Neoliberalisme dan Perguruan Tinggi


Jakarta (ANTARA News) – Berbagai kalangan lintas disiplin ilmu bertanya
pada Stanley Fish, Guru Besar Universitas Internasional Florida, apakah
orang benar-benar memahami neoliberalisme atau hanya sekedar mengikuti
“trend”.

Faktanya, sejumlah kecil kalangan mengaku pernah mendengar kata itu,
namun lebih banyak lagi yang serampangan mengartikannya.

“Saya ditanyai mereka karena saya membaca banyak esai di mana kata
neoliberal biasa dinisbatkan sebagai tuduhan, sementara saya sendiri
hanya mempunyai pemahaman kasar mengenai apa yang dimaksud
neoliberalisme,” kata Fish.

Manakala esai-esai itu mengutip tulisan terakhirnya bahwa perguruan
tinggi adalah wujud nyata dari ideologi liberal –seperti tulisan Sophia
McClennen yang dimuat Works and Days volume 26-27 edisi 2008-2009
berjudul “Neoliberalism and the Crisis of Intellectual Engagement”- –
Fish terdorong untuk lebih kerap mempelajari neoliberalisme.

Neoliberalisme adalah upaya sederhana merujuk serangkaian kebijakan
ekonomi dan politik yang didasarkan pada keyakinan kuat terhadap
sumbangsih besar pasar bebas, kata Fish.

Fish lalu mengutipkan salah satu definisi yang sering dikutip orang dari
Paul Treanor dalam “Neoliberalism: Origins, Theory, Definition.”

“Neoliberalisme adalah satu filosofi dalam mana keberadaan dan operasi
pasar dinilai dalam dirinya sendiri, terpisah dari hubungannya dengan
produksi barang dan jasa terdahulu… dan dimana operasi pasar atau
struktur serupa pasar dipandang sebagai etika dalam pasar itu sendiri,
berkemampuan untuk berlaku sebagai penuntun bagi semua aksi manusia dan
mengganti semua keyakinan etik yang telah ada sebelumnya.”

Dalam dunia neoliberal, permasalahan tidak dinilai dari soal-soal etis
mengenai sanksi dan rehabilitasi, melainkan melulu dilihat dari nilai
ekonomi yang didapat seseorang dari aksi yang dilakukannya dan kaitannya
dengan nilai ekonomi yang harus dikeluarkan seorang lainnya karena
dirugikan oleh aksi itu.

Fish mengibaratkannya sebagai satu pabrik yang mengalirkan limbah
sehingga membunuh ikan pada sungai yang dialiri limbah.

Ketimbang meminta pemerintah menghentikan kegiatan pencemaran lingkungan
yang dilakukan pabrik itu (dengan alasan demi menyelamatkan buruh dan
perputaran kehidupan ekonomi), pengelola pabrik dan masyarakat sekitar
aliran limbah berembug dengan tujuan meyakinkan masyarakat bahwa
penutupan pabrik lebih merugikan mereka dibanding mempertahakannya walau
mencemari lingkungan.

Fish lalu mengutipkan artikel klasik, “The Problem of Social Cost” dari
Ronald Coase dalam Journal of Law and Economics tahun 1960, bahwa
masalah terpenting adalah membandingkan kontribusi ekonomi pabrik
terhadap masyarakat sekitar dengan kerugian riil akibat pencemaran
lingkungan itu.

Jika ternyata sumbangsih ekonomi pabrik jauh lebih besar dibandingkan
kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran, maka solusinya membiarkan
pabrik beroperasi seraya mengganti kerugian masyarakat yang terkena
pencemaran. Biaya pengganti kerugian akibat pencemaran ini tentu saja
lebih kecil dibanding keuntungan yang didapat dari beroperasinya pabrik.

Manipulasi nilai ekonomi dengan membandingkan kontribusi pabrik dengan
kerugian masyarakat akibat dampak negatif operasi bisnis ini disebut
Fish sebagai “distorsi pasar.”

Fish lalu mengajukan teori lain tentang nilai ekonomi, kali ini dari
sejumlah kalangan yang menyebut kehidupan lebih baik, membutuhkan
intervensi negara.

