Aksi Pelemparan Batu oleh FPI


Rekan AKKBB,
Hari ini, Kamis 25 September 2008, terjadi aksi pelemparan batu oleh FPI kepada para aktivis AKKBB.
Peristiwa diawali dengan penolakan AKKBB untuk melanjutkan persidangan karena tidak adanya jaminan keamanan kepada para saksi. Untuk menegaskan sikap ini, kami melakukan Konferensi Pers. Setelah konfpress selesai dan kami beranjak meninggalkan pengadilan, tiba-tiba dari arah berlawanan muncul
segerombolan FPI berlari dan melakukan aksi pelemparan batu. Sebagian rekan AKKBB masuk dan berlindung di Gedung PELNI yang lokasinya tidak jauh dari pengadilan.

BANSER NU yang bertugas menjaga keamanan AKKBB, mencoba bertahan. Namun karena FPI terus melakukan pelemparan batu, akhirnya Banserp pun membalas sehingga terjadi baku lempar antara mereka.

Polisi tidak bertindak tegas, padalah keadaan sudah genting. Akibatnya, salah seorang anggota Banser yang bernama Hardi mengalami luka kepala bocor. Santri Gus Nuril tersebut dilarikan ke R.S Tarakan oleh Hendrik dari PBHI.

Demikian sekilas info AKKBB Mohon dukungan rekan-rekan.

Salam,
ICRP

Sehari Gary Bisa “Nyopet: Tujuh “Handphone”


http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/09/26/ 00592014/ sehari.gary. bisa.nyopet. tujuh.handphone

Melihat gaya Gary (sekitar 5 tahun) di Polsek Matraman, Jakarta Timur,
tidak ada yang akan menyangka tiga hari yang lalu dia masih menjadi
anak jalanan. Pekerjaannya sehari-hari adalah mencopet handphone milik
penumpang kereta api.

Namun bila bergaul dengan dia beberapa waktu, kita akan menyadari dia
sebenarnya bukan anak jalanan. Kemungkinan dia adalah korban
penculikan, yang kemudian dikaryakan sebagai pencopet.

Wajah bocah yang terlihat seperti keturunan Tionghoa ini semula
mengaku tidak punya orangtua. Gary ditemukan oleh Juviano Aparicio,
pemuda dari Timor Leste yang datang dari Yogyakarta hendak ke Kedutaan
Timor Leste di Jakarta.

”Saya menemukan Gary jalan mondar-mandir di kereta Progo jurusan
Senen. Lalu saya ajak dia saja. Saya curiga dia adalah korban
penculikan,” kata Juviano.

Saat ditanya, Gary semula mengatakan kedua orangtuanya sudah meninggal
karena kebakaran. Rumahnya dulu berada di sekitar Stasiun Bekasi. Dia
tidak tahu nama orangtuanya.

Tetapi setelah diajak ngobrol agak lama, Gary mengaku nama ayahnya
Asun dan ibunya Yanti. Dia punya nenek yang tinggal di Tanah Abang.

Kini Gary dirawat oleh Retno Widati, pemilik Sanggar Kayumanis yang
juga pengusaha jamu dan pengobatan alternatif. Kepada Retno, Gary
memanggil ibu. ”Ketika kami naik mobil yang ada AC-nya, dia langsung
bilang, AC-nya dingin ya. Berarti dia tahu AC,” kata Retno.

Selain itu, Gary juga bercerita ayahnya punya mobil Kijang warna
hitam. ”Waktu mandi dia juga mengenal sabun cair. Kalau benar anak
jalanan, dia tak akan tahu soal sabun,” ujar Retno.

Selain itu, Gary juga ternyata mahir makan menggunakan sumpit. Dia
bisa membedakan mana mi ayam yang enak dan mana yang tidak.

