MEMAKNAI RASA LAPAR SAAT BERPUASA


Hari ini 21 Februari 2007, saya ikut mulai berpuasa sebagaimana umat Katolik lainnya. Niatku pada hari ini berpuasa dengan tidak makan siang, cukup sarapan nasi uduk dengan sepotong tahu.Lalu aku coba mengisi waktuku dengan merenung sambil bekerja.

Setelah jam menunjukkan pukul 12.00 siang, saat makan siang kantor tiba, aku diuji akankah aku makan siang atau tidak? Perut mulai terasa lapar. Sebagian teman memang memilih makan siang tanpa sarapan pagi. Godaan akan makan siang terus muncul ke permukaan, tapi aku tetap berusaha menahannya hingga pada sore hari.

Pada jam pulang kantor, pukul 16.00 WIB, kembali rasa lapar itu meruak ke permukaan. Maklum, saya selalu makan tiga kali sehari dan selalu tepat waktu. Semakin terasa rasa lapar itu semakin kucoba melawannya seraya bertanya apa artinya rasa lapar dilawan? Bukankah kelaparan dapat membuat saya sakit dan tambah kurus? Rasa lapar itu mendorongku untuk memaknai rasa lapar.

Baru tidak makan satu kali sudah mengeluh dan menggerutu, lalu bagaimana dengan mereka yang lapar dan makan hanya sekali sehari dalam tiap minggu, tiap bulan dan tiap tahun? Bagaimana pula dengan mereka yang lapar sepanjang hidupnya?

Rasa lapar adalah soal adanya kekurangan yang harus dipenuhi agar rasa lapar menjadi hilang. Dalam konteks berpuasa, rasa lapar lapar itu harus ditahan dan dilawan. Rasa lapar itu menjadi ujian dan tantangan untuk bermati raga, menyangkal diri dan bersolidaritas dengan mereka yang lapar dan digerakkan oleh kekuatan adikodrati demi mencapai kesejatian diri di hadapan Allah.

UMAT KATOLIK BERPUASA DAN BERPANTANG


UMAT KATOLIK BERPUASA DAN BERPANTANG

Masa puasa umat Katolik berangkat dari masa puasa yang pernah dilakukan oleh Yesus selama 40 hari di padang gurun, Nabi Elia di dalam perjanjian lama dan tokoh-tokoh lainnya dalam Kitab Suci.
.
Pada tanggal 21 Februari 2007, umat Katolik memulai masa puasa atau sering disebut juga masa prapaskah. Masa puasa atau prapaskah adalah masa sebelum Paskah yaitu sebelum pengenangan kisah sengsara, wafat di salib dan kebangkitan Yesus Kristus pada hari ketiga.

Masa puasa ata prapaskah bagi umat Katolik mengandung dua wujud utama. Wujud pertama adalah mengenang peristiwa pembaptisan atau mempersiapkan para katekumen (orang yang sedang belajar tentang iman Katolik dan berniat akan menjadi Katolik). Wujud kedua adalah masa pertobatan secara intensif. Orang Katolik harus mengendalikan segala nafsu kegagingannya atau kenikmatan duniawi demi mengejar pertobatan diri.

Masa puasa dimulai pada hari Rabu Abu dan berakhir pada Kamis Putih (sebelu Jumat Agung = wafatnya Yesus Kristus). Dengan mengendalikan nafsu kedagingan seperti mengurangi makanan, minuman dan kelekatan-kelekatan diri pada hal-hal duniawi (rokok, seks dll), umat Katolik diminta banyak mengolah batin dengan berdoa, melakukan amal dan selalu mengubah diri dari habitus lama menjadi habitus baru.

Masa pantang adalah larangan keras atau wajib hukumnya untuk tidak makan daging atau berpesta pora. Masa pantang wajib dilakukan pada Rabu Abu dan setiap Jumat. Yang lebih kramat sifatnya adalah Jumat Agung. Pada hari itu umat Katolik wajib berpuasa dan berpantang demi mengenang penderitaan hingga kematian Yesus.

