Menyukai yang Anda Miliki Sekarang


Mari belajar untuk menghidupi hidup demi perbaikan diri kita.

Yang indah hanya sementara, yang abadi adalah kenangan, yang ikhlas hanya dari hati, yang tulus hanya dari sanubari, tidak mudah mencari yang hilang, tidak mudah mengejar impian, namun yang lebih susah mempertahankan yang sudah ada. Karena walaupun tergenggam bisa terlepas juga
ingatlah pada pεpatah, “Jika kamu tidak mεmiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini”

Mari belajar menerima apa adanya dan berpikir positif…. Rumah mεwah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan, dan jabatan yang luar biasa, namun.. Ketika nafas terakhir tiba, sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi.  Sehelai benang pun tak bisa dimiliki. Apalagi yang mau diperebutkan.

Apalagi yang mau disombongkan? Maka jalanilah hidup ini dengan keinsafan nurani, Jangan terlalu perhitungan. Jangan hanya mau menang sendiri.  Jangan suka sakiti sesama apalagi terhadap mereka yang berjasa bagi kita. Belajarlah, tiada hari tanpa kasih. Selalu berlapang dada dan mengalah.  Hidup ceria, bebas leluasa… Tak ada yang tak bisa di ikhlaskan… Tak ada sakit hati yang tak bisa dimaafkan. Tak ada dendam yang tak bisa terhapus..

Jalanilah hidup ini dεngan sεgala sifat positif yang kita miliki….  Jika hati sejernih air, jangan biarkan ia keruh.Jika hari seputih awan jangan biarkan ia mendung. Jika hari seindah bulan, hiasi dia dengan kasih sayang.

(NN-BBM)

HIDUP bukanlah sebuah DVD PLAYER


Seorang pria membawa pulang truk baru kebanggaannya,
Lalu ia meninggalkan truk tsb sejenak untuk melakukan kegiatan lain.

Anak lelakinya yg berumur 3 tahun sangat gembira melihat ada truk baru,
ia memukul-mukulkan palu ke truk baru tsb, akibatnya truk baru penyok dan catnya tergores.

Pria tersebut berlari menghampiri anaknya dan memukulnya, memukul tangan anaknya dgn palu sebagai hukuman.

Setelah sang ayah tenang kembali, dia segera membawa anaknya ke RS.

Walau dokter telah mencoba segala usaha untuk menyelamatkan jari-jari anak yg hancur, tapi ia tetap gagal.

Akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan amputasi semua jari pada kedua tangan anak kecil tsb.

Ketika anak kecil itu sadar dari operasi amputasi dan jarinya telah tidak ada dan dibungkus perban, dengan polos ia berkata, “Papa, aku minta maaf tentang trukmu.”

Kemudian, ia bertanya,
“tetapi kapan jari- jariku akan tumbuh kembali?”

Ayahnya pulang ke rumah dan melakukan bunuh diri.

Pesan Moral:
Berpikirlah dahulu sebelum kau kehilangan kesabaran kepada seseorang yg kau cintai.

Truk dapat diperbaiki, tapi tulang yg hancur dan hati yg disakiti seringkali tidak dpt diperbaiki.

Terlalu sering anda gagal untuk membedakan antara orang dan perbuatannya, Anda seringkali lupa bahwa mengampuni lebih besar daripada membalas dendam.

Orang dapat berbuat salah,
tapi tindakan yg anda ambil dalam kemarahan akan menghantui anda selamanya.

Tahan, tunda dan pikirkan sebelum mengambil tindakan. Belajarlah Mengampuni, Melupakan dan Mengasihi satu dgn lainnya.

“HIDUP bukanlah sebuah DVD PLAYER, yg dapat di backward & Forward. HIDUP hanya ada tombol PLAY & STOP saja, jangan sampai anda melakukan kesalahan yg dapat membayangi kehidupan anda kelak!!”
(NN)

Waspadai: Keputusan bersama Pemuda Jihad FPI & Dewan Forum Betawi Rempug: PEMBANTAIAN!


