konsili hendaknya dibuat setiap lima tahun sekali. Namun kuria Roma dengan gemilang berkasil mengebiri keputusan itu. Tidak mengherankan kita bahwa karena takut akan dibatasi kekuasaannya, kuria akan melakukan apa saja untuk mencegah konsili diadakan dalam situasi sekarang ini. Ini semua terserah anda para uskup untuk mendorong diundangkannya sebuah konsili atau sekurang-kurangnya pertemuan representatif para uskup.

 

Dengan Gereja dalam krisis yang dalam ini, inilah himbauan saya kepada anda para uskup yang terhormat: Gunakanlah kekuasaan episkopat anda yang telah ditegaskan oleh konsili vatikan II. Dalam situasi yang urgen ini, mata seluruh dunia tertuju kepadamu. Tak terhitung jumlahnya umat yang kehilangan kepercayaan terhadap Gereja Katolik.  Hanya melalui penanganan yang jujur dan terbuka terhadap masalah ini dan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan, maka kepercayaan mereka akan bisa dipulihkan. Dengan segala hormat saya memohon anda untuk melakukan apa yang menjadi bagianmu – bersama-sama dengan para rekan uskup sejauh dimungkinkan pun pula secara pribadi jika diperlukan – dalam semangat tanpa takut sang rasul (Kis 4: 29, 31). Berikanlah kepada umatmu tanda-tanda pengharapan dan peneguhan and berikanlah kepada gereja kita sebuah perspektif untuk masa depan.

Dengan salam hangat dari komunitas umat beriman kristiani

With warm greetings in the community of the Christian faith,

Yours, Hans Küng – (New York Times Syndicate) © Hans Küng

dari milis

Kekuatan Ucapan “Terima Kasih”


Jakarta (ANTARA News) – Hanya dengan menyampaikan “terima kasih”, ternyata bisa memberi manfaaat bagi orang yang menerima dan menyampaikan ucapan tersebut, demikian hasil satu penelitian.

Menyampaikan terima kasih bisa memperbaiki perilaku dalam hubungan antar-manusia, demikian penelitian di Florida State University, Tallahasse.

Mengatakan “terima kasih” juga menguatkan hubungan dengan membuat orang yang menyampaikannya merasa lebih bertanggung jawab terhadap kesejahteraan pasangannya, demikian penelitian yang diterbitkan di dalam Psychological Science.

Untuk mengerti bagaimana menyampaikan terima kasih dapat membantu menguatkan hubungan, para peneliti melakukan tiga bentuk penelitian berbeda.

Dalam satu penelitian, 137 mahasiswa menyelesaikan survei yang mengukur seberapa sering mereka menyampaikan terima kasih kepada teman atau pasangan. Hasilnya menunjukkan rasa terima kasih berhubungan secara positif dengan persepsi manusia dalam paham komunal.

Di dalam penelitian kedua, yang melibatkan 218 mahasiswa, menyampaikan terima kasih diramalkan meningkatkan persepsi penutur mengenai penguatan hubungan dalam waktu lama.

Penelitian ketiga, 75 laki-laki dan perempuan secara acak dibagi menjadi empat kelompok.

Selama tiga pekan, satu kelompok menyampaikan terima kasih kepada teman, yang kedua menyatakan memikirkan rasa terima kasih tentang seorang teman, sedangkan kelompok tiga memikirkan kegiatan sehari-hari dan keempat melakukan interaksi positif dengan seorang teman.

Bagi yang menyampaikan terima kasih, hubungan dilaporkan menguat setelah penelitian berakhir dibandingkan dengan kelompok lain.

Terima kasih, ketika disampaikan, meningkatkan kekuatan komunal, menurut kepala peneliti Nathaniel Lambert, wakil peneliti di Universitas tersebut.

Temuan itu masuk akal, karena “ketika menyampaikan terima kasih, kamu akan memusatkan perhatian pada hal baik yang telah dilakukan oleh orang tersebut”, katanya.

“Itu membuat anda melihat mereka dari sudut pandang positif dan membantu anda memusatkan perhatian pada ciri-ciri baik mereka,” kata Lambert sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi China, Xinhua.

Lambert mengatakan, tim penelitinya menguji pendapat bahwa orang yang berterima kasih melihat hubungan tersebut bersifat komunal, merasa lebih pantas berkorban untuk orang tersebut dan lebih niat dalam membantu.

Walaupun penelitian tersebut hanya melihat orang yang menyampaikan terima kasih, Lambert berspekulasi “mereka yang menerima ucapan terima kasih akan terdorong melakukan hal yang sama. Mereka akan membalas rasa terima kasihnya. Jadi seperti berbentuk spiral yang mengarah ke atas”.(M-IFB/C003/S018)

COPYRIGHT © 2010 ANTARA

PubDate: 14/04/10 06:39

sumber: www.antara.co.id

MUI: TINDAK TEGAS PENGHINA NABI


MUI Minta Pemerintah Tindak Tegas Penghina Nabi

Jakarta(Pinmas)–Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak pemerintah aparat keamanan cepat bertindak atas kasus penghinaan Nabi Muhammad SAW. Sebuah akun di jejaring sosial facebook memuat penghinaan dan pelecehan atas Nabi Muhammad SAW.

MUI menilai akun itu sebagai serangan atas ajaran Islam dan berpotensi mengganggu kehidupan antarumat beragama. “Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika dan aparat keamanan harus menindak tegas pelakunya,” kata Ketua MUI, KH Amidhan, di Kantor MUI, Kamis, (8/4).

Menurut Amidhan, pembuat akun jelas telah melontarkan tuduhan jahat dengan menyebut Muhammad bukan sebagai nabi, tapi perampok dan pezina. Tudingan ini jelas tidak boleh dibiarkan karena akan memicu reaksi keras dari umat Islam di tanah air.

“Karena itu, saya minta pemerintah agar menghentikan akun facebook ini dan menangkap pelakunya serta memberikan sanksi. Masak aparat tidak bisa mencari dan menangap pelakunya?” ujar Amidhan.

Khusus bagi masyarakat Muslim, Amidhan meminta agar tidak gampang terpancing pada provokasi pembuat akun di facebook yang menghina nabi. Ia meminta agar masyarakat Muslim tetap berlaku tenang dan mempercayakan upaya penyelesaikan kasus ini kepada pemerintah dan aparat keamanan.(rep/aru/ts)

Sumber: www.depag.go.id