Tema masa puasa atau prapaskah tahun 2007 -2011 adalah usaha mewujudkan kesejatian hubungan sosial. Semoga dengan berpuasa dan berpantang, umat Katoli mampu mewujudkan hubungan yang sejati kepada sesama umat, sesama warga negara dengan berdasarkan pada hukum cinta kasih yaitu CINTA KEPADA TUHAN DAN SESAMA.Amin.
(Pormadi Simbolon, SS, mantan frater Karmelit)

KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP


KESEJATIAN PELAYANAN DAN TRANSFORMASI SIKAP

Oleh Pormadi Simbolon

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan kepada seluruh bangsa Indonesia agar melakukan tobat nasional. Salah satu butir seruan tersebut disebutkan agar bangsa Indonesia menjauhi perbuatan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan murka Allah, seperti melakukan kezaliman, kepalsuan atau kepura-puraan, kebohongan, pengrusakan kehormatan dan martabat sesama, pengrusakan keseimbangan alam, korupsi/ keserakahan, pengkhianatan hukum, pengkhianatan terhadap amanat, menelantarkan penderitaan rakyat kecil dan sebagainya, demikian diberitakan beberapa media cetak nasional.

Seruan tersebut amat relevan teristimewa bagi mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat, dan penegak hukum. Mereka mengklaim bahwa jabatan atau tugas pelayanan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Nyatanya, yang lebih meruyak ke permukaan adalah penelantaran rakyat, korupsi/ keserakahan dan pengkhianatan terhadap amanat dan hukum.

Kenyataan demikian bisa terjadi karena mereka yang mengaku bekerja untuk rakyat sebenarnya tidak mengerti dan memahami kesejatian atau kodrat mereka sebagai pelayan rakyat. Sejatinya mereka yang mengaku pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum adalah untuk pelayanan rakyat kebanyakan.

Kesejatian Pelayanan

Terjadinya jurang yang dalam antara pelaksanaan tugas pelayanan sebagai pemegang mandat (baca: amanat) rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum dengan kesejatian ketiga tugas tersebut disebabkan ketiadaan pemahaman atau kesadaran yang benar akan hakekat tugas tersebut atau mereka sebatas mengetahui tetapi tidak mengamalkannya.

Mengenai kesejatian tugas pelayanan tersebut pernah diperdebatkan oleh Sokrates dengan Thrasymachus dalam dialog Republic (yang ditulis Plato, dalam buku I). Pertanyaan awal untuk mencari hakekat atau kesejatian itu diawali dari pertanyaan apakah? Misalnya apakah keadilan? Apakah seni menggembalakan? Metode pertanyaan yang sama dapat diajukan terhadap hakekat sesuatu yang lainnya.

Bagi Thrasymachus, berdasarkan pengalamannya, keadilan adalah the advantages of stronger. Maksudnya, keadilan adalah keuntungan penguasa. Thrasymachus Menganalogikan kebenaran argumentasinya dengan menyimak art of shehperd. Menurutnya, seni gembala adalah melakukan tugas penggembalaannya untuk dan demi keuntungannya sendiri. Sokrates menguji argumentasi Thrasymachus dengan bertanya apakah seni menggembalakan itu? Apakah seni (dengan “seni” dimaksudkan kecerdasan, kecakapan, ketrampilan) itu? Sokrates menguji benarkah seni menggembalakan itu dimaksudkan untuk dirinya sendiri (sang gembala)? Baginya kodrat seni ialah untuk profesionalitas bidang yang bersangkutan. Maksudnya seorang dokter misalnya belajar dengan giat untuk bisa makin pandai dan terampil menyembuhkan penyakit sang pasien (jadi bukan untuk dirinya sendiri). Demikian juga soal seni gembala. Kecerdikan seorang gembala dimaksudkan agar domba-dombanya memperoleh keamanan, menemukan rerumputan hijau, terhindar dari serigala dan seterusnya. Jadi kodrat seni berkuasa pun lantas tidak untuk kepentingan sang penguasa. Apabila seni berkuasa untuk dirinya sendiri, jelas itu merupakan pelanggaran, kesalahan, dan pemanipulasian.

Jika kita ajukan pertanyaan yang sama misalnya apakah pemegang mandat rakyat itu? Apakah wakil rakyat itu? Dan apakah penegak hukum itu? Pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum pada kodratnya melayani rakyat banyak pertama-tama tidak untuk kepentingan diri sendiri, melainkan demi profesionalitas pelayanan yang semakin baik demi kesejahteraan umum (bonum commune).