Namun, seperti disebut Chris Harman pada “Theorising Neoliberalism”
dalam International Socialism Journal edisi Desember 2007, dalam
berbagai polemik neoliberalisme yang dielaborasi Milton Friedman dan
Freidrich von Hayek dan dipraktikkan oleh Ronald Reagan dan Margareth
Thatcher, intervensi negara dikenalkan lebih sebagai masalah ketimbang
solusi.

Mendiang Milton Friedman dari Universitas Chicago dan Friedrich von
Hayek adalah para ekonom sekaligus filsuf yang dikenal sebagai ideolog
pasar bebas ekstrem.

Para peraih Nobel ini adalah penyokong utama neoliberalisme, sedangkan
Reagan dan Thatcher adalah Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris yang
total mempraktikan neoliberalisme. Prinsip pengelolaan ekonomi era
Reagan di awal kejayaan neoliberalisme itu dikenal dengan “Reaganomics. ”

Swastanisasi

Fish mengatakan, solusi neoliberal selalu mensyaratkan swastanisasi pada
semua hal, diantaranya sektor keamanan, kesehatan, pendidikan,
kepemilikan, jalan tol, maskapai penerbangan, energi, sistem komunikasi,
dan aliran modal.

Asumsinya, jika perusahaan dibiarkan meretas jalannya sendiri untuk
berperan besar di semua kehidupan, maka seluruh umat manusia akan hidup
sejahtera.

Yang patut dikritik dari asumsi itu adalah nilai-nilai seperti
moralitas, keadilan, kejujuran, empati, kemuliaan dan cinta telah
disangkal dan didefinisikan kembali menurut kebutuhan pasar.

Setiap orang berhasrat menguasai sesuatu, namun saat sesuatu itu
dikuasai, yang diperoleh manusia justru kenikmatan sesaat (seperti rumah
super mewah atau busana karya para perancang terkenal) yang akhirnya
sirna tak bermakna.

Oleh karena itu, neoliberalisme, seperti disebut David Harvey dalam “A
Brief History of Neoliberalism, ” menciptakan dunia yang penuh dengan
kepuasan semu, kesenangan palsu belaka.

Harvey dan para kritikus neoliberalisme yakin, sekali tujuan dan
prioritas neoliberal menempel pada pola pikir budaya, maka
lembaga-lembaga yang tidak neoliberal pun akan terikat pada
praktik-praktik palsu dan mengaplikasikan prinsip-prinsip neoliberal
seperti swastanisasi, kompetisi seluas-luasnya, menolak perkuatan
masyarakat dan perluasan pasar.

Fish menyebut prinsip dan praktik seperti itu terjadi di
universitas- universitas abad ke-21, Dengan mengutipkan pendapat Henry
Giroux dalam “Academic Unfreedom in America” yang dipublikasikan Works
and Days, Fish menyatakan universitas- universitas telah menarasikan
dirinya dalam batas yang lebih instrumental, komersil dan praktis.

Narasi baru ini muncul setelah negara tak lagi membiayai lembaga
pendidikan tinggi milik negara.

Dalam konteks Indonesia, narasi ini mungkin bertalian dengan pengalihan
status perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN).

Jika persentase kontribusi negara pada biaya operasional PTN jatuh dari
80 menjadi 10 atau lebih kurang lagi, dan saat bersamaan permintaan
output universitas meninggi dan biaya pendidikan seperti biaya SDM,
gedung dan asuransi meroket, maka kesenjangan kian melebar sehingga
universitas harus mengatasinya, demikian Fish.

Menghadapi situasi ini, universitas- universitas menjawabnya dengan (1)
menaikkan biaya pendidikan, sehingga mahasiswa pun kini berubah dari
subjek pendidikan menjadi tak lebih dari konsumen ekonomi biasa.

Kemudian, (2) membina kemitraan di bidang riset dengan industri, namun
ini menghancurkan tujuan mulia pendidikan karena universitas menjadi
melulu memburu laba.

