SERUAN PASTORAL KWI MENYAMBUT PILKADA SERENTAK 2017: PILKADA Bermartabat


SERUAN PASTORAL KWI MENYAMBUT PILKADA SERENTAK 2017

PILKADA YANG BERMARTABAT
SEBAGAI PERWUJUDAN KEBAIKAN BERSAMA

Saudara-saudari yang terkasih.

Bangsa kita akan menyelenggarakan Pilkada serentak untuk kedua kalinya. Jumlah daerah yang akan melaksanakan Pilkada adalah 7 (tujuh) provinsi, 18 (delapan belas) kota, dan 76 (tujuh puluh enam) Kabupaten yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tahapan penting yang harus kita ketahui adalah masa kampanye tanggal 26 Oktober – 11 Februari 2017, masa tenang tanggal 12-14 Februari. Waktu pemungutan dan penghitungan suara dilaksanakan tanggal 15 Februari. Masa rekapitulasi suara adalah tanggal 16-27 Februari dan saat penetapan calon terpilih tanpa sengketa adalah 8-10 Maret.

Melalui Pilkada kita memilih pemimpin daerah yang akan menduduki jabatan hingga lima tahun ke depan. Marilah kita jadikan Pilkada sebagai sarana dan kesempatan untuk memperkokoh bangunan demokrasi dan upaya nyata mewujudkan kebaikan bersama. Sikap ini dianjurkan oleh ajaran Gereja: “Hendaknya semua warga negara menyadari hak maupun kewajibannya untuk secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum” (Gaudium et Spes 75). Oleh karena itu, kita harus berpartisipasi dalam Pilkada dengan penuh tanggungjawab berpegang pada nilai-nilai kristiani dan suara hati.

Saudara-saudari yang terkasih,

Selain berharap, kita juga terpanggil untuk ikut bertanggungjawab agar Pilkada berjalan dengan bermartabat dan berkualitas. Sebagai bentuk dukungan dan partisipasi yang optimal terhadap Pilkada, kita perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Ikutlah mengawal proses Pilkada.

Bersama warga masyarakat kita mengawal Pilkada agar berjalan dengan damai dan sesuai dengan amanat undang-undang. Hal penting dalam proses Pilkada yang perlu dikawal adalah tersedianya fasilitas yang memadai bagi berlangsungnya hubungan pengenalan secara timbal balik antara calon dengan pemilih dan kepastian bagi setiap warga negara untuk menggunakan hak memilih secara Luber (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan Jurdil (Jujur, Adil).

Proses Pilkada yang damai menjadi syarat penting yang harus dikawal semua pihak. Jangan sampai terjadi kekerasan dalam bentuk apapun, baik secara terbuka maupun terselubung. Apabila kekerasan terjadi, damai dan rasa aman tidak akan mudah dipulih-kan. Kita perlu waspada terhadap berbagai upaya untuk memecah belah dalam proses Pilkada. Kedamaian dan persatuan tidak boleh dikorbankan demi target politik tertentu dalam Pilkada.

Mengantisipasi munculnya masalah dan ancaman.

Hal-hal yang berpotensi menimbulkan masalah dan harus diantisipasi adalah: pertama, siasat politik yang tidak sehat atau menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Kedua, kemampuan dan integritas penyelenggara Pilkada (KPU dan PANWASLU).

Proses Pemilu terdahulu memberi bukti ada penyelenggara Pemilu yang tersangkut masalah dan membuat masalah karena tidak netral bahkan ikut memanipulasi suara. Pelanggaran yang berpotensi menimbulkan masalah harus diantisipasi bersama dan harus ada penegakkan hukum yang adil dan efektif untuk memberi jaminan terselenggaranya Pilkada yang berkualitas dan bermartabat.

Apabila Pilkada telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan undang-undang, hendaknya kita rela menerima hasilnya dan siap memberikan dukungan untuk menjadi pemimpin bagi seluruh warga masyarakat. Segala perbedaan pendapat dan pilihan politik, hendaknya berhenti saat kepala daerah hasil Pilkada dilantik.

Pilihlah dengan cerdas dan bertanggungjawab.