(Link : Http://betawi-jaya.mywapblog.com)

Keputusan bersama Pemuda Jihad FPI & Dewan Forum Betawi Rempug!

by Doel Rempug Master on 03:12 PM, 25-Mar-12

Salinan email milis FBR & Pemuda jihad Indonesia
(Rempug-admin@RoemahRempug.org)

Dewan Betawi Rempug wrote:

Bakar ormas Key dan CINA BEKINGNYA, bantai dan abisin aje dari pulau Jawa, tundukan ormas Hindu sesat, salbis ISA anjing, ormas Budha Bangsat, Lumatkan ormas CINA anjing lintah negara, Bante ormas ambon , ormas timor , ormas papua , BETAWI JAYA SELALU!!

Terutama darahnye kaum CINA Kafir halal untuk di minum saatnye kite goncang JAKARTE dan tumpahkan darah kafir CINA, Hindu, Budha sesat dan PEMUDA KEY yang merusak bangsa dimane2!! Ayo bersatu bangkitkan Jihad Islam!

SUDAH SAATNYE ANAK BETAWI BANGKIT!! ANJING CINA DAN AMBON KEY, BATAK DAN BUTON KITE BANTE HABIS DARI JABOTABEK!!!

TGL 27 MARET 2012 JAM 6
ANGGOTA REMPUG & PEMUDA JIHAD FPI WAJIB HADIR DI TEMPAT YANG DISEPAKATI KITE SIAP BIKIN
CINA & PARA KAFIR ANGKAT KAKI DARI JAKARTE! SESUAI HIMBAUAN KEPUTUSAN REMPUG DAN PEMUDA JIHAD SE-JABOTABEK.

Buat teman2 smua hati2 yah…pray for Indonesia .

Indonesia butuh revolusi kebudayaan, kata Yudi Latif


Berkaca dari situasi Indonesia saat ini, transformasi kehidupan kenegaraan memerlukan  revolusi mental kebudayaan, dan tidak hanya disandarkan pada perubahan di tingkat prosedur dan perundang-undangan, kata pengamat politik Yudi Latif.

“Krisis yang melanda negara kita ini begitu luas cakupannya dan begitu dalam penetrasinya, sementara pemimpin kita mempunyai mentalitas sempit dan dangkal, oleh karena itu kita membutuhkan revolusi mental kebudayaan,” kata Yudi dalam dalam “Forum Fasilitasi Daerah Dalam Rangka Penguatan Ketahanan Bangsa” di Jakarta, Jumat.

Revolusi ini menurut Yudi bisa dimulai dengan memperkuat kembali dasar etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Penulis buku “Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila” ini mencontohkan krisis moralitas itu pada bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat lebih sibuk mempermahal ruang kerja namun mempermurah nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang.

“Kita sekarang menemukan mentalitas pemimpin yang dangkal, inilah yang merupakan sumber dari segala sumber korupsi,” kata Yudi.

Yudi kemudian mengutip filsuf politik Italia yang hidup pada abad-15 Niccolo Machiavelli yang  mengatakan ada empat penyebab korupsi.

“Penyebab pertama adalah para pemuka negeri diperbudak negeri lain hingga negara tidak mampu membuat aturan secara leluasa untuk mengelola urusan sendiri,” kata dia.

Penyebab kedua menurut Machiavelli sebagaimana dikutip dari Yudi adalah pemangku kekuasaan dengan kekayaan berlebih namun tidak bersih, yang melalui pundi-pundi keuangannya, bisa menundukkan moral publik di bawah pragmatisme sempit.

“Yang ketiga, kaum elit negeri yang hidup dari popularitas dan berpenghasilan tinggi tanpa kerja keras. Mereka merusak negeri dan memiliki pengikut yang membuat kebobrokan massal,” kata Yudi.

Penyebab terakhir korupsi menurut Machiavelli adalah pemahaman agama yang lebih menekankan pada aspek ritual formal daripada esensi ajaran. Dalam pandangan Yudi, hal inilah yang membuat kaum beragama lebih sibuk memperindah tempat ibadah daripada membebaskan kaum miskin.

