Obama: Mengapa saya Kristen


Obama: Mengapa Saya Kristen

Presiden AS Barack Obama duduk setelah menyampaikan pidato pada sidang Majelis Umum PBB, di New York, pekan lalu.
Rabu, 29 September 2010 | 12:26 WIB

ALBUQUERQUE, KOMPAS.com Sebuah acara yang dirancang untuk diskusi mengenai masalah perekonomian berubah menjadi acara yang membahas masalah pribadi, Selasa (28/9/2010). Hal itu terjadi ketika seorang perempuan menanyakan kepada Presiden AS Barack Obama tentang iman Kristen dan pandangannya terhadap aborsi.

Pertanyaan itu mencuat pada sebuah pertemuan bergaya balai kota di halaman sebuah rumah di Albuquerque, AS, sebagai bagian dari pendekatan publik Obama untuk menjelaskan kebijakannya dan dalam rangka kampanye Partai Demokrat untuk pemilu kongres pada November mendatang.

Setelah sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari orang Amerika yang dengan benar mengidentifikasi Obama sebagai seorang Kristen, Presiden memberikan tanggapan pribadi, sebagai orang dewasa, dalam percakapan itu. Ia juga memaparkan tentang bagaimana tugas pelayanan publiknya menjadi bagian dari praktik imannya.

“Saya seorang Kristen karena pilihan,” kata Obama memulai jawabannya, dengan tetap berdiri di bawah terik matahari, ketika ditanya mengapa ia menjadi seorang Kristen. “Saya memeluk iman Kristen belakangan, dan itu karena ajaran Yesus Kristus yang berbicara kepada saya tentang kehidupan yang ingin saya lakoni,” kata Obama seperti dikutip CNN. “Menjadi pelindung bagi saudara dan saudari saya. Memperlakukan orang lain sebagaimana mereka akan memperlakukan saya. Dan saya pikir, juga memahami itu, bahwa Yesus Kristus wafat untuk dosa-dosa saya, berbicara dengan kerendahan hati bahwa kita semua harus berlaku sebagai manusia.”

Ia melanjutkan, “Manusia penuh dosa dan makhluk tak sempurna yang membuat kesalahan dan memperoleh keselamatan melalui kasih karunia Allah.” Ia menambahkan, “Kita juga dapat melihat Tuhan pada sosok orang lain dan melakukan hal terbaik kita untuk membantu mereka menemukan kasih karunia mereka sendiri.”

“Jadi, itulah yang berusaha saya lakukan,” kata Obama. “Itu yang saya panjatkan dalam doa untuk saya lakukan setiap hari. Saya pikir tugas pelayanan publik saya adalah bagian dari upaya itu, untuk mengungkapkan iman Kristen saya.”

Pada saat yang sama, Obama menekankan keyakinannya bahwa kebebasan beragama adalah bagian dari kekuatan penting Amerika Serikat. “Ini merupakan sebuah negara yang masih didominasi Kristen, tapi kita punya orang-orang Yahudi, Muslim, Hindu, ateis, agnostik, Buddha dan lain-lain,” katanya. Ia menambahkan, “Jalan rahmat mereka (warga non-Kristen) adalah salah satu yang kita harus hargai dan hormati sebagaimana keyakinan kita sendiri, dan itulah yang menjadikan negara ini seperti apa adanya saat ini.”

Penanya yang sama juga menanyakan tentang peraturan aborsi dini dan aborsi saat usia kandungan sudah tua, yang menjadi isu politis dalam perdebatan aborsi. Obama menjawab, aborsi harus menjadi sesuatu yang “aman, legal, dan langka” di Amerika. Ia pun menambahkan bahwa keluargalah, bukan pemerintah, yang harus membuat keputusan tentang hal itu.

Pada tanggal 19 September, Obama secara terbuka menghadiri kebaktian di gereja untuk pertama kalinya dalam hampir enam bulan sejak keluarga itu bergabung dengan kebaktian pada pukul 09.00 di Gereja St John Lafayette Square, sebuah kongregasi Episkopal yang terletak sekitar satu blok dari Gedung Putih. Keluarga itu duduk beberapa baris dari altar, di antara sekitar 40 anggota jemaat.