Gereja hendaknya mendorong umat untuk menggunakan hak dengan berpartisipasi dalam Pilkada dan memastikan tidak membawa lembaga Gereja masuk ke dalam politik praktis. Setiap warga negara yang telah memiliki hak suara harus ikut terlibat menentukan dan memilih siapa yang akan menjadi pemimpin daerah melalui mekanisme yang telah ditentukan oleh peraturan dan undang-undang yang berlaku.

Ikut memilih dalam Pilkada merupakan hak dan panggilan sebagai warga negara. Dengan ikut memi-lih berarti kita ambil bagian dalam menentukan arah perjalanan dan kelangsungan kehidupan daerahnya. Oleh karena itu, penting disadari bahwa pemilih tidak saja memberikan suara, me-lainkan menentukan pilihan dengan cerdas, bertanggungjawab, dan sesuai dengan suara hati. Kita yang punya hak suara janganlah Golput!

Pahamilah kriteria pilihan dan kiat dalam memilih dengan tepat.

Para calon pemimpin daerah yang akan kita pilih harus dipastikan orang bijak, yang menghayati nilai-nilai agamanya dengan baik dan benar,  peduli terhadap sesama, berpihak kepada rakyat kecil, cinta damai dan  anti kekerasan serta peduli pada pelestarian lingkungan hidup. Calon pemimpin daerah yang jelas-jelas berwawasan sempit, cenderung mementingkan kelompok, terindikasi bermental  koruptif dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan jangan dipilih.

Hati-hatilah supaya kita tidak terjebak dan ikut dalam politik uang yang dilakukan calon untuk mendapatkan dukungan suara. Penting untuk kita ingat bahwa politik uang bertentangan dengan ajaran Kristiani dan merusak asas-asas demokrasi.

Berdoalah untuk pelaksanaan Pilkada.

Marilah kita mengiringi proses pelaksanaan Pilkada dengan doa. Kita memohon berkat Tuhan agar Pilkada berlangsung dengan damai dan menghasilkan pemimpin daerah yang berintegritas serta mau berjuang keras memperhatikan rakyat demi terwujudnya kesejahteraan umum.

Jakarta, 10 November 2016

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA

Mgr. Ignatius Suharyo        Mgr. Antonius S. Bunjamin, OSC

Ketua                                   Sekretaris Jenderal

Seruan Pastoral KWI: Stop Korupsi


SERUAN PASTORAL KWI 2016

STOP KORUPSI:

Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif

 

Segenap Umat Katolik terkasih,

SIDANG KWI 2016 yang diawali dengan Hari Studi para Uskup yang juga diikuti oleh peserta Sidang KWI (31 Oktober – 2 November 2016) mengambil topik “Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif”. Hari studi ini digunakan oleh para Uskup untuk mendengarkan kesaksian para penggerak anti korupsi serta berbagai langkah pencegahan yang mereka lakukan. Bahan dari berbagai narasumber itu didalami melalui diskusi-diskusi bersama untuk menemukan benang merah dari persoalan korupsi. Perilaku koruptif telah begitu merusak dan menggerogoti kehidupan masyarakat, terjadi di mana-mana, baik di dunia bisnis, pemerintahan, lembaga negara, bahkan di institusi agama, termasuk Gereja. Korupsi dalam segala bentuknya telah menjadi kejahatan yang sistemik, terstruktur, dinamis, dan meluas dari pusat sampai ke daerah.

Melalui media massa, setiap hari kita saksikan persoalan korupsi diangkat ke permukaan, pelakunya ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman. Sangat memprihatinkan karena banyak dari mereka yang dihukum adalah pejabat negara dan tokoh masyarakat. Usaha pemberantasan korupsi bagaikan mengurai benang kusut, saling terkait, bahkan membentuk tali-temali yang tidak jelas ujungnya. Pemidanaan dan pemiskinan para koruptor tidak mengurangi perilaku koruptif. Hari ini satu orang ditangkap, hari berikutnya muncul orang lain melakukan korupsi yang sama, bahkan lebih dahsyat, di tempat yang berbeda, seakan korupsi memang tidak akan ada habisnya.