Retno telah memeriksakan Gary ke dokter, dan dokter tidak menemukan
tanda-tanda kekerasan di tubuhnya maupun kekerasan seksual. ”Yang ada
adalah kekerasan mental. Beberapa kali dia bicara kasar, jorok, dan
tidak sopan,” jelas Retno.

Sementara itu, Kepala Polsek Metro Matraman Komisaris Kasworo
mengatakan, kemungkinan besar Gary adalah korban penculikan yang
kemudian dikaryakan sebagai pencopet.

”Sehari dia bisa mencopet tujuh handphone di kereta. Setelah itu
handphone disembunyikan di kolong kursi kereta,” kata Kasworo.

Dia menambahkan, jika memang ada orangtua yang kehilangan anak,
silakan datang ke Polsek Matraman. Jika memang tidak ada, Gary akan
diserahkan ke panti asuhan. ”Diharapkan, jika Gary berhasil ketemu
orangtua sejatinya, bisa membantu kami mengungkapkan sindikat
penculikan anak ini,” tegas Kasworo. (ARN)

Kaca Spion (Catatan Andy Noya (kick Andi)


Kaca Spion (Catatan Andy Noya (kick Andi))..

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?  malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.

Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir sayaterus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.

Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.

Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya . Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.

Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi
mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.

Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami – ibu, dua kakak, dan saya – harus bisa bertahan hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir
bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?

Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya.

Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ”Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang,
apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,” ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, “Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras.” Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.

Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya tabrak.  Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.  Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.

Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang ecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup
yang pahit.

Refleksi:
Mengapa harus sombong dengan kekayaan yang kita miliki, karena kekayaan tiada berguna sama sekali, lebih baik menghidupkan lagi rasa toleransi yang ada pada diri untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Pesan Vatikan Untuk Akhir Ramadhan Idul Fitri 1429H/ 2008 AD


Pesan Untuk Akhir Ramadhan Idul Fitri 1429H/ 2008 AD

Dewan Kepausan Untuk Dialog Antarumat Beragama

Kristiani dan Muslim:
Bersama demi Martabat Keluarga

Pesan Untuk Akhir Bulan Ramadhan
Idul Fitri 1429H/ 2008AD

Saudara-saudari Umat Muslim,

1.        Dengan semakin mendekatnya akhir bulan Ramadan, dan mengikuti tradisi yang kini sudah sangat mapan, dengan senang hati saya menyampaikan ucapan selamat dari Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama. Selama bulan ini orang-orang Kristiani  yang akrab dengan Anda telah turut mengambil bagian dalam refleksi dan dalam perayaan-perayaan keluarga Anda. Dialog dan persahabatan semakin diperkokoh. Puji Tuhan!

•2.      Sebagaimana yang terjadi di masa lampau, perjumpaan persaudaraan ini juga memberi kita suatu kesempatan untuk mengadakan refleksi bersama tentang pokok pembicaraan timbal-balik yang akan semakin memperkaya hubungan kita satu sama lain dan semakin membantu meningkatkan saling pengenalan kita, baik menyangkut nilai-nilai yang dapat kita nikmati bersama, maupun menyangkut perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita. Tahun ini kami ingin mengangkat ikhwal Keluarga.

•3.      Satu dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan Kedua, yakni Gaudium et Spes, yang mengupas perihal keberadaan Gereja di dunia modern, menegaskan: “Keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan Kristiani erat berhubungan dengan kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga. Maka umat Kristiani, bersama dengan siapa saja yang menjunjung tinggi rukun hidup itu, dengan tulus hati bergembira tentang pelbagai upaya, yang sekarang ini membantu orang-orang untuk makin mengembangkan rukun cinta-kasih itu dan menghayatinya secara nyata, dan menolong para suami-isteri serta orangtua dalam menjalankan tugas mereka yang luhur. Lagi pula mereka memang mengharapkan manfaat yang lebih besar lagi dari padanya, dan berusaha untuk meningkatkannya” (no 47). 