Sebagai informasi, sebuah survei yang dilakukan pada akhir Juli dan awal Agustus oleh Pew Forum tentang Agama dan Kehidupan Publik menunjukkan, hampir satu dari lima orang Amerika percaya bahwa Obama seorang Muslim. Angka itu naik dari sekitar satu dari 10 orang Amerika yang mengatakan ia Muslim pada tahun lalu. Jumlah orang Amerika yang menyatakan ragu-ragu tentang agama sang Presiden jauh lebih besar dan terus bertumbuh, termasuk di antara basis politik Obama. Sebagai contoh, kurang dari setengah dari pendukung Demokrat dan Afrika-Amerika saat ini mengatakan, Obama seorang Kristen.

Menurut survei Pew yang dirilis bulan lalu, sebagian besar dari mereka yang berpikir Obama seorang Muslim adalah pendukung Republik. Namun, jumlah kelompok independen yang percaya dia Muslim telah berkembang secara signifikan, dari 10 persen tahun lalu menjadi 18 persen pada musim panas ini. Pada Maret 2009, 36 persen orang Afrika-Amerika mengatakan, mereka tidak tahu apa agama Obama. Sekarang, 46 persen warga Afrika-Amerika mengatakan mereka tidak tahu.
Egidius Patnistik

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2010/09/29/12263630/Obama.Mengapa.Saya.Kristen-8

Mesjid Yes, Gereja No Way


21 August 2009

Cerita ini terjadi saat saya masih menjadi dosen di sebuah PTN di Kalimantan. Suatu hari sebuah perbincangan sambil menyelesaikan suatu urusan dengan staf administrasi di kampus menyerempet ke sebuah isu sensitif.

“Hampir saja kita kecolongan, Bang”, kata staf administrasi yang berjilbab itu mengadu, setelah sekian lama tak bertemu saya karena saya lama meninggalkan tanah air untuk tugas belajar.

“Ada apa?”, tanya saya.

“Iya, beberapa waktu lalu orang-orang Kristen berniat mendirikan gereja di kampus ini. Untung kita cepat tahu, lalu bergerak mencegahnya. Alhamdulillah kita berhasil.”

“Kenapa dicegah? Kenapa dihalangi?”

“Lho, kan…..”

“Mbak, saya ini hampir 8 tahun tinggal di Jepang. Selama itu saya jadi minoritas dalam hal agama. Coba Anda bayangkan bagaimana rasanya kalau niat saya hendak membangun mesjid atau beribadah selama saya berada di Jepang dihalangi orang.”

“Mbak mengkhawatirkan kristenisasi?” tanya saya. Ia mengangguk.

“Apa iya kalau berdiri gereja di kampus ini lantas orang berbondong-bondong masuk Kristen?”.

Ia lalu terdiam, dan percakapan kami berakhir.
+++

Pola fikir staf administrasi tadi sebenarnya pernah saya anut. Waktu itu saya masih kuliah di UGM dan aktif di organisasi dakwah kampus. Saat itu di UGM belum ada mesjid, dan kami sedang bersiap untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan mesjid. Mantan Rektor, alm. Koesnadi Hardjasoemantri menjadi ketua panitia.

Saat itu kami mendengar bahwa orang-orang Kristen akan mendirikan gereka di kampus. Lokasinya tak jauh dari lahan yang hendak digunakan untuk membangun mesjid. Kami langsung bereaksi. Rencana pembangunan gereja ini harus dihentikan!

Kami, beberapa aktivis Islam di kampus melakukan berbagai lobi. Yang terutama tentu kepada Rektor. Pergilah kami menghadap Rektor, menanyakan soal rencana itu, dan tentu saja (niatnya) menekan Rektor agar membatalkan atau mencegah rencana itu kalau benar adanya.