Saudara-saudari terkasih,

Dorongan berperilaku koruptif bisa muncul dari dalam diri tiap individu maupun masyarakat di sekeliling kita. Dorongan dari dalam diri sendiri bisa disebabkan karena gaya hidup yang tidak seimbang dengan penghasilan, yaitu manakala gaji atau penghasilan tidak cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan hidup. Penyebab lainnya adalah sifat tamak (serakah, rakus) yang membuat seseorang selalu tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki. Di samping itu, sikap moral kurang kuat dan iman lemah sehingga orang mudah tergoda untuk melakukan korupsi.

Dorongan yang berasal dari luar (masyarakat) disebabkan oleh lunturnya nilai-nilai luhur budaya jujur, terjadinya pembenaran atas perilaku koruptif, serta lemah dan kurang berfungsinya penegakan hukum. Apalagi kalau ditambah faktor budaya setempat, yang sejatinya luhur tetapi pemahamannya dibelokkan secara tidak tepat, seperti sungkan, gotong-royong, solidaritas, dan kekeluargaan. Perilaku koruptif yang disebabkan oleh adanya dorongan-dorongan tadi akan bermuara pada korupsi, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama, yang ingin mengambil keuntungan secara tidak adil.

Perilaku koruptif meniadakan keadilan yang sejati. Alam, bumi dan segala isinya, diciptakan dan dianugerahkan Tuhan bagi semua orang. Bukan untuk diperebutkan, di mana yang kuat memperoleh banyak, yang lemah mendapat sedikit, bahkan mungkin tidak mendapat sama sekali. Bukan juga untuk kepentingan salah satu golongan, melainkan demi harkat kemanusiaan, martabat, keselamatan dan kesejahteraan bangsa kita. “Nepotisme, korupsi, dan pemerasan tidak boleh kita biarkan, apalagi kalau didorong oleh keserakahan, atau didukung oleh suatu jabatan dan kekuatan politik“ (Surat Gembala Prapaskah KWI 1993). “Korupsi membuat banyak orang semakin tidak tahu malu dalam memanfaatkan jabatan, kedudukan, dan kesempatan untuk memperkaya diri, keluarga, sanak-saudara, teman dekat, atau kelompoknya sendiri“ (Surat Gembala Prapaskah KWI 1997).

Saudara-saudari terkasih,

Kami Para Uskup menyerukan perubahan mental untuk mencegah perilaku koruptif, baik dalam diri  sendiri maupun di lingkungan masing-masing: jujur dalam tindakan, tidak menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau golongan, dan tidak melayani orang-orang yang mengajak kita untuk berbuat korupsi (lih. Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia, Desember 1970). Di samping itu, iman harus kita kuatkan, gaya hidup kita perhatikan, dan kepekaan terhadap kebutuhan sesama harus kita tingkatkan hingga kita takut akan Tuhan, malu pada sesama, dan merasa bersalah pada masyarakat seandainya melakukan korupsi.

Kami para Uskup menyadari betapa perilaku koruptif juga menjangkiti sendi-sendi kehidupan menggereja. Pola korupsi yang ada dalam lingkungan Gereja biasanya mengikuti pola korupsi yang ada di lembaga-lembaga lain, misalnya penggunaan anggaran yang tidak jelas, penggelembungan anggaran saat membuat proposal kepanitiaan, menggunakan bon pengeluaran fiktif, meminta komisi atas pembelian barang, dan pengeluaran biaya yang dipas-paskan dengan anggaran pendapatan.

Umat Katolik harus berani berubah: Stop korupsi!

Korupsi adalah kejahatan yang merusak martabat manusia. Sulit diberantas karena sudah sedemikian mengguritanya. Pemberantasannya harus dilakukan melalui gerakan bersama dalam sebuah sistem yang transparan, akuntabel, dan kredibel. Tumbuhkan kepekaan dan kepedulian individu terhadap masalah-masalah korupsi. Berkatalah tegas dan jelas: “Stop korupsi!“  Libatkan diri dalam pemberantasan korupsi, mulai dari diri sendiri untuk tidak korupsi. Jangan memberikan uang suap untuk mengurus apa pun, tempuhlah cara yang baik dan benar.  Jangan meminta upah melebihi apa yang seharusnya diterima sebagai balas jasa atas pekerjaan yang kita lakukan. “Jangan merampas, jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu (Luk 3:14)”.