4.       Penegasan itu mengingatkan kita dengan tepat sekali, bahwa perkembangan setiap pribadi manusia dan masyarakat, sebagian besar bergantung pada sehatnya keluarga. Berapa banyak orang yang harus memikul, kadang-kadang bahkan untuk seumur hidupnya, beban berat dari luka-luka batin yang diakibatkan oleh latarbelakang keluarganya yang bermasalah atau yang penuh gejolak? Berapa banyak lelaki dan perempuan yang sekarang berada dalam jurang penderitaan karena narkoba dan kekerasan, sedang berusaha dengan sia-sia untuk sampai pada pemulihan dirinya karena trauma yang diderita pada masa kecilnya? Umat Kristiani dan Umat Muslim dapat dan harus bekerjasama untuk menjamin martabat keluarga-keluarga, baik di masa sekarang ini maupun di masa-masa yang akan datang.

•5.       Umat Kristiani dan Umat Muslim sama-sama menjunjung tinggi martabat keluarga-keluarga. Kita juga telah mendapat banyak kesempatan, baik di tingkat lokal maupun internasional, untuk menjalin kerjasama di bidang ini. Keluarga, di mana ada cinta dan kehidupan, di mana saling menghormati dan keramah-tamahan dijumpai dan diserahalihkan sebagai harta warisan, adalah sungguh-sungguh “sel dasar dari masyarakat”.

•6.       Umat Kristiani dan Umat Muslim hendaknya tidak pernah boleh ragu-ragu, bukan hanya dalam hal mengulurkan tangan membantu keluarga-keluarga yang berada dalam kesulitan, tetapi juga bekerjasama dengan siapa saja yang mempunyai keprihatinan untuk mendukung stabilitas kedudukan keluarga sebagai sebuah lembaga dan tempat diembannya tanggungjawab orangtua, khususnya di bidang pendidikan. Kiranya hanya satu saja yang ingin saya garisbawahi untuk Anda: Keluarga adalah sekolah pertama di mana seorang belajar untuk menghormati yang lain, dengan memperhatikan sepenuhnya identitas dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Kiranya hal itu hanya akan membawa keuntungan bagi dialog antarumat beragama dan penghayatan kewarganegaraan kita.

•7.      Sahabat-sahabat yang terkasih, menjelang berakhirnya ibadat puasa Anda, saya berharap, bahwa Anda, bersama dengan keluarga Anda dan mereka semua yang karib dengan Anda, dengan mendapatkan pemurnian dan pembaharuan dari pelaksanaan ibadat yang sangat dijunjung tinggi dalam agama Anda ini, sungguh akan menikmati kecerahan dan kesejahteraan dalam hidup Anda! Semoga Allah subhanahu wa taala memenuhi Anda dengan kerahiman dan kedamaian-Nya.

 

Jean-Louis Kardinal Tauran
Ketua

                                                                                           

                                                                                       

                                                                Uskup Agung Pier Luigi Celata
                                                                            Sekretaris

     

Sumber: http://mirifica.net/printPage.php?aid=5323

AGAMA, HAK ASASI MANUSIA DAN TUGAS NEGARA


Beragama adalah salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus ditegakkan dan dilindungi oleh Negara melalui aparaturnya. Dalam menjalankan tugasnya, Negara harus kuat dan tegas menegakkan dan menjamin HAM.

Agama dan HAM merupakan bagian-bagian yang saling mendukung dan menguatkan dalam suatu negara demokrasi.

Agama

Sebagai sebuah system kepercayaan kepada yang ilahi dan tanggapan iman kepadaNya, agama sangat berperan besar dalam kehidupan manusia. Peran itu bisa positif dan bisa juga negatif. Di satu sisi agama mengajarkan cinta-kasih-sayang kepada Pencipta dan sesama. Agama bisa menjadi rahmat bagi sesama-semesta bila moralitas dan cinta menjadi jantung kehidupan beragama (Yudi Latif, Kompas, 28/09/2006).