Sambil menunggu di ruang tamu kantor Rektor, kami berbincang dengan sekretaris Rektor. Topiknya tentu soal yang sama dengan yang hendak kami adukan ke Rektor. Lucunya, belakangan baru kami tahu bahwa sekretaris Rektor tadi adalah seorang penganut agama Kristen. Ampun, deh!

+++

Pola fikir saya berubah saat saya merasakan pengalaman menjadi minoritas. Yaitu saat saya kuliah di Jepang. Saya pernah tinggal di kota kecil di bagian selatan Jepang. Jumlah orang Islam di kota itu sangat sedikit. Tak lebih dari 50 orang. Hampir semua adalah mahasiswa asing.

Karena jumlah kami kecil, kami tak mampu untuk sekedar menyewa apartemen untuk digunakan sebagai mesjid, sebagaimana dilakukan oleh muslim di berbagai kota. Kami mengandalkan kebaikan hati satu dua profesor yang mau meminjamkan ruangan di kampus untuk dijadikan mushalla.

Suatu ketika kami tak lagi diperbolehkan memakai ruangan itu. Alasan pihak kampus, ruangan itu akan dipakai untuk keperluan akademik. Lagipula Jepang adalah negara sekuler, urusan peribadatan warga tidak boleh melibatkan fasilitas milik pemerintah. Saat itu kami benar-benar kesulitan. Kami harus salat Jumat berpindah-pindah tempat. Untunglah akhirnya ada profesor yang mau membantu mencarikan ruangan untuk dijadikan mushalla.

Di kota lain di mana saya pernah tinggal juga, kami menyewa dua ruangan apartemen untuk dijadikan mushalla. Di situlah kami melaksanakan shalat Jumat serta pengajian. Bagian lain dari apartemen ini adalah tempat tinggal yang disewa oleh orang lain, orang Jepang. Kami harus berhati-hati agar aktivitas kami tidak mengganggu kenyamanan mereka.

Kami mengumpulkan dana untuk pembangunan mesjid. Belasan tahun diperlukan hingga akhirnya dana itu terkumpul. Baru 3 tahun yang lalu kota tempat saya tinggal itu memiliki mesjid. Untungnya pemerintah Jepang yang sekuler itu tidak menghalangi. Selama syarat-syarat mendirikan bangunan dipatuhi tidak ada masalah.

Semua kejadian yang saya alami di Jepang itu mengingatkan saya pada nasib minoritas, khususnya orang Kristen di Indonesia. Mereka sering kesulitan mendirikan gereja. Beribadah di ruko atau di rumah milik sendiri pun sering diganggu. Kami, muslim yang minoritas di Jepang, untungnya tidak mengalami hal itu. Alangkah indahnya kalau minoritas di negeri muslim juga tidak mengalami hal itu.

+++

Kembali ke cerita di kampus tempat saya kerja tadi. Di kampus ini ada mesjid yang cukup besar. Dulu dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Lalu, di setiap fakultas didirikan mushalla yang juga tak kecil. Tapi itu pun ternyata tak cukup. Di banyak bangunan di fakultas masih saja ada ruangan yang difungsikan sebagai mushalla. Bagi mereka yang malas untuk ke mushalla fakultas, bisa shalat di mushalla kecil ini. Yang sedikit rajin berjamaah di mushalla fakultas. Yang lebih rajin, ke mesjid.

Melihat ini semua saya merasa sesak. Keterlaluan benar orang muslim ini.

Jaman Rasulullah masih hidup, di Madinah hanya ada satu mesjid. Apa umat Islam ketika itu tidak mampu membangun lebih dari satu? Rasanya tak mungkin. Orang-orang ketika itu rela menyumbangkan apa saja untuk Islam. Mesjid hanya satu dengan tujuan persatuan. Di situlah semua orang berjamaah, bersilaturrahmi. Di satu tempat.