Jangan biarkan diri kita dibujuk oleh roh jahat yang menampilkan dirinya sebagai malaikat penolong bagi hidup kita (bdk. Surat KWI “Marilah Terlibat dalam Menata Hidup Bangsa, 12 Nov 2010). Cermati perilaku koruptif dengan hati jernih agar kita tidak mudah goyah oleh bujukan roh jahat. Sebagai orang beriman, sekaligus sebagai warga negara sejati, kita harus berani menghapus dan menghentikan korupsi sekarang juga.

Stop korupsi mulai dari diri kita sendiri, keluarga, lingkungan kerja, lalu kita tularkan kepada masyarakat di sekeliling kita. Jadikan sikap dan gerakan anti korupsi sebagai habitus baru dalam kehidupan sehari-hari. Allah yang menciptakan alam semesta begitu baik dan sempurna, menugaskan kita untuk menjaganya agar tetap baik dan sempurna, tentu akan memberi kekuatan kepada kita saat secara nyata mewujudkan hidup yang baik dan sempurna tanpa korupsi.

Berkat Allah selalu menyertai kita semua.

 

Jakarta, 10 November 2016

KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA

Mgr. Ignatius Suharyo                     Mgr. Antonius S. Bunjamin, OSC

Ketua                                                  Sekretaris Jenderal

 

Tema Natal Nasional 2015: “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah”


Ilustrasi: logo PGI dan KWI

Ilustrasi: logo PGI dan KWI

Tahun ini Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menetapkan bersama bahwa tema Natal pada tahun 2015 ini adalah “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” (Kejadian 9:16).

Menurut Pendeta Gomar Gultom, seperti dikutip dari pgi.or.id, Sekretaris Umum PGI mengatakan, “Tema tersebut hendak mengajak kita lebih inklusif. Kelahiran di kandang Betlehem mengindikasikan bukan hanya komunitas manusia yang ada di sana, tapi juga hewan”.

Lanjutnya, “Peristiwa Natal mengingatkan kita kembali untuk ‘hidup sebagai keluarga Allah’. Lebih lanjut, menurut Gomar Gultom, Pesan Natal Bersama 2015 akan dirumuskan oleh PGI dan KWI pada pertengahan November 2015.

Menurut informasi yang beredar, Perayaan Natal Bersama Umat Kristiani Tingkat Nasional direncanakan di Manado pada tanggal 5 Desember. Namun tanggal tersebut masih dibahas, mengingat pada tanggal tersebut, umat Katolik masih dalam masa Advent (penantian kedatangan Yesus Kristus), belum bisa menghayati misteri Natal secara penuh. Harapan umat Katolik, sebagaimana Surat KWI menanggapi beredarnya informasi penetapan Perayaan Natal Nasional pada tanggal 5 Desember, Perayaan Natal Nasional dilaksanakan sesudah tanggal 25 Desember. Perayaan Natal Nasional biasanya dilaksanakan tanggal 27 Desember. Tahun ini, tanggal 27 Desember jatuh pada hari Minggu, maka Natal Nasional diharapkan bisa dimajukan menjadi 26 Desember atau 28 Desember. (Pormadi/pgi.or.id/berbagai sumber)

MUSDAH MULIA: Diam Itu Berbahaya


SELESAI acara Misa Syukur 70 Tahun Michael Utama Purnama di Aula Yustinus Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Jalan Sudirman, Musdah Mulia (56) tampil menyampaikan testimoni, Minggu (8/6).

”Diam itu berbahaya. Orang baik harus banyak bicara sebab diam saja itu dianggap setuju dengan keadaan karut-marut,” katanya di depan hadirin yang memenuhi aula.

HS Dillon, Sudhamek AWS, dan Pendeta SAE Nababan yang mengikuti perayaan sejak awal sampai akhir tepekur. Harapan hadirin menunggu komentar lebih jauh terkait Pemilu Presiden 2014 tidak terpenuhi. Musdah, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace itu, menghindar. Pluralitas dan pluralisme adalah jati diri Indonesia, katanya. ”Para pendiri negeri ini sejak awal sudah mencita-citakan suatu negara yang demokratis didasarkan atas realitas kemajemukan.”

