Nasionalisme Arab Versus Agamisme


Kompas, Rabu, 27 Juni 2007

Nasionalisme Arab Versus Agamisme
M Hasibullah Satrawi

Dalam sebuah wawancara dengan Usamah Abdulhak, bapak spiritual Gerakan Perlawanan Islam (al-harkah al-muqawamah al-islamiyyah) , biasa disebut Hamas, Syeikh Ahmad Yasin menyatakan, ke depan ada agenda politik Islam spektakuler.

Masa depan berada di tangan gerakan-gerakan politik keagamaan (Islam), yaitu dengan perlawanan dan jihad secara terus-menerus (Ummatun Tuqawim/Bangsa yang Melawan, 2001 : 27).

Pernyataan Syeikh Ahmad Yasin yang disampaikan empat tahun sebelum malaikat maut menjemputnya (2004) kini hampir sepenuhnya menjadi kenyataan. Saat ini gerakan-gerakan politik keagamaan banyak berkibar di dunia Arab. Mulai dari Palestina yang tidak pernah berhenti bergejolak hingga Mesir yang dalam beberapa tahun terakhir dikenal cukup “adem ayem”.

Pada pemilihan umum September 2005, Hamas berhasil mengalahkan Fatah yang dikenal sebagai sayap nasionalis Palestina. Tentu saja, hal ini sangat menyakitkan bagi Fatah, tetapi tidak demikian bagi Hamas. Kemenangan di atas merupakan kenyataan politik paling indah semenjak gerakan ini dibentuk pada tahun 1987 dengan sejarah panjangnya yang penuh luka dan derita.

Hampir semua pihak tidak percaya dan tak menerima kemenangan Hamas di atas. Israel, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, contohnya, langsung memboikot Palestina di bawah kepemimpinan Hamas. Kondisi Palestina pun semakin “sekarat”. Berbagai macam kompromi politik gagal dijalankan. Hingga akhirnya pemerintahan Palestina bersatu dibubarkan oleh Presiden Mahmud Abbas melalui dekritnya beberapa waktu lalu.

Di “gelanggang” yang lain, kita menyaksikan pertarungan nasionalisme Arab versus agamisme yang tak kalah seru dari yang terjadi di Palestina, yaitu di Mesir. Sebagaimana dimaklumi, dalam pemilihan umum terakhir (Juli 2005) di sana, gerakan politik keagamaan seperti Ikhwan Muslimin dan Kifayah tampil sebagai kekuatan politik pilih tanding bagi pemerintah yang dalam beberapa segi mewakili kalangan nasionalis. Menurut banyak pengamat, kalau tidak karena “tangan besi” pihak penguasa, calon presiden dari kalangan agamis nyaris tak terganjal lagi. Kini kalangan agamis tampil sebagai “oposisi bertaring” di Parlemen Mesir.

Pertarungan ini tampak semakin seru di babak berikutnya, yaitu dalam referendum untuk mengamandemen konstitusi Mesir pada Maret lalu. Kalangan agamis beranggapan bahwa amandemen konstitusi ini tak lain adalah “peti mati” yang dipersiapkan pihak-pihak berkuasa bagi gerakan-gerakan politik keagamaan di negeri Piramid itu. Hal ini bisa dicontohkan dengan butir 5 dalam konstitusi Mesir yang diamandemen. Butir ini membahas tentang sistem perpolitikan. Sebelum diamandemen, butir 5 berbunyi demikian; sistem politik Mesir menganut sistem multipartai, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setelah diamandemen, butir tersebut berbunyi, sistem politik Mesir menganut sistem multipartai, di mana setiap warga berhak mendirikan partai sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, setiap warga dilarang melakukan aktivitas politik atau mendirikan partai politik yang berdasarkan agama.

Begitu juga dengan butir-butir lain, seperti butir 76 (tentang pemilihan umum dan pencalonan presiden), butir 88 (tentang pemilihan anggota parlemen), butir 179 (tentang pemberantasan terorisme), dan butir 77 (tentang masa jabatan presiden).

Dalam waktu tidak lama lagi, Irak diperkirakan akan menjadi “lapangan” berikutnya bagi partai puncak nasionalisme Arab versus agamisme. Semenjak rezim Saddam Husein tumbang pada tahun 2003, Irak menderita perang saudara yang bertambah hari semakin mengganas, terutama antara orang- orang Syiah dan Sunni.