Kota Madinah ketika itu memang kota kecil. Saya tentu tak berharap kota sebesar Jakarta hanya punya satu mesjid. Itu tak masuk akal. Tapi saya yakin kota Madinah di jaman itu lebih besar dari area kampus saya. Kalau Madinah cukup dengan satu mesjid, kenapa kampus tidak? Kenapa kampus masih perlu ditambah dengan beberapa mushalla, plus puluhan ruangan untuk pengganti mushalla?

Dalam situasi yang sudah berlebih itu, orang Islam masih ribut ketika orang Kristen hendak mendirikan satu gereja. Hanya satu gereja saja.

Adilkah kita ini? Tidakkah kita ini berlebihan? Seingat saya tidak adil dan berlebihan adalah dua sifat yang dibenci Allah.
(Dikutip dari Budaya Nilai KWI)

FPI: Give Islam a Bad Name


FPI: Give Islam a Bad Name
—Anwar Holid

Aku jijik pada FPI (Front Pembela Islam) tapi kesulitan mencari alasan tegas kenapa aku harus punya perasaan seperti itu pada mereka. Ini seperti kalau kamu punya saudara bandel, ngejago, suka nakut-nakutin orang lain, suka malak, main kekerasan, intoleran, bahkan mungkin bertindak kriminal (karena suka main hakim sendiri, merusakkan milik orang lain secara semena-mena), tapi kamu malas menyerahkannya kepada pihak berwajib persis karena kamu ada ikatan darah dengan dia. Menurut sebuah dalil, orang seiman itu bersaudara. Meski aku bingung konteksnya apa, perasaan ini membuat kita dilematik dan menambah jengkel.

Jangankan kaum non-Muslim, banyak sesama Muslim yang jengah pada FPI. JIL (Jaringan Islam Liberal) juga KoranTempo pernah usul agar otoritas hukum Indonesia membubarkan FPI. Aku sendiri di Facebook pernah ikut grup ‘BUBARKAN FPI!’ yang anggotanya puluhan ribu orang, tapi sayang mereka inefektif, sampai akhirnya aku ke luar dari sana karena rasanya itu grup yang omdo. Aku setuju dengan Saut Situmorang yang bilang bahwa FPI itu kependekan dari Fasis Pura-pura Islam. Aku menilai bukan seperti itu jalan Islam yang patut aku tempuh. Aku memohon agar MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengharamkan FPI, meski sejak lama aku menganggap MUI juga kerap mengharamkan sesuatu yang konyol.

Perlukah Islam dibela oleh organisasi seperti FPI? Menurutku tidak. Tindakan mereka menurutku malah bikin malu agama Islam, karena justru memperlihatkan sekelompok umat Islam yang intoleran terhadap kaum lain persis di tanah terbuka bernama Indonesia, apalagi dari dulu tempat itu sudah lama terkenal sebagai tempat pertemuan yang cukup damai. Terlebih-lebih mayoritas penduduk di tempat ini beragama Islam. Bagaimana mungkin Islam bisa menjadi rahmat bagi tempat ini bila ada eksponen Islam yang suka berbuat onar terhadap perbedaan-perbedaan di dunia ini? Belum juga jadi penguasa, FPI sudah memperlihatkan mental sok kuasa dan otoriter. Terbayang betapa mengerikan bila organisasi seperti ini membesar dan benar-benar berkuasa atau berhasil menakut-nakuti semua lawan yang berseberangan pendapat maupun sikap dengan mereka. FPI betul-betul gagal memperlihatkan sifat yang wajib didahulukan oleh Islam, yaitu menjadi agama yang memberi rahmat bagi SELURUH alam.
Jangankan seluruh alam, untuk tempat secuil bernama Indonesia saja mereka sulit menghormati hukum yang berlaku ataupun iman orang lain. Jangankan pada agama-agama yang mungkin tidak serumpun, pada agama yang memiliki akar sama pada Ibrahim saja mereka sulit bekerja sama. Dari moral ini kita bisa menduga betapa pemahaman sebagian umat Islam pada agama serumpun itu rendah sekali. Sebagai umat Muslim, FPI gagal menunjukkan kasih pada orang lain. Bagi seorang muslim, ini kehilangan mengerikan. Aku pikir FPI buta mata hatinya bahwa dalam Al-Quran surat Al-Anbiya 107 memerintahkan agar seorang Muslim harus mewujudkan kasih sayang kepada seluruh alam, termasuk kepada non-Muslim. Bagaimana mungkin FPI bakal mampu memaafkan dan berdamai dengan umat beragama lain?