Terakhir, (3) memperbanyak tenaga kontrak, namun justru ini yang membuat
pengajar tidak berkapasitas mendorong mahasiswa untuk mewujudkan
demokrasi madani karena mahasiswa hanya dituntut mengejar nilai ekonomi
dari pendidikan.

Singkatnya, universitas- universitas telah memeluk neoliberalisme.

Beasiswa

Sementara itu, segelintir akademisi pensiunan profesional yang nafkahnya
terjamin, terus berkiprah demi neoliberalisme. Mereka mendorong
perbanyakan jatah beasiswa yang kini dengan cepat terspesialisasi tanpa
ada kaitannya dengan kepentingan publik.

“Dengan agresif kampus menempatkan profesionalisme di atas
pertanggungjawaban sosial, namun tidak berkomentar apa-apa dalam hal-hal
kontroversial sehingga mereka terputus dari kelembagaan politik. Mereka
tak berdaya menegaskan pendirian politiknya,” kata Fish mengutip McClennen.

Fish lalu menyebut kritiknya terhadap neoliberalisme sebagai bentuk
pertanggungjawaban akademiknya, walau sejumlah kalangan menilainya telah
secara implisit mendukung neoliberalisme kampus.

Fish meminta para kolega akademisinya untuk setia pada tujuan mulia
pendidikan, jangan mengabdi pada orang lain dan jangan muluk-muluk
menyebut diri penyelamat dunia, karena hal-hal itu akan membuat kiprah
mereka dalam pendidikan menjadi sungguh-sungguh diabdikan untuk tujuan
ideal pendidikan.

Sophia McClennen lalu menilai, kebebasan akademis adalah kemerdekaan
untuk menggeluti pekerjaan akademis, bukannya bebas memperluas prinsip
ini ke titik di mana tujuan-tujuannya tidak terbatas. Namun dalam soal
ini Fish menolaknya.

Menurut Fish, mengartikan secara sempit kebebasan akademik, sebagaimana
konsep yang melekat pada serikat pekerja yang hanya responsif pada
kepentingan- kepentingannya, berarti mengabaikan tanggung jawab akademisi
untuk membebaskan wilayah manapun, bukan hanya kelas atau perpustakaan
riset, namun juga keseluruhan masyarakat, bahkan dunia.

Definisi sempit mengenai kebebasan akademis telah memupus kebajikan
bahwa akademisi bisa berkiprah lebih luas jika saja mereka berani
bersikap melawan ketidakadilan dan kekangan di manapun mereka temukan,
demikian Stanley Fish. (*)

(-) Diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Jafar M. Sidik dari
“Neoliberalism and Higher Education”, karya Stanley Fish dalam blognya
di laman New York Times, 8 Maret 2009.

(–) Stanley Fish adalah Guru Besar Universitas Internasional Florida,
mantan dekan Fakultas Seni dan Sains, Universitas Illinois, Chicago,
pengajar Universitas California di Berkeley, Universitas Johns Hopskins,
dan Universitas Duke. Pengarang 10 buku, diantaranya “Save The World On
Your Own Time.”

COPYRIGHT © 2009

http://antara. co.id/arc/ 2009/ 5/27/neoliberalisme -dan- perguruan-tinggi/

Neoliberalisme Telah Mati


Neoliberalisme Telah Mati

Jakarta (ANTARA News) – Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si “invicible hand” mengatur segalanya berdasar hukum “supply and demand”.

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa “The best government is the least government”. Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si “invisible hand”.

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan.

“Kita harus bertindak,” kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.

Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul “Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas”.

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni Soviet, Barat merayakan kemenangan dan “kebenaran” sistim liberalisme atas komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku “The End of History” untuk menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan kapitalisme.

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara di dunia menjadi negara demokrasi, karena “sesama negara demokrasi tidak saling memerangi”.

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.

Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. Diplomasi “wortel dan pentungan” sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep “American Dream” yang ternyata hanya utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang “booming” ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang dari sepuluh tahun lagi.

“Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang menanjak, terutama China dan India,” katanya.

Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi.

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan “Selamat Tinggal Perdagangan Bebas”.

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)
Sumber: Antara News (http://www.antara.co.id/print/?i=1223556587)