Di sisi lain agama dapat mendorong penganutnya untuk melakukan kekerasan, mengedepankan egoism, menampilkan wajah hipokrit dan menyebarkan kebencian terhadap agama lain. Di sini wajah agama menjadi menakutkan dan tidak simpatik.

Ajaran agama yang menekankan cinta-kasih-sayang menampilkan wajah agama yang sejuk, ramah, yang mengajarkan nilai-nilai luhur, menghargai dan menyenangkan sesama di tengah kehidupan bersama. Agama yang berwajah demikian menjadi daya pemikat tersendiri bagi yang memandang dan memeluknya. Itulah sebabnya, Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama RI, mencita-citakan agar agama menjadi landasan etis-moral dan spiritual dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Dengan menjadikan agama demikian, Pemerintah sangat menjunjung tinggi peran agama dan berupaya meningkatkan dan memfasilitasi pelayanan, pengamalan dan penghayatan ajaran agama bagi setiap pemeluknya. Departemen Agama merupakan lembaga utama sebagai fasilitator pembangunan kehidupan keagamaan dan kerukunan umat beragama. Dengan demikian diharapkan, warga Negara Indonesia dapat hidup semakin sejahtera, aman, damai dan demokratis.

Meskipun demikian, Pemerintah melihat dan mengakui masih ada persoalan  dalam kehidupan beragama di negeri ini yang belum terselesaikan dengan baik. Salah satu persoalan tersebut antara lain kurangnya internalisasi (pembatinan) inti ajaran agama sehingga kehidupan beragama (religiositas) terkesan belum menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dengan kata lain, masih ada sekelompok orang yang mengatasnamakan agama untuk merugikan hak-hak asasi orang lain. Padahal substansi agama itu dalam sendiri sangat menghargai kemanusiaan alias hak asasi manusia.

Melukai Wajah Agama Sendiri

Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan manyalahgunakan agama yang terjadi di negeri ini sangat melukai dan merugikan warga masyarakat lainnya. Yang lebih menyedihkan lagi, tindakan tersebut melukai wajah agama yang menyuratkan cinta-kasih-sayang terhadap Sang Pencipta dan sesama.

Sejarah hubungan agama-agama mencatat, kekerasan dan rendahnya toleransi sangat mewarnai kehidupan beragama. Sejarah seperti ini sangat meredupkan image agama yang menampilkan kedamaian, kedalaman hidup, solidaritas dan harapan akan kebahagiaan.

Masuk akal jika Karl Marx mengatakan bahwa agama sebagai candu rakyat. Bahkan agama itu bisa jauh lebih berbahaya dari candu. Agama menjadi tragedy bagi manusia. Agama dapat mendorong orang untuk menganiaya sesamanya untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain untuk mengklaim diri mereka sebagai pemilik kebenaran.

Hak Asasi Manusia

Pertanyaannya adalah mengapa para penganut agama-agama yang berbeda tidak bisa toleran dan menghargai perbedaan? Jawabannya adalah adanya kesulitan menerima perbedaan. Sulitnya menerima perbedaan ini mendorong terjadinya aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap orang lain yang berbeda agama. Sejatinya, perbedaan itu mutlak ada dan merupakan hak asasi manusia sebab perbedaan itu berasal dari Sang Pencipta yang diabdi para pemeluk agama.

Sejarah peradaban manusia mencatat hampir tidak ada salah satu agama yang tidak ikut bertanggung jawab atas berbagai peperangan, tirani, kekerasan dan penindasan (Budhy Munawar Rachman, Kompas, 20/08/2005). Agama dalam hal ini gagal mendorong pemeluknya untuk menghargai kemanusiaan, tetapi malahan merendahkan kemanusiaan itu sendiri.