Bagaimana mungkin FPI bakal bisa meneladani tokoh Islam yang memberi kesempatan pada lawan untuk menjalankan ibadah sesuai imannya bila mereka merasa bahwa orang non-Muslim harus mendapat izin untuk beribadah maupun mendirikan rumah ibadah? Ini konyol. Memangnya ini tanah ini tanah mereka? Bukankah ini tanah Tuhan? Tidakkah FPI tahu bahwa tempat seperti Ka’bah saja dahulu kala diziarahi orang beragama secara bebas, bahkan oleh orang musyrik sekalipun. Pernahkah dahulu di zaman Muhammad hidup orang non-Muslim minta izin kepada dia untuk mendirikan rumah ibadah atau waktu mau melakukan ibadah? Rasanya tidak pernah. Rasanya beragama itu harus bebas-bebas saja. Jangankan menyerang, umat Islam itu bahkan dilarang menghina umat beragama lain—begitulah yang tertulis dalam Al-Quran surat Al-An’am: 108. FPI jelas sulit bersabar atas perbedaan dan terbukti telah berkali-kali gagal menyeru dan berdiskusi dengan baik pada pihak lain—padahal itu semua merupakan
sifat utama bagi umat Islam. FPI justru mewarisi sifat mental yang buruk, seperti mudah marah dan tersinggung, juga mau menang sendiri.

FPI adalah contoh organized religion yang miskin spiritualitas. Mereka memakan sendiri spiritualitasnya sampai habis dan tak menyisakannya pada umat manusia lain. Mereka hanya membagikan cara beragama yang kaku. Mereka menutup ruang kebebasan beragama dan intoleran pada agama dan umat beragama lain, padahal kebebasan beragama merupakan isu yang sangat penting dalam Islam.

Sebagai seorang Muslim aku merasa malas dan malu sekali harus mengakui punya saudara bernama FPI. Mereka memperburuk citra Islam sebagai agama yang kini tengah dianggap bermasalah dan disalahanggapi di banyak tempat. Kalau seperti itu, aku jadi lebih suka berteman dengan orang non-Muslim yang terbukti secara moral dan tindakan jauh lebih mulia, suka berbuat baik, bersedia membantu, meskipun mereka tampak sekuler. Aku enggak butuh yel-yel Allah hu akbar untuk menakut-nakuti orang lain atau melempari tempat ibadah umat beragama lain. Aku lebih suka memberi salam untuk menghormati sesama manusia.[]

Anwar Holid bekerja Anwar Holid bekerja sebagai penulis & editor. Salah satu bukunya ialah Seeking Truth Finding Islam (2009).

KWI: Gejala Intoleransi Terjadi


KWI: Gejala Intoleransi Terjadi
KOMPAS.com/Caroline Damanik
Lahan kosong yang biasa digunakan jemaat HKBP Ciketing untuk beribadah dihiasi sejumlah spanduk penolakan, Senin(13/9/2010).
Senin, 13 September 2010 | 18:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI Romo Benny Susetyo menegaskan, kasus tindak kekerasan yang menimpa dua pemuka Gereja HKBP Pondok Timur Indah, Mustika Jaya, Kota Bekasi, Minggu (12/9/2010), bukan tindak kriminal biasa seperti yang diutarakan Kepala Polda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo.

“Ada persoalan mendasar, yaitu gejala intoleransi yang terjadi di masyarakat,” kata Romo Benny kepada para wartawan, Senin (13/9/2010) di Kementerian Agama, Jakarta.

Pasalnya, tindak kekerasan yang terjadi di Bekasi ini bukanlah yang pertama kali. Persoalan tindak kekerasan terhadap Hasian Sihombing dan Pendeta Luspida Simanjuntak, kedua pemuka Gereja HKBP tersebut, juga bukan persoalan mayoritas-minoritas.

“Mayoritas-minoritas adalah istilah politik. Mayoritas itu digunakan bagi kelompok pemenang pemilu, bukan kelompok umat beragama,” sambung Romo Benny.

Terkait tindak kekerasan ini, kata Romo Benny, KWI mendorong pihak kepolisian untuk segera bertindak tegas.

“Polisi akan lebih memiliki arti saat berani menegakkan hukum. Polisi tidak usah banyak komentar, tapi harus bertindak. Hukum harus ditegakkan. Kalau polisi tidak menghentikan kekerasan maka kekerasan akan menimbulkan lingkaran kekerasan, dan kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Lingkaran kekerasan ini harus diputuskan melalui penegakan hukum,” tegas Romo Benny.

Di samping itu, rohaniwan Katolik ini juga meminta semua umat Nasrani yang ada di Indonesia untuk tidak terprovokasi akibat adanya tindak kekerasan ini.

Terlebih, Romo Benny mengatakan, ada isu yang beredar di kalangan umat Nasrani bahwa kedua korban tersebut meninggal dunia. “Tidak ada isu kematian. Keduanya saat ini dalam keadaan stabil. Mari kita tetap menjaga keutuhan republik ini,” katanya.
Hindra Liu

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2010/09/13/18000644/KWI:.Gejala.Intoleransi.Terjadi

Warga Keberatan Iringan Jemaat HKBP


Warga Keberatan Iringan Jemaat HKBP

Warga berharap jemaat HKBP datang langsung ke tempat ibadah yang diizinkan pemerintah.

(14/9/2010) Kongres Umat Islam Bekasi, siap membantu kepolisian untuk menyelesaikan persoalan antara warga dengan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi.

“Ormas Islam Bekasi siap bantu polisi mencari pelakunya,” ujar Sekretaris Kongres Umat Islam Bekasi, Shalih Mangara, Selasa 14 September 2010.

Menurutnya, konflik mulai terjadi setelah ada penyegelan Gereja Hurian Kristen Batak Protestan (HKBP) oleh Pemerintah Kota Bekasi, pada 21 Juni 2010 lalu.

Sejak itu, Jemaat memindahkan kegiatan keagamaan di kawasan Kampung Ciketing Asem, Mustika Jaya, Bekasi. Sebelum melakukan ibadah, jemaat HKBP biasanya berkumpul di rumah salah seorang jemaat di Jalan Puyuh Raya 14, Perumahan Pondok Timur, Bekasi.

“Jemaat HKBP juga harus tetap tenang dan instropeksi atas kejadian ini,” ujar Shalih, Selasa 14 September 2010.

Karena menurut sejumlah warga, perjalanan jemaat dari rumah di Jalan Puyuh menuju Kampung Ciketing, yang dilakukan dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer melewati rumah warga dianggap mengganggu. Aksi jalan kaki itu sebagai protes atas penyegelan gereja yang berlangsung setiap akan beribadah.

Sejak lama warga berharap jemaat HKBP datang langsung ke tempat ibadah yang diizinkan pemerintah, tanpa harus melakukan aksi jalan kaki.

Sementara itu, pasca penyerangan yang berujung dengan penusukan, kondisi di rumah yang selalu dijadikan tempat berkumpul jemaat HKBP di Jalan Puyuh Raya, terlihat sepi.

Selain tidak terlihat ada penghuninya, pasca kejadian itu, pintu di rumah itu dalam keadaan terkunci dan digembok mulai dari pagar hingga pintu masuk.

Sebelumnya, Kepala Humas Polda Meto Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar yakin pihaknya akan segera menangkap pelaku penusukan tersebut.

Dari hasil pemeriksaan 10 saksi, penyidik telah mengantongi identitas pelakunya. Tapi apakah pelaku merupakan anggota ormas, Boy Rafli enggan menjawab. (vivanews)