MUSDAH MULIA: Diam Itu Berbahaya


SELESAI acara Misa Syukur 70 Tahun Michael Utama Purnama di Aula Yustinus Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Jalan Sudirman, Musdah Mulia (56) tampil menyampaikan testimoni, Minggu (8/6).

”Diam itu berbahaya. Orang baik harus banyak bicara sebab diam saja itu dianggap setuju dengan keadaan karut-marut,” katanya di depan hadirin yang memenuhi aula.

HS Dillon, Sudhamek AWS, dan Pendeta SAE Nababan yang mengikuti perayaan sejak awal sampai akhir tepekur. Harapan hadirin menunggu komentar lebih jauh terkait Pemilu Presiden 2014 tidak terpenuhi. Musdah, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace itu, menghindar. Pluralitas dan pluralisme adalah jati diri Indonesia, katanya. ”Para pendiri negeri ini sejak awal sudah mencita-citakan suatu negara yang demokratis didasarkan atas realitas kemajemukan.”

Suara hatinya tidak bisa menerima tindakan kekerasan yang terjadi di Sleman, Yogyakarta. ”Harus bicara. Diam itu berbahaya,” ujarnya lagi, lebih bersemangat. Cara bicara macam-macam. Hal itu seperti dilakukan Michael Utama yang hari itu genap 70 tahun. Bagi Musdah, sosok Michael Utama merupakan aktivis penggalang gerakan pluralisme.

Aktivitas Michael Utama sebagai penggerak pluralitas rupanya lebih menonjol dibandingkan ketokohannya sebagai filantrop, pendidik, dan pebisnis. (STS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007128059

Agama Salah Dipahami


Aksi terorisme di kalangan umat Islam tumbuh akibat pemahaman yang salah terhadap hakikat ajaran Al Quran dan Hadis. Untuk itu, para tokoh agama diharapkan lebih getol lagi mengampanyekan nilai keislaman yang menekankan perdamaian, dialog, dan kehidupan harmonis.

Gagasan itu mengemuka dalam pembukaan ”International Conference on Islam, Civilization, and Peace” di Jakarta, Selasa (23/4). Hadir memberikan sambutan Menteri Agama Suryadharma Ali serta mantan Menteri Wakaf dan Urusan Keislaman Kerajaan Jordania Abdul Salam Al Abbadi. Pembicara dalam acara tersebut antara lain Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, dan pakar perbandingan agama dari Al-Albayt University Jordania, Amir al-Hafi.

Menurut Suryadharma Ali, ajaran Islam masih sering disalahartikan sehingga menciptakan citra kekerasan. Padahal, Islam sangat mementingkan perdamaian, persaudaraan, dan kehidupan yang harmonis di antara agama, kelompok, dan suku yang berbeda. Semangat itu tecermin dalam kerukunan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim.

Indonesia terdiri dari 17.000 pulau, sekitar 1.200 suku, 720 bahasa daerah, dan sejumlah agama. ”Namun, dengan kemajemukan itu, kita bisa bertahan sebagai bangsa. Ini bukti sekaligus bahan studi perdamaian untuk dunia,” kata Suryadharma Ali.

Abdul Salam Al Abbadi juga mengungkapkan, Islam adalah agama perdamaian, cinta kerukunan, dan kebersamaan. Itu pesan yang jelas dari Al Quran dan Hadis, serta dapat dikaji secara ilmiah dalam pengalaman Nabi Muhammad saat membangun Mekkah dan Madinah. Namun, belakangan muncul kelompok yang menyimpangkan ajaran Islam untuk tujuan kekerasan dan terorisme atas nama agama.

”Kelompok teroris itu tidak tahu hakikat agama yang mengajarkan perdamaian dan keadilan. Dalam bergaul dengan umat beragama lain, kita harus berbuat baik kepada orang-orang yang tidak melukai umat Islam. Bahkan, Nabi menerima delegasi dari kelompok Nasrani di Masjid Nabawi,” katanya.

Etika hidup bersama

Komaruddin Hidayat menjelaskan, keimanan seseorang pada dasarnya merupakan urusan pribadi penganut agama. Ketika kegiatan keagamaan memasuki wilayah publik, diperlukan etika hidup bersama yang melampaui batas agama-agama. Hal itu mencakup penghargaan kepada sesama manusia, toleransi, dan menjaga ruang publik sebagai milik bersama.

Dalam kesempatan itu, Amir al-Hafi menekankan pentingnya membangun dialog di antara semua umat beragama. Hal itu menjadi sarana untuk belajar, saling memahami, dan saling menghargai. Setiap agama pada dasarnya mengusung satu kalimat yang sama, yaitu membangun kebaikan untuk publik.