Percikan-percikan konflik di antara dua kelompok ini hakikatnya telah terjadi di masa Saddam. Namun, tangan besi Saddam Husein yang dikenal sebagai salah satu tokoh nasionalis terkemuka Arab bisa menggenggam percikan konflik tersebut.

Ketika genggaman tangan besi itu dilepas dengan paksa oleh Amerika Serikat beserta sekutunya, terjadilah seperti sekarang; perang terjadi di mana- mana. Konflik Sunni-Syiah di Irak saat ini tak lain adalah “proses menjadi” bagi kekuatan agamisme untuk melawan nasionalisme Arab yang sudah sekian lama ditekan oleh Saddam Husein.

Nasionalisme Arab

Bagi dunia Arab, nasionalisme seperti yang dipahami dalam dunia modern saat ini adalah hal baru. Ini adalah pengalaman terkini dan terpendek (secara masa) negara Arab dalam ketatanegaraan dan pemerintahan. Sebagaimana dimaklumi, pintu- pintu nasionalisme mulai dibuka pada abad ke-18 M hingga sekarang. Sebelumnya, negara-negara Arab menghabiskan waktu cukup panjang dengan sistem pemerintahan kesukuan, kekabilahan, dan dinasti, yakni dimulai dari masa pra-Islam hingga dinasti Utsmaniyah dibubarkan pada tahun 1923.

Kesadaran nasionalisme Arab perlahan muncul setelah mereka “bergesekan” dengan bangsa lain (Eropa), terutama kalangan intelektualnya. Pada abad ke-18 M, Rifa’ah At-Thah Thawi (Mesir) dan Khairuddin At-Tunisi (Tunisa) bisa dikatakan sebagai pembuka gerbang nasionalisme ini, yaitu ketika dua tokoh terkemuka di atas belajar di Perancis.

Pada masa berikutnya, Jamaluddin al-Afghani (Iran) dan Muhamamd Abduh (Mesir) memberikan “pupuk pemikiran” bagi tumbuh suburnya nasionalisme Arab. Kedua tokoh inilah yang dengan gigih mengampanyekan pemikiran progresif dan inklusif terhadap pihak lain (Barat) selama semua itu bermanfaat bagi masyarakat.

Pupuk pemikiran di atas membuat generasi berikutnya (seperti Thaha Husaein, Husaein Haikal, dan Qasim Amin) dengan lantang dan penuh berani mengampanyekan nasionalisme Arab. Hingga akhirnya nasionalisme mengalir dalam diri para tokoh politik, kemudian melekat, atau bahkan berhenti (tersimbolisasi) dalam sosok Jamal Abd Nashir.

Di bawah kepemimpinan Abd Nashir bangsa Arab mempunyai daya tawar politik yang diperhitungkan. Tak hanya oleh musuh bebuyutannya (Israel), melainkan juga oleh negara-negara adidaya kala itu (AS, Eropa, dan Uni Soviet). Kebijakan untuk menasionalisasi Perusahaan Terusan Suez dan mengambil alih pengaturannya (1956) yang membuat lawan (Israel, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat) serta kawan (Uni Soviet) kelabakan cukup menggambarkan ketajaman strategi politik Abd Nashir. Namun, semua itu meredub setelah negara-negara Arab kalah dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Hingga akhirnya Abd Nashir meninggal pada tahun 1973.

Dalam buku Sejarah Bangsa-bangsa Muslim (diterjemahkan dari A History of The Arab Peoples), pakar di bidang Timur Tengah, Albert Hourani, menyebutkan, kematian Abd Nashir merupakan akhir dari sebuah era penuh harapan bagi dunia Arab untuk bersatu dan menyongsong zaman baru (Mizan, 2004 : 767).

Pernyataan di atas bukanlah isapan jempol belaka. Setidaknya bila ditinjau dari kondisi negara-negara Arab saat ini. Nasionalisme yang diperjuangkan oleh Abd Nashir kini tampak kehilangan orientasinya. Belakangan, nasionalisme Arab acapkali bergandengan tangan dengan pragmatisme kekuasaan; melanggengkan kekuasaan dan memborgol lawan-lawan politik. Kondisi demikian membuat negara-negara Arab saat ini di ambang kegagalan total, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial.