“Inilah kondisi kita, korupsi moral yang terjadi di mana-mana, dari soal pengajuan dan penolakan hak angket mafia pajak, soal partai mana yang masuk kabinet dan tidak,” kata dia. (Antaranews.com)

Republik Tanpa Nakhoda


Donny Gahral Adian

Politik di Republik ini seperti bekerja di dua ruang yang berbeda. Yang pertama adalah ruang politik kelembagaan. Di ruang ini, politik steril dari segenap isu akar rumput yang kumuh. Fokus utama politik ruang pertama ini adalah urusan pertumbuhan ekonomi, peringkat laik investasi, tata kelola pemerintahan yang baik, dan indeks persepsi korupsi.

Sementara itu, ruang kedua politik bekerja di lapangan tanpa pendingin ruangan. Politik di ruang kedua bekerja di jalan tol yang disumbat, lahan yang dirampas, dan bantaran kali yang digusur.

Politik di ruang kedua tidak terstruktur dan hadir lebih sebagai peristiwa yang mengejutkan, tetapi bermakna. Persoalannya, mengapa politik ruang pertama yang gilang-gemilang tidak dapat meredam ledakan sosial di ruang kedua?

Negara yang terkepung

Semua teori negara mengatakan betapa negara adalah transformasi khaos menjadi kosmos. Negara hadir mengubah ketidaktertiban sosial menjadi ketertiban politik. Transformasi itu sejatinya adalah sebuah tindak kekerasan. Negara adalah imperatif ketertiban yang dipaksakan kepada demos yang tak terorganisasi. Ini memiliki dua dampak yang sama dahsyatnya.

Pertama, negara memerlukan legitimasi abadi agar kekerasan purba yang dilakukannya dapat tetap terlindungi secara etis. Kedua, negara sejatinya ibarat perawan yang berada di sarang penyamun. Ia senantiasa dibayang-bayangi demos yang terus mengancam eksistensinya. Imperatif ketertiban dari negara sewaktu-waktu dapat dibantah oleh demos sehingga ketertiban politik pun kembali koyak.

Legitimasi direbut negara dengan menjalankan politik ruang pertama. Penyelenggara negara bekerja 24 jam untuk menggenjot kesejahteraan umum dengan segenap indikatornya. Ketika pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata, angka kemiskinan menurun, dan korupsi diminimalkan, legitimasi akan dipanen secara berkala. Maka, logika penyelenggara negara selalu berpijak pada politik kelembagaan. Wakil menteri diperbanyak. Lembaga ad hoc ditambah. Staf khusus dibentuk. Sentra pengaduan dibangun. Semua itu dilakukan guna menuntaskan proyek besar pembangunan kesejahteraan yang notabene berfungsi sebagai katalisator ledakan sosial.

Persoalannya, berbagai peristiwa belakangan ini, mulai dari kasus Mesuji hingga pembakaran kantor bupati di Bima, menunjukkan sesuatu yang berbeda. Politik ruang pertama hanya mendapat tepuk tangan setiap laporan tahunan di parlemen. Politik di ruang kedua sama sekali tak mendapat manfaat dari segenap kemajuan yang digelorakan politik ruang pertama. Buktinya, demos tetap menjadi korban ketakadilan. Demos tak dapat beribadah secara leluasa. Demos tak dapat menikmati panen dari tanahnya sendiri. Demos dihukum karena mencuri sandal. Dan, demos pun diupah di bawah standar hidup layak.

Jangan heran apabila demos bertiwikrama ke wujud semulanya. Demos kembali mengganas seperti masa hipotetis ketika negara belum hadir. Legitimasi yang dipupuk di ruang berpendingin gagal meredam akar rumput yang bergolak panas. Demos tak peduli dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang digenjot oleh konsumsi kelas menengah tak berarti apa-apa bagi demos yang tak sanggup membeli beras.

Frustrasi sosial tanpa katalisasi pun meluas. Demos kembali teringat pada kekerasan purba yang dilakukan negara. Alhasil, penyelenggara negara akhirnya terkepung dan legitimasi merosot tajam. Siasat yang tersisa adalah citra. Itu sebabnya politik dewasa ini disesaki oleh lembaga pemoles citra. Biro-biro iklan kebanjiran proyek setiap akhir tahun anggaran. Delusi politik ruang pertama adalah demos akan terhasut dan melunak oleh citra, kesan, dan advertorial.

Lalu bagaimana?