Suara hatinya tidak bisa menerima tindakan kekerasan yang terjadi di Sleman, Yogyakarta. ”Harus bicara. Diam itu berbahaya,” ujarnya lagi, lebih bersemangat. Cara bicara macam-macam. Hal itu seperti dilakukan Michael Utama yang hari itu genap 70 tahun. Bagi Musdah, sosok Michael Utama merupakan aktivis penggalang gerakan pluralisme.

Aktivitas Michael Utama sebagai penggerak pluralitas rupanya lebih menonjol dibandingkan ketokohannya sebagai filantrop, pendidik, dan pebisnis. (STS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007128059

PTUN Batalkan Izin Pendirian Gereja St Stanilaus (Kostka Kranggan, Kota Bekasi)


Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung  membatalkan surat keputusan Walikota Bekasi tentang izin mendirikan bangunan Gereja Katolik St Stanislaus Kostka Kranggan, Kota Bekasi. Majelis mengabulkan seluruh gugatan belasan warga Kranggan Pasar, Kecamatan Jatisampurna dalam sidang, Kamis 20 Maret 2014.
“Membatalkan surat izin pelaksanaan pembangunan Gereja St Stanislaus Kostka Kranggan. Agar tergugat mencabut surat izin pelaksanaan pembangunan Gereja St Stanislaus Kostka,”ujar Ketua Majelis Edi Firmasnyah.  Majelis juga  menolak eksepsi tergugat Walikota Bekasi dan tergugat intervensi pihak Gereja.
Dalam amar putusan, Majelis menyatakan bahwa terdapat dukungan warga berupa pemberian tanda tangan persetujuan atas pendirian gereja tanpa paksaan. “Dukungan tersebut pun sudah diverifikasi tanpa iming-iming duit,”kata Hakim Anggota Alan Bashir.
Majelis juga menilai pihak Gereja dianggap melakuan tindakan tidak patut karena meminta persetujuan secara tidak terbuka dengan mendatangi rumah warga satu per satu. Sosialisasi, kata Alan, harus secara terbuka bukannya dengan cara sembunyi-sembunyi. Majelis juga menilai pemerintah tidak memfasilitasi sosialisasi pendirian gereja. Hal itu memicu disharmoni.
“Karena itu pemerintah (Kota Bekasi) telah melanggar asas-asas pemerintahan yang baik dalam menerbitkan izin pendirian Gereja St Stanislaus sehingga cacat hukum. Dan oleh karenanya gugatan para penggugat harus dikabulkan,”ujar Alan.
Sebelum memvonis, Majelis juga sempat membacakan perbedaan pendapat diantara hakim. Hakim Anggota II Nelvi Christin berbeda pendapat dengan Hakim Edi dan Hakim Alan. Nelvi menilai prosedur perizinan pembangunan Gereja Stanislaus sejatinya sudah sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah.
Panitia Pembangunan Gereja misalnya, kata Nelvi, telah meminta dukungan minimal 90 jemaat dan minimal 60 warga setempat. Dukungan tersebut, kata dia, sudah diverifikasi tanpa ada yang keberatan. Kalaupun setelah verifikasi kesepakatan terjadi pencabutan dukungan, maka itu tak bisa dilakukan secara sepihak.
“Prosedur sudah sah dilakukan sesuai aturan berlaku. Dengan demikian telah penerbitan izin pembangunan Gereja St Stanislaus sudah memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik. Maka gugatan penggugat harus ditolak,”ujar Nelvi. Kalaupun masih ada yang keberatan maka pemerintah harus mengupayakan cara untuk menjaga keharmonisan.
Putusan Majelis tak ayal membuat para jemaat Gereja Stanislaus yang duduk di salah satu lajur kursi pengunjung tercenung. Sebaliknya sejumlah warga kontra dan perwakilan Ormas yang hadir di ruang sidang langsung bersuka cita dan bertakbir. Para warga berjubah putih ini lantas mengabarkan putusan Majelis kepada rekan mereka yang sejak pagi berdemo di luar Gedung Pengadilan.
ERICK P. HARDI

Sumber:
http://id.berita.yahoo.com/ptun-batalkan-izin-pendirian-gereja-st-stanilaus-113106151.html