Kegagalan inilah yang menjadi salah satu penyebab kebangkitan agamisme di negara-negara Arab saat ini. Seperti pada saat awal kemunculan nasionalisme Arab (salah satunya karena gesekan pemikiran dengan Barat, runtuhnya Dinasti Utsmani, problem identitas dan imperialisme) agamisme kini kembali bentrok dengan kekuatan- kekuatan nasionalisme. Dan seperti sebelumnya, agamisme kembali mendapatkan perlakuan serupa dari kekuatan-kekuatan nasionalisme Arab, yaitu diboikot, dipenjara, dan dikebiri secara politik.

Agamisme bukanlah solusi bagi pelbagai problem bangsa Arab saat ini. Sebagaimana nasionalisme Arab—pragmatis tidak akan berbuat apa-apa bagi persoalan mereka. Egoisme keduanya harus dilepaskan. Hingga bisa melihat dengan mata telanjang problem-problem yang ada, yaitu ketertinggalan secara politik, sosial, ekonomi, bahkan juga pengetahuan. Bila tidak, nasionalisme Arab dengan agamisme akan terus terlibat dalam gesekan dan ketegangan. Hingga menjadi sebuah pertarungan antiklimaks yang hanya membuat bangsa Arab semakin terpuruk.

M Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir. Saat Ini sebagai Peneliti di P3M Jakarta

Islam Benar Versus Islam Salah


Koran tempo,
Selasa, 26 Juni 2007

Opini

Islam Benar Versus Islam Salah

Luthfi Assyaukanie
Peneliti Freedom Institute, Jakarta

Pada akhir 2005, mantan presiden Abdurrahman Wahid menulis sebuah artikel di Wall Street Journal dengan judul seperti di atas (“Right Islam Versus Wrong Islam”). Tulisan itu kemudian diterbitkan ulang di beberapa koran ternama, seperti New York Times dan Washington Post, serta dimuat di ratusan website penting. Tulisan Gus Dur itu sangat relevan untuk kita baca dan renungkan kembali akhir-akhir ini, di saat kaum muslim terbelah dalam menyikapi penangkapan teroris Abu Dujana.

Saya menerima e-mail dari beberapa mailing list Islam, yang menunjukkan sikap simpati dan pembelaan terhadap Abu Dujana sambil mengecam tindakan polisi yang brutal. Beberapa media juga tampak berlebihan dalam mengecam sikap polisi yang sudah susah payah melakukan tugasnya yang penuh risiko. Merasa dipojokkan, Sabtu (23 Juni) lalu polisi mengeluarkan laporan kronologi penangkapan Abu Dujana. Tampak jelas bahwa polisi sudah melakukan prosedur penangkapan secara benar.

Tulisan Gus Dur satu setengah tahun silam itu mengajak kita semua untuk secara jernih membedakan mana Islam yang benar dan mana Islam yang salah. Menurut tokoh Nahdlatul Ulama itu, para teroris yang kerap mengatasnamakan Islam adalah orang-orang yang keliru. Mereka mewakili Islam yang salah. Untuk melawan mereka, “kaum muslim harus mengkampanyekan pemahaman Islam yang ‘benar’, yakni mereka harus berani mengecam ideologi ekstremis”.

Saya mencoba merenung mengapa kaum muslim begitu sulit mengecam para teroris, padahal, selain telah menyusahkan ekonomi orang banyak (akibat hengkangnya para investor, misalnya), para teroris jelas-jelas sudah mencoreng-moreng wajah Islam. Kaum muslim semestinya menyadari bahwa apa yang dilakukan para teroris sejak beberapa tahun terakhir telah mencemari citra Islam jauh lebih buruk daripada yang pernah dilakukan penulis mana pun.

Kaum muslim kerap mengeluh dan mengecam para orientalis yang dianggap telah mencemari citra Islam, tapi apa yang dilakukan para teroris, menurut hemat saya, jauh lebih dahsyat dan memiliki dampak lebih luas ketimbang karya para orientalis itu. Ironisnya, belum pernah ada gerakan serius dari kaum muslim untuk mengecam terorisme.

Paling tidak sampai hari ini, saya belum pernah mendengar lembaga atau otoritas Islam, baik di Mesir, Pakistan, Iran, Kuala Lumpur, maupun di Indonesia, yang mengeluarkan fatwa mengecam Usamah bin Ladin. Satu-satunya pernyataan (fatwa) semacam ini dibuat oleh sebuah organisasi Islam di Spanyol. Tampaknya kaum muslim memang tidak peduli terhadap citra Islam di mata dunia internasional.

Saya berandai-andai, sekiranya Abu Dujana itu bernama lain yang melakukan tindakan terorisme karena menginginkan uang atau harta, mungkin kaum muslim tidak akan membelanya atau paling tidak tak akan memperlihatkan rasa empatinya, sekalipun, misalnya, para polisi melakukan tindakan lebih brutal dalam menangkapnya. Mungkin tak akan ada Tim Pembela Muslim (TPM) yang sangat gigih membela orang-orang yang selama ini dituduh teroris.

Sikap empati berlebihan terhadap para teroris yang mengatasnamakan Islam menunjukkan bahwa kaum muslim memang belum mampu membedakan apa yang oleh Gus Dur disebut “Islam benar” dan “Islam salah”. Mereka seakan-akan masih menaruh kebimbangan terhadap apa yang dilakukan oleh para teroris itu: jangan-jangan apa yang dibuat para teroris tersebut ada benarnya; bukankah mereka sedang memperjuangkan Islam?

Memang tidak mudah menyamakan tindakan kriminal atas nama agama dengan kriminal umum, misalnya, atas nama uang. Kaum muslim selalu merasa bahwa ada yang luhur dari perjuangan atas nama agama. Apalagi para teroris itu selalu menggunakan istilah-istilah yang selama ini akrab di telinga mereka, seperti jihad, syahid, melawan thaghut, dan li i’lai kalimatillah (menegakkan kalimat Allah).

Tapi, kalau kaum muslim terus-menerus membela atau menaruh sikap simpati kepada para teroris, saya khawatir upaya negara menumpas terorisme dan kekerasan atas nama agama secara umum akan sia-sia, karena para teroris atau para pelaku tindak kekerasan akan terus merasa bahwa mereka tidak sendirian; ada orang yang secara diam-diam terus mendukung dan memberi simpati terhadap perjuangan mereka.

Akar dan penyebab munculnya terorisme tentu bermacam-macam: bisa karena persoalan ekonomi, politik, psikologi, rasa tertindas, dan bisa juga gabungan dari semua unsur itu. Tidak ada jalan pintas untuk mengatasi masalah ini. Namun, kerja sama dalam menumpasnya mutlak diperlukan. Yang harus dilakukan kaum muslim sekarang adalah memperlihatkan sikap tegas bahwa mereka tidak menyetujui para teroris. Otoritas agama, seperti Majelis Ulama Indonesia, saya kira sudah seharusnya berbicara. Jika selama ini MUI begitu mudah mengeluarkan fatwa kepada kelompok-kelompok “sempalan” (seperti Ahmadiyah dan Salamullah), mengapa lembaga ini tidak juga mengeluarkan fatwa kepada kelompok yang jelas-jelas sudah jauh menyempal?

Penangkapan terhadap Abu Dujana adalah sebuah prestasi yang harus didukung, bukannya dikecam sambil terus mengeksploitasi emosi masyarakat untuk membenci polisi. Tanpa harus dikatakan, masalah hak asasi manusia adalah persoalan yang perlu diperhatikan, tapi sikap empati berlebihan terhadap para teroris akan berdampak buruk bagi upaya perang terhadap terorisme di masa depan.

Gus Dur telah memperlihatkan sikap yang sangat bijak ketika menanggapi para pengacara TPM yang mengecam polisi dan meminta polisi mencabut status teroris Abu Dujana. Dengan tegas, Gus Gur berkata, “Kenapa mesti dicabut? Mereka memang teroris, kok,” (detik.com, 23 Juni). Sebaliknya, Gus Dur merasa keberatan dengan para teroris yang kerap menggunakan istilah-istilah Islam, seperti “jihad”, untuk membenarkan tindak kejahatan mereka.

Bagi Gus Dur, mengetahui “Islam benar” dan “Islam salah” itu penting. Tapi lebih penting lagi menyatakan keduanya secara tegas. Kita berharap, beberapa hari mendatang, para tokoh Islam yang lain memiliki ketegasan sikap seperti Gus Dur dalam menyikapi kasus penangkapan Abu Dujana.