Setiap penyelenggara negara harus paham bahwa dirinya ibarat seekor tuna di lautan hiu. Dirinya secara permanen selalu berada di bawah ancaman demos. Apalagi ketika ketakadilan merajalela. Kita harus paham satu hal. Wibawa tak dapat dibeli. Kebijakan tak dapat diserahkan kepada konsultan untuk dipikirkan dan dibedaki. Demos semakin dewasa dan cerdas. Mere- ka dapat membedakan mana loyang mana emas.

Demos mengganas ketika republik seperti berjalan tanpa nakhoda. Dia mengganas ketika pemerintah daerah tak mau melaksanakan putusan Mahkamah Agung. Dia mengganas ketika kepala negara menyelesaikan masalah dengan instruksi dan lembaga ad hoc. Republik ini gemuk instruksi tetapi kurus implementasi. Lembaga lahir dan mati silih berganti. Alih-alih mengatasi kemiskinan struktural, kita lebih suka membuat struktur baru yang inefisien.

Demos marah besar ketika upah mini- mum Kabupaten Bekasi yang sudah dipu- tuskan gubernur kemudian digugat asosi- asi pengusaha. Di mana wibawa pemerin- tah di depan para cukong? Hakim pun, sayangnya, memenangkan gugatan pengusaha. Di sini Republik kembali berjalan tanpa nakhoda. Pemerintah pusat hanya bisa bingung dan belingsatan ketika Jalan Tol Cikampek ditutup demos hampir 20 jam.

Penyelenggara negara terlalu anonim untuk dijadikan tertuduh. Setiap kapal pu- nya nakhoda. Setiap negara punya kepala negara. Kepala negara dituntut mengendalikan Republik saat badai. Dia juga ditun- tut dapat mengantisipasi badai. Badai sosial, ekonomi, dan politik yang melanda Republik sayangnya direspons sang nakhoda dengan diktum pertumbuhan ekonomi belaka. Tak ada keputusan yang me- nentukan di saat darurat. Artinya, nakho- da memiliki jabatan, tetapi tuna-kedaulatan.

Ibarat kapal, negara harus berlayar dengan panduan yang benar. Konstitusi adalah panduan bagi siapa pun nakhoda Republik ini. Konstitusi menggariskan bahwa kekayaan alam harus berdampak sosial yang adil dan merata. Perekonomian tak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar bebas yang abai terhadap kesenjangan sosial. Sang nakhoda, sayangnya, mengendalikan Republik dengan panduan sendiri. Tak heran, petani pun korban ketika lahannya dicaplok pengusaha perkebunan yang dilindungi penguasa. Nakhoda sepertinya lebih berpihak pada badai ketimbang panduan yang diwariskan pembuat kapal.

Saya ingin memakai bahasa terang. Kita memerlukan nakhoda baru. Nakhoda yang dapat bekerja di dua ruang politik sekaligus. Dia yang cakap menjaga stabilitas makroekonomi, juga lihai menyelesaikan persoalan akar rumput. Nakhoda baru nanti harus sadar dirinya adalah ikan tuna di lautan hiu. Demos adalah hiu yang tak dapat dihasut dengan citra. Demos tak silau dengan pertumbuhan ekonomi dan peringkat laik investasi. Demos hanya kembali tenang apabila kesepakatan upah minimum dilaksanakan, tanah yang dicaplok dikembalikan, ganti rugi dibayarkan, dan rumah ibadah dapat didirikan.

Kita harus selalu ingat. Politik bukan reproduksi kesan, melainkan produksi sebuah kekinian baru. Nakhoda Republik ini tak dinilai berdasarkan jumlah iklan yang menampilkan wajahnya. Dia dinilai berdasarkan kemampuan menciptakan kebaruan dari ketiadaan. Kita tiba-tiba rindu sosok seperti Gus Dur yang mampu menciptakan kekinian baru bagi pluralisme. Kita rindu politisi yang mampu menciptakan monumen kemanusiaan yang tak lekang dimakan kala. Kita tak sabar dinakhodai politisi sejati yang memainkan politik dua ruang secara murni dan konsisten. Kita rindu nakhoda baru.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik UI​
(Kompas, 31 Januari 2012)