Kenyataan di lapangan menunjukkan banyak pemegang mandat rakyat, wakil rakyat dan penegak hukum tidak melakukan tugas pelayanannya demi kepentingan umum melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompoknya sendiri.

Kesan tebar pesona, dan bukan tebar karya yang terjadi di tengah masyarakat, ketidakpekaan para wakil rakyat (PP Nomor 37 tahun 2006, November lalu rakyat dikejutkan dengan langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006 yang memperkaya anggota legislatif daerah dengan gaji puluhan juta rupiah), dan penegakan hukum secara tebang pilih yang mengejar para koruptor kecil-kecilan merupakan beberapa contoh pemanipulasian tugas pelayanan oleh sebagian pejabat negara.

Transformasi Sikap
Kesalahan para pejabat publik terjadi dalam kapasitas masing-masing, yang terlena oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu seruan tobat nasional oleh PBNU paling aktual dan relevan bagi mereka yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. Mereka semua perlu lebih dulu mengubah sikap alias transformasi sikap karena merekalah seyogiyanya yang menjadi panutan masyarakat banyak.

Kelemahan para pejabat publik, mereka tidak pernah melakukan transformasi sikap. Mereka masih saja asyik dengan cara-cara lama, padahal keadaan globalisasi sudah sepenuhnya menuntut harus berubah. Bahkan dalam demokrasi pun, mereka seringkali lebih menuntut haknya, tetapi mereka tidak pernah mau melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kodrat tugas pelayanan mereka dalam kapasitasnya masing-masing.

Transformasi sikap yang mereka lakukan sejatinya mengacu pada kodrat tugas pelayanan yang diberikan dan dipercayakan oleh rakyat kepada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apakah lembaga eksekutif itu? Apakah lembaga legislatif itu? Apakah lembaga yudikatif itu? Pertanyaan ini akan mengarah pada kodrat dan kesejatian keberadaan ketiga lembaga tersebut bila memang mereka tidak dikendalikan oleh egoisme dan kepentingan partainya. Jika mereka masih terkungkung dan terikat pada kepentingan dan keuntungan mereka sendiri, maka di situlah terjadi pelanggaran, kesalahan dan pemanipulasian mandat rakyat, kepercayaan dan aspirasi rakyat banyak sebagaimana pengujian Sokrates atas pengertian seni gembala yang dikemukakan Thrasymachus.
Persoalannya sekarang, masih terbukakah pintu hati nurani, akal budi dan mata mereka terhadap kodrat tugas pelayanan mereka? Ataukah mereka masih lebih menuntut hak daripada menunaikan kewajiban mereka terlebih dahulu? Jika masih demikian halnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju setingkat Malaysia dan Singapura sekalipun. Indonesia akan tetap menjadi terbelakang di mata internasional. Semakin mendesaklah seruan tobat dan transformasi sikap secara nasional teristimewa bagi para pejabat yang mengklaim tugasnya berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Semoga.

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang

JAKARTA BERWAJAH “PANAS”!


JAKARTA BERWAJAH “PANAS”!

Oleh: Pormadi Simbolon
Pasca lebaran 2006, banyak pemudik membawa sanak saudara, kenalan, atau sahabat untuk mencari sesuap nasi di Ibukota Jakarta. “Salah seorang sahabat pemudik dari daerah SUMUT sana pernah berkata, Panasnya Ibukota Jakarta Lae!
Jakarta memang panas! Suhu udaranya membuat orang setiap haria harus berkeringat dari pagi hingga pada sore hari. Dari berangkat ke kantor hingga pada saat pulang dari kantor. Panas terik matahari siap membakar kulit para penduduk Jakarta.
Jakarta memang “panas”! Penduduknya juga gampang ikut menjadi panas karena kotanya sednriri sudah panas. Mulai dari pedagang asongan hingga pedagang toko. Mulai dari insan-insan bis non-AC hingga bis ber-AC. Mulai dari sopir bajaj hingga sopir busway. “Kepanasan” kota Jakarta semakin menusuk dan menyengat ketika kemacetan di sana sini terjadi. Kata-kata kotor kerap kali menjadi santapan telinga setiap hari. Akhir-akhir ini kepanasan itu semakin terasa ketika pemerintah provinsi Jakarta lagi sibuk menyelesaikan proyek busway. Kemacetan pun semakin menjadi-jadi.Meskipun demikian, ibukota bak gula bagi para pendatang baru.
“Siapa suruh datang ke Jakarta!”. Slogan ini masih ada terpampang di sebuah terminal Bis tempat kedatangan dari daerah. Pernyataan ini mengingatkan bahwa kota Jakarta adalah kota yang penuh dengan kekerasan, cuaca panas, banyak penduduknya kasar, dan sebuah kota yang sangat membutuhkan kerja keras untuk mencari sesuap nasi. Itulah sebabnya kerap terdengar slogan lain yang berbunyi, tidak ada uang sama dengan mati atau maut di Jakarta.
Tidak berlebihan pula, banyak orang menyebut kota Jakarta sebagai kota yang kejam. Ibukota memang kejam, lebih kejam dari ibu tiri. Di ibukota ii, ekonomi betjalan melalui cara-cara yang kasar dan keras. Untuk mencari orang melakukan segala cara. Merampok, mencopet, dan membunuh pun terpaksa dilakukan demi mempertahankan hidup bukan hal baru di Ibukota. Penggusuran dan pengusiran para pedagang kaki lima tanpa solusi yang memuaskan sering pula menjadi tontonan mata.