Perasaan sebagai sesama manusia yang sederajat dan saling menghormati diperlukan untuk membangun dunia. Daripada terus mencari perbedaan dan ketegangan, lebih baik kita mencari titik temu yang membuat kita bisa hidup berdampingan dengan semua kelompok secara damai. Sumber: Kompas cetak, 24 April 2013)

Pernyataan Sikap: Negara Sebaiknya Bersikap Adil dan Netral


Dibawah ini adalah pernyataan sikap yang telah dibacakan oleh Ibu Shinta Nuriyah dalam acara Halal bi Halal Lintas Iman Menuju Indonesia tanpa Kekerasan, yang diselenggarakan pada hari Jum’at 9 Nopember 2007 pk. 20.00 di Univ. Paramadina Jl. Gatot Subroto Jakarta. Kegiatan ini diselenggarakan oleh :

– ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace)
– The Wahid Institute
– Jemaat Ahmadiyah Indonesia
– AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)
– BPKBB (Badan Perjuangan untuk Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan)

Salam damai

PERNYATAAN SIKAP

Negara Sebaiknya Bersikap Adil dan Netral

Terhadap Semua Penganut Kepercayaan, Sekte, dan Agama.

Kami yakin sepenuhnya bahwa semua agama mengajarkan keharusan menghormati sesama manusia, tanpa pembedaan apa pun. Agama-agama juga tidak membenarkan pemaksaan keyakinan kepada orang lain. Ajaran agama yang bersifat universal inilah yang menginspirasi para the founding fathers Indonesia merumuskan Pancasila sebagai landasan ideologi negara. Nilai-nilai penghormatan terhadap manusia ini kemudian menjadi asas dalam penyusunan konstitusi, UU Dasar 1945.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) menyatakan secara tegas penghormatan terhadap kemerdekaan manusia, terutama kemerdekaan dalam beragama dan berkeyakinan. Berikutnya, Undang-Undang No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, khususnya pasal 18, lebih tegas mengakui hak kebebasan beragama dan berkepercayaan.

Karena itu, atas dasar Pancasila, UU Dasar 1945, dan sejumlah perundang-undangan HAM lainnya, negara khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum, harus bersikap adil dan netral di dalam masalah keagamaan. Negara tidak boleh mencampuri masalah keyakinan dan kepercayaan penduduk. Negara cukup mengawasi agar tidak satu pun warga negara yang mengalami intimidasi, dominasi, dan kekerasan atas nama agama apa pun alasannya.

Dalam konteks demokrasi, negara tidak boleh mencampuri urusan keagamaan warganegara, apalagi melakukan kriminalisasi terhadap seseorang atau kelompok yang meyakini sebuah ajaran dan kepercayaan. Mendorong permasalahan privat ke wilayah publik di dalam konteks kebebasan beragama/kepercayan merupakan pengingkaran terhadap demokrasi.

Negara tidak boleh membiarkan sikap saling tuduh, sesat menyesatkan dan terlebih lagi penyerangan terhadap kelompok yang dianggap berbeda agama, kepercayaan dan aliran. Sebab, kondisi ini sangat mengganggu proses national building dan perwujudan damai dan kerukunan agama di tanah air. Sekaligus membahayakan eksistensi bangsa Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka kami mendesak pemerintah, aparat negara, elemen negara, organisasi keagamaan, dan elemen masyarakat lainnya sebagai berikut :

Pertama, menuntut negara untuk bersikap netral dan adil dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Mencegah timbulnya kasus-kasus penyesatan dan kriminalisaasi terhadap kelompok keagamaan, kepercayaan, dan keyakinan apa pun.

Kedua, menuntut negara agar tidak menggunakan fatwa MUI sebagai acuan hukum. Indonesia adalah negara hukum. Seluruh peraturan dan perundang-undangan harus selalu mengacu kepada PANCASILA dan Konstitusi UUD 1945.

Ketiga, menuntut negara untuk secara aktif memfasilitasi dan membuka ruang dialog secara damai, setara dan terbuka. Menuntut negara memberikan perlindungan kepada pimpinan dan anggota komunitas yang dituding sesat dan sebagainya.

Keempat, menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersikap inklusif dan tidak panik menghadapi munculnya berbagai aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan; serta menghentikan tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan, baik secara fisik maupun verbal.

Kelima, menghimbau kepada semua pemuka agama untuk menghentikan klaim sesat dan menyesatkan kepada kelompok lain. Fatwa penyesatan justru menjadi pendorong, pemicu, dan pembenaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat tertentu.

Keenam, menuntut negara untuk tidak membatasi hak kebebasan berkumpul dan beribadat pada komunitas tertentu.

Demikian pernyataan kami.

Jakarta, 9 Nopember 2007

Hormat Kami

ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace)

The Wahid Institute

Jemaat Ahmadiyah Indonesia

AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)

BPKBB (Badan Perjuangan untuk Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan)

============ ========= ========= ========= ==
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Jl Cempaka Putih Barat XXI No. 34
Jakarta Pusat 10520
Telp. 021 4280 2349/ 42802350
Fax. 021-422 7243
HP. 0852-81481413
Email: icrp@cbn.net. id
http://www.icrp-online. org