Kiki Syahnakri : Banyak Perda Tidak Mengeapresiasi Kemajemukan

JAKARTA –Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Letjend TNI (Purn) Kiki Syahnakri menilai saat apresiasi terhadap kemajemukan bangsa Indonesia berkurang. Banyak Peraturan Daerah (Perda) tidak mengapresasi kemajemukan. Padahal majunya bangsa ini tergantung bagaimana bisa mengelola kemajemukan.

“Pengelolaan kemajemukan yang ada pada bangsa harus menjadi agenda pemerintahan yang akan datang supaya negara ini bisa maju,” ungkap Kiki dalam talk show Pemilu 2009 dan Masa Depan Kemajemukan dan Kesatuan Bangsa di UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Banten, Kamis (19/3).

Dikatakannya, pemimpin terduhulu menjaga kemajemukan dengan cara pengelolaan bangsa dilakukan dengan cara kekeluargaan. Apalagi Indonesia memiliki 1072 etnik, secara geografi negara kepulauan jika tidak dilakukan dengan cara seperti itu memang cukup sulit sehingga majunya demokratisasi tergantung bagaimana mengelola kemajemukan.

Kiki juga menyatakan sebagai negara yang dikatakan pakar merupakan negara demokasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia sedikit kekeliruan dalam pemilihan. Penggunaan sistem keterpilihan belum mencerminkan keterwakilan masyarakat.

“Siapa yang mewakili suku bangsa Amumi, Dayak. Keterwakilannya kurang memadai. Keterwakilan itu harus kembali menjadi acuan. Kalau dengan dipilih siapa yang akan memilih mereka,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah Pramono U Tanthowi menilai Pemilu 2009 ini isu-isu keagamaan tidak laku. Hal ini bagus untuk memajukan kemajemukan namun mempunyai resiko ditinggalkan sebagian pendukungnya.

“Saat banyak partai yang berbasis agama justru lari ke tengah atau tidak lagi menjual agama. Apa yang dilakukan partai itu memang bagus untuk kemajemukan namun anggotanya bisa saja hengkang. Indonesia yang multi kultural bisa menjadi alat jualan pemilu yang ampuh bagi parpol,” ujarnya.

Wapemred Kompas, Trias Kuncahyono menyatakan media massa peran media harus menyampaikan informasi benar tidak membuat perseteruan, permusuhan. Media harus mengampanyekan kemajemukan jadi kekuatan. “Kalau tidak mampu mempertahankan kehancuran,” tandasnya.

Media, kata dia menjadi juru bicara (jubir) kemajemukan demokrasi. Jika hanya menyuarakan satu pihak berarti media gagal sebagai agen demokrasi, pengawal demokrasi. Peran media menagih apa yang dijanjikan parpol serta menjaga harmoni masyarakat. (Persda Nerwork/esy)

 

Tinggalkan komentar