Lebih jauh, Jakarta kerap dipandang menjadi tempat untuk menjadi kaya di Indonesia. Banyak cara dihalalkan. Seseorang bisa menjadi kaya bila dia kuat dan menghalalkan segala cara. Jakarta memungkinkan seseorang dengan mudah berkuasa karena uanglah syarat perdananya. Mungkin ini menjadi pelajaran yang dipetik oleh pejabat-pejabat daerah.

Di Jakarta, kebanyakan orang memandang dan menetapkan harkat dan martabat seseorang dari jumlah materi yang dimilikinya. Dengan modal uang seseorang merasa dengan gampang mendapatkan kekuasaan di bidang hidup seperti politik, sosial atau budaya. Dengan uang orang dapat menjadi ktua organisasi, pejabat pemerintah, bahkan menjadi tokoh penting dalam partai politik dalam masyarakat.

Tak jarang pula, Jakartalah yang menciptakan kepanasan di daerah. Pada masa Orde Baru, Jakartalah yang memberi ijin kepada Freeport untuk berusaha di Irian Barat alias Papua. Jakarta yang tidak memperhatikan nasib penduduk lokal mendorong Freeport ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Panas pulalah Papaua jadinya!

Sebagian media melansir, memanasnya situasi masyarakat di beberapa daerah seperti di Poso dan daerah lainnya, disebabkan oleh panasnya kepentingan politik di Jakarta. Jika pernyataan media tersebut benar berarti Jakarta memang benar-benar panas dan kejam serta menjadi penebar “panas” ke berbagai daerah.

Ketika nasib rakyat kebanyakan semakin tidak menentu dan menderita akibat kenaikan BBM, Jakartalah yang menjadi penyebabnya. Menyedihkannya, dampak kenaikan BBM itu belum juga pulih hingga sekarang. Rakyat keseluruhan masih menderita karena Jakarta.

Mutu pendidikan kita semakin menurun juga disebabkan oleh Jakarta. Panasnya kepentingan politik para pejabat di Jakarta mendorong pemaksaan praktek Ujian Nasional sebagai proyek. Proyek Jakarta tersebut jelas sekali kelihatan lebih mengutamakan makna politis daripada proses edukatif. Kebijakan Jakarta berakibat pada pemborosan anggaran negara, dan mutu pendidikan kita menjadi panas.

Memang Jakarta merupakan pusat dan barometer kemajuan bagi semua provinsi di Indonesia. Sistem, kebijakan, perilaku para insan birokrasi di Jakarta dengan cepat direkam dan dipraktekkan di daerah. Kerapkali adanya permintaan “upeti” dari pejabat di Jakarta, mendorong pejabat bawahan di lapangan harus memenuhi target setoran. Jika target setoran tidak tercapai, siap-siaplah pejabat pusat akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih mampu setor.

Jakarta memang panas. Jika hanya cuacanya saja yang panas masih bisa atasi dengan alat pendingin (AC). Namun bila orang-orang Jakarta, mulai dari rakyat biasa hingga pada tokoh-tokoh elit negara (pejabat eksekutif, legislatif dan judikatif) ikut menjadi “panas”, dengan apakah mereka didinginkan?

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta.