Sikap intoleransi disertai aksi kekerasan di Daerah Istimewa Yogyakarta dinilai sudah dalam tahap darurat. Dalam tiga hari terakhir, dua aksi intoleransi terjadi di kota yang menjunjung tinggi pluralitas itu. Terakhir, Minggu (1/6) siang, di Kabupaten Sleman, puluhan orang merusak sebuah bangunan yang biasa dipakai umat Kristen untuk beribadah.
Bangunan yang dirusak itu milik pendeta berinisial NL. Bangunan yang bersebelahan dengan rumah NL itu terletak di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman.
Penyerangan bermula saat NL bersama sejumlah anggota jemaatnya menggelar kebaktian di bangunan itu sekitar pukul 08.30. Karena tidak suka, puluhan warga Pangukan melancarkan aksi protes. ”Sekitar pukul 09.30, jemaat yang melakukan kebaktian akhirnya pulang. Warga pun bubar dan tidak ada insiden,” kata Darojat (34), saksi mata yang juga warga Pangukan.
Namun, sekitar pukul 11.30, puluhan orang dari luar Dusun Pangukan yang menggunakan penutup kepala mendatangi lokasi itu. Mereka langsung melemparkan batu ke bangunan. Serangan itu tak berlangsung lama. Saat azan dzuhur berkumandang, massa pun membubarkan diri.
Selang sejam kemudian, massa datang lagi. Selain melemparkan batu, mereka juga memecahkan kaca dan pintu bangunan. Puluhan polisi dan anggota TNI yang bersiaga di lokasi tak melakukan tindakan represif dan hanya berupaya meredam amukan massa.
Bupati Sleman Sri Purnomo mengatakan, bangunan milik NL itu sebenarnya bukan tempat ibadah. Jadi, seharusnya tak ada aktivitas ibadah di sana. ”Kami akan menggelar musyawarah dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) untuk menyelesaikan masalah ini,” kata dia.
Kepala Kepolisian Resor Sleman Ajun Komisaris Besar Ihsan Amin menegaskan, penyelesaian masalah itu diutamakan melalui musyawarah di FKUB. Penyelesaian seperti itu lebih efektif dalam meredam konflik semacam itu. ”Namun, kalau misalnya ada laporan soal perusakan, kami akan tindak lanjuti,” tutur dia.
Kabid Humas Polda DIY Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti menyatakan, masalah itu sudah diselesaikan melalui musyawarah antara warga dan pendeta NL. Karena itu, hingga Minggu sore, polisi belum menangkap pelaku perusakan.
Sebelumnya, Kamis (29/5) malam, rumah Julius Felicianus (54) di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, diserang puluhan orang. Penyerangan yang dilakukan saat beberapa umat Katolik berdoa bersama di rumah itu membuat sedikitnya lima orang terluka. Hingga Minggu sore, Polri baru menangkap satu tersangka.
Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menilai, kekerasan yang berulang itu menunjukkan sikap intoleransi di Yogyakarta sudah dalam kondisi darurat. Polisi harus menegakkan hukum, sementara Pemprov DIY harus menggelar dialog dengan tokoh agama agar sikap intoleransi tak menyebar. ”Walau saat ini baru melibatkan kelompok-kelompok kecil, ini tak boleh dianggap enteng. Ketegangan itu akan mengganggu kenyamanan dan rasa saling percaya warga,” kata Arie.
Terasa ironis
Koordinator Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta (Makaryo) Benny Susanto menegaskan, aksi kekerasan itu terasa ironis karena terjadi tak lama setelah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X menerima penghargaan dari Jaringan Antariman Indonesia sebagai kepala daerah yang peduli pada kebebasan beragama. Penghargaan diterima Sultan pada 23 Mei 2014 di Kabupaten Jayapura, Papua.
Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama Wawan Gunawan, di Bandung, mendesak negara memerangi aksi yang mengancam keberagaman di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas dan cepat harus menjadi prioritas. ”Yogyakarta adalah daerah pertaruhan. Daerah yang selama ini damai itu seperti digunakan kelompok radikal sebagai ajang eksistensi diri. Itu jelas alarm berbahaya bagi keberagaman kita,” ujarnya.
Wawan menegaskan, akar keberagaman di DIY sejatinya kuat. Yogyakarta memiliki gubernur dan Sultan yang selama ini jadi pelindung bagi keberagaman budaya dan adat istiadat. Namun, tiga hari terakhir, keunggulan itu diuji. Jika dibiarkan terlalu lama, dikhawatirkan akan memudahkan kelompok radikal menyusun rencana yang lebih berbahaya.
Kemarin, Julius Felicianus dikunjungi adik kandung Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Hashim datang bersama pengurus Gerindra dan Ahmad Dhani. ”Saya tak ingin peristiwa ini dipolitisasi dan jadi kian keruh karena menjelang pilpres, peristiwa seperti ini rentan dikait-kaitkan dengan politik,” ujar Julius. Kunjungan itu sekitar 10 menit. Setelah Hasyim pergi, istri Julius mengungkapkan, kelompok intoleran masih mendatangi rumah mereka keesokan hari setelah peristiwa penyerangan itu. (HRS/CHE/MH)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006966305
Filed under: agama, anarkisme, berita, Islam/ Moslem, kerukunan umat beragama, Menteri Agama, pemilu 2014 | Tagged: doa rosario dibubarkan, intoleransi agama, Julius Felicianus, kekerasan bernuansa agama | Leave a comment »