Warga dunia bersyukur atas inisiatif para pemimpin bangsa-bangsa  dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 untuk mendeklarasikan hak-hak asasi manusia yang berlaku universal. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia yang berlaku seumur hidup sejak awal dilahirkan dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun.

Dalam Deklarasi Universal HAM PBB, terdapat beberapa jenis dan bidang HAM yaitu hak asasi pribadi (personal right); hak asasi politik (political right); hak asasi hokum (legal equality right); hak asasi ekonomi (property right); hak asasi peradilan (procedural rights) dan  hak asasi sosial budaya (social cultural right).

 Menurut Adnan Buyung Nasution dalam pengantar bukunya, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia (1997) deklarasi HAM PBB 1948 dapat dikatakan sebagai puncak peradaban manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan Negara fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Tahun ini Deklarasi Universal HAM PBB memasuki usia 60 tahun. Deklarasi ini menjadi kebanggaan warga dunia yang masih harus ditingkatkan penegakannya.

Dengan deklarasi yang tersebut, bangsa-bangsa yang menjadi anggota PBB sepakat bahwa perbedaan setiap individu menurut agama, ras, suku bangsa, warna kulit, ideologi, golongan dan bahasa adalah hak pada diri manusia yang harus dihormati dan dihargai. Perbedaan adalah mutlak ada dan merupakan hak asasi manusia.

Negara Indonesia adalah salah satu anggota PBB yang meratifikasi dan menerima Deklarasi Universal HAM. Pada tahun 2005 lalu, Indonesia juga meratifikasi dua kovenan internasional yang diprakarsai PBB yaitu Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Itu berarti Indonesia menjunjung tinggi dan melindungi hak-hak asasi manusia yang berlaku universal. Dengan demikian tiap-tiap warga Negara Indonesia yang berbeda agama satu sama lain seyogiyanya merangkul kemanusiaan universal yang dimiliki oleh penganut agama lain.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Mr. Mohammad Yamin dalam risalah Sidang BPUPKI, (29/5/1945) seperti dikutip oleh William Chang (2006) bahwa “Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka adalah berdasar perikemanusiaan yang universeel berisi humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa”.

Pertanyaannya sekarang adalah bisakah warga Negara yang menganut agama tertentu menerima dan menghormati warga lain yang berbeda agama sekaligus memegang teguh otentisitas kebenaran agamanya sendiri? Bila para pemeluk agama dapat merangkul hak asasi manusia universal, maka wajah agama yang ditampilkannya adalah wajah agama sejuk, ramah, simpatik, damai dan penuh cinta-kasih-sayang.

Tugas Negara

Pendiri Negara Republik Indonesia (RI)  menjamin dan melindungi hak asasi warganya. Hal ini dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara RI dibentuk “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam pasal 28 E UUd 1945 (versi amandemen) dikatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1) dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati  nuraninya (ayat 2).

Konstitusi Negara menjamin dan melindungi hak-hak asasi warganya. Lebih khusus lagi kebebasan beragama itu difasilitasi pemerintah melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sehingga para pemeluk agama yang berbeda satu sama lain dapat menjalankan hak asasinya.

Dengan dasar konstitusi dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan, pemerintah berharap hubungan agama-agama dan kehidupan beragama di Indonesia rukun dan saling menghormati. Dengan demikian para pemeluk agama menampilkan agama yang berwajah kedamaian dan penuh cinta-kasih-sayang.

Dari dirinya sendiri, agama semestinya menjadi rahmat bagi sesama-semesta bila substansi ajaran agama benar-benar menjadi jantung kehidupan beragama.

Di sinilah tugas pemimpin Negara demokrasi yaitu menegakkan hak asasi manusia universal, memfasilitasi dan mendukung kehidupan beragama yang memeluk dan  menghargai kemanusiaan. Sebab kebebasan beragama sebagai bagian HAM merupakan salah satu fundasi Negara demokrasi . SEMOGA !!! (Pormadi Simbolon)